RESENSI BUKU : PERJALANAN RASA

Sabtu, 31 Maret 2018

Judul Buku       : Perjalanan Rasa
Penulis              : Fahd Djibran
Tebal Buku       : 230 blm
Penerbit            : Kurniaesa Publishing
Tahun Terbit  : Cetakan I, November 2012


Buku ini adalah buku ketiga karya Fahd Djibran atau sekarang lebih dikenal dengan Fahd Pahdepie yang saya baca. Setelah buku 'Jodoh' dan 'Angan Senja dan Senyum Pagi'. Cukup terlambat memang saya mengenali karya-karya lamanya yang ternyata lebih "saya". Jika ditanya mengapa? Saya suka dengan aliran cerita yang dituturkannya. Ide dan gagasan yang sesungguhnya berat menjadi lebih ringan dicerna. 

Buku ini sudah dicetak ulang dengan desain sampul dan penerbit yang baru. Rupanya banyak yang merindukannya. Buku lamanya bersampul merah hati dan desain gambar yang cukup dalam makna, terlihat seseorang yang sedang merenung. 

Sinopsis

Di halaman belakang buku ini diatas tulisan ISBN, diakui genre buku ini adalah novel/fiksi, namun saya lebih memilih menyebut ini sebagai kumpulan cerita pendek. Sebab antar bab tidak ada saling berkaitan ceritanya secara langsung. Uniknya cerita-cerita yang berkisah tentang perenungan ini disambungkan oleh satu kata akhir dari cerita sebelumnya menjadi judul atau ide cerita di bab berikutnya. 

Ada 51 judul cerita atau bab dalam buku ini. Variasi cerita bermacam-macam, mulai tentang perasaan penulis tentang Mama dan berakhir dengan cerita tentang perasaan seorang Ayah.
Sejak lembaran awal saya sudah mulai masuk dalam perjalanan rasa saya dicerita tentang Mama, juga saat terjadi dialog-dialog dalam diri penulis yang serta merta membuat saya atau mungkin pembaca yang lain ikut mengangguk bersama, larut bersepakat dalam ceritanya. Seperti cerita di akhir buku ini yang menggambarkan tentang perasaan sosok seorang Ayah. Membuat saya menghadirkan sosok ayah dalam imaji, membayangkan dinamika perasaan ayah.

"Demikianlah, akan selalu ada ikatan khusus antara seorang ayah dan anak. Dialah ayahku, ketika kecil, remaja, dewasa, dan tetap akan menjadi ayahku untuk selama-lamanya.."

Buku ini seolah mengajak kita berdialog, dan membawa kita melihat dengan sudut pandang berubah-ubah. Penulis menggunakan kata 'aku' dibeberapa cerita, namun terkadang  ia bertutur melalui sapaan 'kamu'. Dibuku ini sisipan kisah bersama keluarga juga menjadi salah satu kekuatannya 

Perenungan dialogis (self talk), cukup terasa tiap membaca lembar demi lembarnya. Seperti membawa pembaca 'Perjalanan Rasa' ini layaknya berbincang-bincang dengan dirinya. Kutipan-kutipan cerita bermakna mungkin sudah menjadi salah satu ciri khas Fahd Djibran disetiap bukunya. Sejak halaman pertama sudah terasa atmosfernya, mungkin bisa jadi ini subjektif. Namun menurut saya penulis berhasil mengajak pembaca, merenungi kisah-kisahnya yang kemudian membawanya ke ranah dialogis pribadi; ranah religius dengan tutur bahasa yang universal.
Seperti dihalaman persembahan penulis yang ditujukan kepada anaknya :
...
belajarlah dalam kesabaran Ayub
berjalanlah bersama keberanian Ibrahim
bacalah semesta melalui kecerdasan Sulaiman
taklukkan angkuh dunia dengan ketangguhan Muda
himpunlah semua kebijakan Yakub
katakanlah kebenaran semerdu suara Daud
kasih ilahi sesama sepenuh cinta Isa
lalu masuklah kebeningan dirimu bersama ketakwaan Muhammad
...

Bagi saya kalimat itu cukup lembut, indah sekaligus tajam penekanannya mengenai doa, harapan orang tua dengan pemilihan role model yang otentik.

