Hujan, Cerita dan Semesta (Epilog : Dibalik Nama Semesta Nayanika)

Selasa, 01 Januari 2019


Ada yang tak bisa ku pungkiri saat memasuki tiga bulan terakhir sebelum tutup tahun. Mulai memasuki bulan Oktober bagiku atmosfer semestaku seolah berubah.  Hujan memang mulai kerap muncul, ada yang hanya sekedar lewat gerimis namun ada yang tanpa kabar ia datang bersama kilat dan halilintar. Aku sebenarnya tak begitu menghiraukan perubahan musim pancaroba yang kadang ekstrim. Sebentar panas menyengat, namun tiba-tiba udara menyelinap begitu dinginnya. Tak mengapa sebab bagiku tiga bulan dipenghujung tahun Masehi ini selalu menjadi penghangat diriku. Berturut-turut dari bulan Oktober dimulai dengan milad papa, adik iparku, keponakanku dari suamiku, bapak mertua lalu adik bungsuku, selanjutnya aku dan anak adik lelakiku. Kemudian penutupnya dibulan Januari milad jagoannya papa, si anak tengah.

Kami memang tidak dibiasakan merayakannya dengan hura-hura tiup lilin atau ritual pesta lainnya, sama sekali tak ada. Hari kelahiran anggota keluarga kami ini selalu digunakan untuk kumpul, doa, berbagi saran, nasihat sekaligus curhat lalu makan bareng. Satu hal lagi sebagai ajang temu kangen sebab selepas menikah, kami semua sudah tinggal terpisah kota. Susah sekali ketemu kalau tidak benar-benar diagendakan. Nah, momentum hari lahir ini lah jadi sarana pengikatnya.

Mengapa nggak dirayakan sekalian sih pakai perayaan meriah kan hari spesial? Tadinya juga pikirannya kayak begitu tapi lambat laun seiring waktu mulai paham tentang pesan moral dari petuah beliau.
Sebagai orang berdarah kental Jawa ya tentunya beliau berdua kerap menggunakan filosofi para leluhur saat mendidik kami. Ada dua pesan yang sering papa ulang-ulang adalah "Ojo Gumunan, Ojo Getunan, Ojo Kagetan, Ojo Aleman" artinya Jangan mudah kagum, Jangan mudah menyesal, Jangan Kagetan atau mudah terkejut, Jangan manja. Belakangan baru ku ketahui jika itu filosofi Jawa yang diwariskan oleh Sunan Kalijaga. 
Lalu satu lagi nih...yang cukup sering dipesankan beliau pada anak dan mantunya. 'Lamun sira banter aja nglancangi, Lamun sira pinter aja ngguroni, Lamun sira landep aja natuni'. Artinya secara singkat bahwa ketika kita punya kecepatan maka sebaiknya menahan diri jangan sampai mendahului, tatkala kita pintar maka janganlah sok menggurui, dan saat kita memiliki "ketajaman" maka seyogyanya jangan sampai melukai'. 
Intinya sih beliau berdua selalu berpesan untuk kami mampu menahan diri dan peka membaca situasi untuk lebih peduli hingga tidak banyak yang tersakiti. Meskipun bukan jaminan saat kita sudah berhati-hati lalu kita bebas tanpa melukai. 
Lho terus untuk apa kita menahan diri kalau tetap saja ada yang tersakiti? Coba tanyakan saja lah pada hati kecil kita untuk apa kita berhati-hati? Aku sendiri ragu ada orang yang sengaja pasang hati untuk uji nyali dilukai dan makan hati. Aku sih, No! Kamu?! He he he

Begitulah kisah mengapa tiga bulan terakhir dipenghujung tahun selalu aku nanti dengan segenap hati. Selain salah satunya termasuk 'bulan' ku, ada hal lain yang aku suka. Aku suka wangi aroma hujan. Aroma tanah basah sudah mulai sering tercium, burung-burung mulai kerap terdengar riuh riangnya menyambut titik-titik air yang terkumpul diawan. Mentari yang mulai sering tertawan sinarnya menambah nuansa magis musim penghujan. Tak hanya aroma dan suasananya namun keseluruhan fenomena saat hujan turun memang membalut rasa yang berbeda. Seolah ia sedang merangkum semua rahasia langit yang didapat dari milyaran sedu sedan, keluh kesah makhluk bumi dan pada saat tiba dititik kulminasi ia tumpahkan lah beban itu ke bumi. Entah berupa rahmat kebaikan atau sebaliknya cobaan buruk sebagai pengingat kita kembali pada kemanusiaan kita.

Aku ingat seseorang pernah menasihatiku, "Berdoalah sesaat hujan turun, sebelum begitu lebat itu, Rahmat!". Entahlah aku dulu tak begitu peduli karena yang aku tahu kala itu bermain mandi hujan di tanah lapang begitu membahagiakan. 
Berlarian saling mengejar, tertawa, berguling di tanah lapang, saling berteriak begitu lepas tak ada sekat kesedihan yang tersisa. Ya, pada akhirnya ku tahu saat rintik hujan mulai berjatuhan itu adalah salah satu waktu utama yang dianjurkan untuk berdoa. 

“Dua doa yang tidak akan ditolak : Doa ketika azan dan doa ketika ketika hujan turun.” (HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqi; dan dihasankan al-Albani; lihat Shahihul Jami’, no. 3078).

Itu mungkin mengapa kadang kala Dia menghadiahkan bianglala saat diujung hujan terhenti. Bianglala membuat garis busur nan indah dicakrawala. Meski tak lama  hadirnya warna 'mejikuhibiniu' menghias angkasa bagai pesan pelipur lara. Tiap warnanya punya sudut makna dan cerita. Bak cerita manusia yang memiliki proses pengalaman hidup yang berbeda-beda hal itu akan mempengaruhi cara pandang, pola berpikir dan perasaannya. Kita tidak perlu terlalu cepat menjadi juri dan hakim bagi kisah orang lain. 
Itulah mengapa atas ijin-Nya 'wangsit' muncul di kepalaku. Kala hujan turun  itu ku sibuk tenggelamkan diri dalam labirin perenungan dan "AHA!" deretan kata 'Semesta Nayanika-Swastamita' muncul kembali dan seketika merebut hatiku (sekali lagi). Hmm... Ini harus jadi "rumahku", gumamku berulang kali.

#30haribercerita #30HBC1901

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Tiada kesan tanpa kata dan saran darimu :)



Salam kenal,


Dee.Irum