Contoh kutipan lain yang menurut saya cukup mengena ada di cerita berjudul 'Berbahagialah' : 

"Ah, kadang-kadang kita hanya perlu jeda, menunda semua asumsi dan prasangka... lihatlah ke kedalaman masing-masing dan percayalah : everything is going to be amazing! Ya, paling tidak untuk sekarang, berbahagialah: Enyahkan ketakutan-ketakutan!"



Kelebihan

Buku Perjalanan Rasa ini cocok bagi siapa saja yang ingin menjelajahi petualangan rasanya sendiri. Bersiap dibawa ke kilas balik masa lampau, kemudian dibawa berdiskusi dengan fenomena kekinian. Sesekali ikut galau sebab menemukan kemiripan kisah. Seperti membaca buku filsafat namun jauh lebih ringan.

Kekurangan

Cukup banyak kesalahan penulisan dalam cetakan buku ini. Tidak fatal, namun cukup membuat tidak nyaman saat membaca.

Kelemahan yang lain adalah ada beberapa cerita yang masih cukup berat dan sulit dicerna maknanya. 

Secara keseluruhan buku ini tetap menyenangkan untuk dibaca siapapun, untuk merefleksikan diri atau sekedar mengajak jiwa ini berekreasi melalui perenungan sederhana. Bisa jadi sebuah upaya meditasi untuk mengembalikan kepekaan jiwa.

'Selamat menjelajahi perjalanan rasamu! Semoga Tuhan mendekatkan semua rahasia perasaan pada jawabannya!'

#oneweekonepost
#blogwalking
#rumbelLMIPS
#resensibuku
#perjalananrasa


Read More

Metamorfosa Rasa (Babak 2) : Bejana Setengah Penuh

Kamis, 22 Maret 2018


Setahun berlalu sejak pertengahan tahun 2002 kita mulai bertegur sapa. Diskusi buku, membahas pertandingan liga sepakbola, situasi politik, sosial, berpetualang mencari HIK (Hidangan Istimewa Kampung) atau lebih dikenal dengan angkringan yang obrolannya pemilik dan pengunjungnya asyik. Sampai menemaniku melakukan tugas social experiment di beberapa lokasi di Solo yang berlabel "kuning". Tidak setiap hari kita bertemu atau bertegur sapa meski kost kita saling berhadapan. Sesuai kesepakatan tidak akan saling mengganggu semua aktifitas dan prioritas kita, 

Source : Google

Hingga satu hari kamu begitu yakin meminta waktu untuk bicara padaku, di ruang tamu rumah kontrakan mbak kostku yang harus pindah dari kost untuk menyewa rumah agar lebih ringan bia yanya. Sebab kakak, adik, dan beberapa saudara dari Lampung juga ikut kuliah di Solo.  Ia sudah dekat layaknya saudara, dan nampaknya kalian berkonspirasi hari itu. Sesampai disana, setelah bercerita kesana kemari dengan alur dan topik campur aduk. Kamu minta waktu sebentar untuk bicara padaku. Kita ke ruang tengah, entah kita sedang merayakan apa hari itu sampai ada masak besar. Di tengah riuh ramai mbak Nik sekeluarga ditambah beberapa teman lain datang, tiba-tiba kamu bilang ada yang ingin kamu bicarakan. Firasatku mengatakan ada sesuatu yang...hmm..aku takutkan dan hindari selama ini. Ternyata betul kamu minta ijin ingin mengutarakan perasaanmu.Kita duduk bersila dan saling berhadapan agak berjauhan. Aku mendengarmu menghela nafas beberapa kali dan hembusan nafas yang berat. Mataku menatap sekeliling ruang itu, ingin mencari celah untuk kabur rasanya.

“Bismillahirrahmanirrahiim...aku mau bilang sesuatu tapi kamu jangan marah”. Nampaknya kamu masih mengingatnya, maka kamu kunci dengan permintaan maafmu dulu.
“Hmm...kenapa?
“Dengarkan sampai selesai aku bicara tolong jangan disela..”
“Oke”
Kamu menghela napas kembali, kali ini lebih panjang, dalam dan berat.

Baiklah dengarkan...Sebagai saudara sesama muslim dan sebagai bentuk ukhuwah islamiyah. Aku ingin silaturahmi sama kamu, berproses untuk lebih mengenalmu. Setelah itu jika semua berjalan baik aku ingin silaturahmi sama keluargamu, lalu jika Allah mengijinkan aku akan mengkhitbahmu. Dan bila Allah meridhoi dan orangtuamu merestui pangkal dari niatku ini adalah aku akan mengucapkan akad didepan orangtuamu“

“Aku sudah selesai..silahkan dijawab tapi sekarang... saat ini juga. Boleh atau tidak?”
“Kenapa?!?”
“Tidak ada kata besok pagi karena jika jawaban itu datang besok artinya kamu mendengarkan suara logika pikiranmu. Aku pengen kamu pertimbangan ini pakai rasa...akal logika perasaanmu. Seperti yang selalu kamu bilang kan akal pikiran dan akal hati tidak bisa selalu beriringan tapi hati memiliki penjaganya bernama nurani..Aku ingin kamu jawab pakai itu. Aku hanya butuh ijinmu untuk melanjutkan niatku

“Tapi...ini seperti intimidasi tahu nggak?!...memberikanmu ijin atau tidak aku masih ragu
“Tetap saja aku tunggu jawabannya sekarang. Baik aku kasih waktu sepuluh detik
“Hah?!? Yang bener aja, Am?” dan keringat dingin mulai terasa merambat dari kaki hingga ke ubun-ubun.

Jauh didalam hatiku aku berdoa bertubi-tubi supaya aku diberi kekuatan menjawab yang tepat. Sebab orang dihadapanku ini orang baik, jangan sampai ada penyesalan di kemudian hari.
Aku tarik napas dalam-dalam dan merasakannya hembusannya keluar perlahan-lahan, sambil memejamkan mata ku coba setenang mungkin.

“Bismillahirrahmanirrahiim , Baik aku jawab...aku..ti..dak bi..sa...mmh...” aku pandangi kedua belah mata orang yang duduk dihadapanku ini. Anak matanya nyaris membulat hitam hampir penuh. Oh...Tuhan..dia berharap! Seketika aku menangkap perasaan kecewa pula disana ketika ia mendengar kalimatku yang menggantung, pupil matanya yang membulat mulai beranjak mengecil. Ia tertunduk. 

Entah aku terilhami oleh apa...seperti tanpa sadar lidah refleks melanjutkan ucapan yang menggantung tadi...ti..dak bi..sa... bilang..TIDAK”. Aku tersentak sendiri mendengar penyelesaikan kalimatku tadi. Ini betul-betul terjadi..aku seperti diluar kuasaku. Terlambat...nggak mungkin aku tarik kalimatku tadi...tak mungkin...aaah aku harus gimana..penyesalan sudah tidak ada guna. 

Seketika air mukanya berubah riang, dan aku...bisa lah dibayangkan raut wajah masih terhenyak heran dengan jawabanku sendiri. Aneh!! Ada dua suara dalam hatiku, sisi lain lega dengan pilihan jawaban itu tapi disisi lainnya takut ini bukan keputusan yang tepat. Takut kalau saja ini akan melukai hubungan baik kami berdua nantinya. Kamu meraih tanganku, membawanya ke dahimu dan mengucapkan dengan intonasi penuh sukacita dan kelegaan, “Terima Kasih...”, ucapmu sambil menegakkan kepalamu lagi. Kulihat ada genangan tipis dikedua sudut mata yang berbinar itu.

“Tapi ingat ini berproses, bukan pacaran atau apapun seperti yang dipahami orang-orang. Kamu masih ingat tho? Apa arti pacaran buatku?” aku segera melanjutkan kalimatku sebagai konfirmasi agar tidak ambigu maknanya nanti.
“Ya..ya..paham..pacaran menurutmu adalah sesuai arti bahasa Kawi-nya; perjalanan menuju pernikahan. Tidak ada kewajiban makan bareng, wajib lapor, kemana-mana harus bareng dan seterusnya. Begitu kan maksudmu...?
“Baguslah kamu ingat. Aku nggak mau kalau harus ada acara lapor melapor, kamu dimana? sedang apa? atau harus sama-sama tiap waktu, makan bersama, pergi kemana-mana harus bersama. Kamu tahu aktifitas dan dunia kampusku. Sekali lagi ini proses, kita harus tetap membebaskan satu sama lainnya. Sampai memang suatu saat Allah menunjukkan definisi lain dari apa yang kita sepakati hari ini”
Satu lagi, aku ingin dimengerti dengan semua kemanusiawianku. Aku cuma perempuan biasa yang punya cita-cita dengan segala kesempurnaan kekurangannya. Aku banyak kekurangannya sebagai perempuan. Kamu harus siap dengan segala kemungkinan kemanusiawianku itu.”
“Iya aku ngerti aku juga bukan orang baik...sekali lagi terima kasih ya”

Begitulah tahapan baru kisah perjalanan awal proses kami, aku memang bimbang tapi seperti katamu aku harus membiarkan akal hatiku berperan. Setelah mampu menimbangnya, akal pikiranku pun mengingatnya bahwa belum pernah ada lelaki yang proposalnya seperti ini. Jelas, pasti dan memiliki visi. Lalu apalagi? Maka akal hatiku menuntun lidah ini memberikan sentuhan terakhir pada kalimatku dengan kata, TIDAK”   

Memang memberikan kesempatan untuk berproses sama saja membuka peluang untuk menyakitinya karena sejak awal aku tidak terlalu suka dengan konsep pacaran. Terlepas dari halal dan haramnya, secara pribadi aku nggak cocok dengan konsep itu. Yang mendahului menuntut hak yang bukan miliknya karena seolah-olah pacaran adalah label kepemilikan sah.   Padahal sama sekali tidak. Masa itu masih banyak hal yang ingin ku perbuat, selalu muda, selagi masih jadi mahasiswa yang dipercaya idealisme dan gagasannya otentik untuk melakukan banyak perubahan. Aku nggak ingin terbebani, dengan terjebak dalam perasaan yang belum semestinya. Masalah psikis akan selalu memiliki ranah tak teridentifikasi potensi arusnya tak selalu mudah dipahami.

Sejak proposalmu kamu sampaikan di awal tahun 2003, semua masih berjalan seperti biasa, tak ada yang berubah. Perlahan bejana setengah penuh mulai kita isi seiring proses yang kita jalani. Mulai meletakkan asa dijejak-jejak percakapan kita. Diam-diam aku sadar perlu memaknai ulang proses kita ini. Ada biduk-biduk kecil yang mempertanyakan akan menjadi siapakah engkau nanti? Kemana segala rasa yang belum punya nama ini akan berlabuh?
Maafkan saya bapak/ibu dosen...

Ada beberapa hal kecil perubahan, seperti kita mulai rileks membicarakan orang-orang dekat kita; orang tua, adik-adik, saudara sepupu. Ya, aku memang tidak memilih bejana yang telah sempurna terisi, sebab aku takut terjebak, terbuai lalu lalai. Alasan lain manusiawinya kepribadianku yang mudah bosan jika zona itu terlalu “nyaman”...flat.. Kamu? meski tak selalu berhasil ada saja canda yang kamu bawa, membuatku ingin menertawakan apa saja. 

Intensitas pertemuan kita jadi lebih sering karena kamu minta tolong aku menemani mengolah data penelitian skripsimu. Pertengahan tahun kamu sudah merampungkan studimu. Tiba saat kamu diwisuda, tatap muka pertama dengan kedua orang tuamu. Namun aku harus pamit karena tepat dihari wisudamu itu aku harus ke Jakarta menggantikan mama yang belum pulih pasca operasi. Selepas wisuda itu juga kamu langsung boyongan pulang ke kampung halaman. Kemudian kita mulai mengakrabi jarak sebagai penguat proses kita. Awal tahun 2004, kamu memberi kabar diterima di perusahaan ekspor impor di Semarang. Posisiku masih di Solo mengurus olah data penelitian skripsiku, ya karena pilihanku menggunakan penelitian kualitatif maka mengolah sumber datanya jauh lebih lama. Kurang lebih satu tahun aku berjuang menyelesaikan skripsi idamanku itu.


Kupersingkat saja ya...seperti awamnya orang yang sedang berproses dari tahun ke tahun pasti ada pasang surutnya. Namun, selalu saja kami kembali dengan segala bentuk peninjauan ulang hingga di tahun 2005; bulan agustus kamu berhasil sampai pada prosesmu untuk bicara kepada papa tentang niatmu meng-khitbahku. Kamu bilang umur 26 adalah usia yang ia tetapkan untuk menikah. Ia percaya jikapun bukan denganku bisa dengan siapa saja yang Allah perkenankan. Alhamdulillah, akhir tahun 2006 di bulan syawal kamu pun melunasi proposalmu, menggenapi separuh agama kita. Kamu pun ucapkan akad didepan orang tuaku. Lelaki itu (ternyata) memang kamu .... telah mengetuk pintu (hati)ku.
Berkat Bakat INPUT, masih terselamatkan :)





#GebyarLiterasiMediaFebruari
#CintakuTakSebatasValentinePart2
#RumbelLiterasiMediaIPS
Read More

Metamorfosa Rasa (Babak 1) : Awal Permulaan Kisah


Bukan tentang bingung memilih mau menulis apa, namun kesulitannya kali ini adalah memutuskan siapa lakon cerita yang akan ada ditulisanku kali ini. Serius deh ini beneran butuh tenaga ekstra untuk mengambil keputusan. Tema tantangan gebyar literasi bulan Februari adalah tema merah jambu, bulan yang konon penuh pernak-pernik cinta, penuh ungkapan rasa dan aroma romansa. Sedari dulu aku tidak pernah benar-benar peduli, kecuali ada satu-dua kotak coklat yang mampir bersama bunga segar atau juga yang imitasi. Itu juga nggak pernah aku nikmati sendiri he..he..he..kecuali (lagi) itu dark chocolate berbentuk segitiga kesukaanku. Saat mendapatkan tantangan ini, sebenarnya langsung terbayang kerangka tulisannya. Lalu kenapa ‘mandeg’? Pasalnya ya itu tadi mau ku hadiahkan untuk siapa tulisan ini? Perihal cinta dan kasih mama yang selalu dirangkainya melalui doa-doa disepanjang sajadah yang beliau gelar? Atau untuk papa? Lelaki cinta pertama putrinya ini? Atau...untukmu imam yang aku pilih mendampingi proses belajar sepanjang hayat ini dalam kelas bernama Pernikahan?
Akhirnya setelah meditasi cukup panjang (terlalu panjang kayaknya hi..hi..hi..) keputusan hati bulat jatuh padamu, iya kamu yang sampai saat ini masih sudi belajar di maha luasnya universitas kehidupan bersamaku (semoga kebaperan tak melanda kewarasanku hingga rampung tulisan ini..hehe). Pilihan ini didasarkan pertimbangan bahwa tulisan mama sudah pernah aku tulis sebelumnya, meski masih banyak yang ingin ku ceritakan. Mungkin satu saat nanti aku akan bercerita kembali tentangnya. Lalu, bagaimana cerita tentang papa? Hmm..agak nekat sih ini karena berbarengan dengan tulisan ini juga kenangan tentang beliau sedang berusaha aku ikat menjadi sejarah. Semoga! Dilihat saja nanti, meleset atau tidak.



Kisah Itu Bermula

Bercerita tentang kamu, rasanya tak akan pernah ada habisnya dan memang aku berharap tak akan pernah usai bercerita tentang kita. Kamu hanya tersenyum ketika aku mengutarakan niat keputusanku...Lalu kau berkelakar ”Apa nggak malah jadi novel tuh tulisanmu?atau jadi agenda cerbung”. Ih..sebel tapi ku pikir iya juga sebab suka susah berhenti dari papan seluncur ketika kata-kata sudah mulai terlontar saling berkelindan.

Semula kita hanya lah dua orang asing yang dipertemukan melalui banyak rangkaian peristiwa yang terajut jadi cerita. Kisah itu, kini berusaha selalu kita cari dan hidupkan lagi untuk pahami apakah benar ini takdir, jodoh atau nasib yang senantiasa bergerak berdasarkan doa, asa dan usaha kita ataupun sayap-sayap doa serta harapan orang-orang disekeliling kita. Pun saat petualangan kita mengarungi 11 tahun biduk pernikahan dengan semua roller coaster kehidupan yang ada didalamnya. Babak demi babak, canda, tawa, bahagia serta derai airmata dalam kisah kita mampu terkumpul menjadi tabungan kenangan kita.

Source : google

Aku tak pernah benar-benar mengingat kapan permulaan kita bertemu dan menjadi dekat. Atau rasa seperti apa yang pernah singgah di hati tentang kamu. Mengapa pula hatiku memilihmu? Tidak pernah ada kamus yang mampu membantuku mencari jawabannya. Sebab jujur harus selalu aku akui; tak ada jawaban pasti. Cinta? Love at first sight? Nope..!!. Semuanya mengalir begitu saja tanpa pertanda, harus kuakui ada sih riak-riak kecil harapan sebenarnya. Namun dengan mudah ku tepis atas nama 'kebebasan' ha..ha..ha... Kamu pasti ingat betul tentang makna kebebasan itu; pilihan kesibukanku di kampus dan berbagai prioritasku saat itu.

Ingatan terkuatku hingga kini tentang kamu adalah dinamika psikologisku ketika mengambil keputusan tentang memaknai hubungan kita. Kualifikasi nilaimu hanya 60% dari total kriteria imam impian. Aku memilihmu karena bejana setengah penuh yang kau punya, dan itulah kelebihanmu. Banyak yang datang dan pergi dengan total nilai nyaris sempurna, dan aku tak menampik bahwa beberapa diantaranya rasa kami tak bertepuk sebelah tangan. Tapi kamu pun menjadi saksi bahwa aku tak berdaya membawa perasaan itu lebih jauh lagi. Entahlah..ada hubungannya atau tidak, mungkin karena aku mahasiswi fakultas psikologi, dan  secara naluriah semakin tajam mengetahui potensi diriku seperti apa.  Hingga, membentukku agar belajar tidak gegabah mengambil pilihan. Memperkirakan dan mempertimbangkan dengan akal hati dan pikiran, siapakah yang memiliki frekuensi yang sama untuk mampu berjalan berdampingan bersamaku di masa depan. Setiap pilihan akan selalu ada resiko sebab dan akibat, oleh karena itu tidak boleh ada penyesalan di kemudian hari. Sebab saat sudah ketuk palu keputusan, pantang bagiku untuk menariknya lagi.

Kami berdua punya versi sendiri-sendiri terkait kapan kami mulai saling sapa. Masih jadi misteri. Kadang geli sendiri kalau napak tilas kenangan, serumit itu kah benang merah yang Tuhan sediakan untuk kami. Kamu bilang, melihatku pertama kali sepulang jamaah sholat dhuhur di masjid Abu Bakar As Shiddiq. Kamu melihatku bersama beberapa teman kostku dan anak pemilik kost sedang ramai memetik belimbing. Pohon belimbing milik bu kost ini berada didalam pagar namun karena rindang memang beberapa dahannya menjuntai keluar. Nah, cerita memalukan ini pun bermula. Katamu, sekembali dari masjid dan berganti pakaian kamu bersama beberapa anak kost depan yang sudah memasang dan mengunci target masing-masing menghampiri kami. Oh ya, kost kami sering dianggap kost pencari jodoh he..he..he..iya karena kost putri berhadapan langsung dengan kost putra. Sepertinya fakta pun meng-aamiin-kan kabar itu. Ada yang hanya bertahan hingga beberapa lama tapi banyak juga hingga akhirnya menyebar undangan sah menjadi keluarga. Balik ke cerita pohon belimbing tadi, aku dengar memang ada yang datang ke halaman depan kost. Mereka bertanya sedang apa ramai-ramai, dan entah apa lagi yang diobrolkan meski jelas percakapannya namun fokusku sedang tidak berada disana. Arggh...sebenarnya aku ingin sekali loncat dan segera lari dari situ. Loncat??Hi..hi..hi..iya loncat nggak salah baca kok..tadinya sih cuek aja nangkring di dahan pohon belimbing itu sambil terus mencari belimbing yang sudah tua dan sesekali menikmati langsung buahnya. Sensasi makan buah langsung diatas pohonnya itu.. luaaaar biasaa...hi..hi..hi...Belimbing yang sudah dipetik itu lalu kulempar ke teman yang sudah bersiap  dibawah. Yaa..gitu deh karena nggak ada yang berani memanjat dan aku memang suka, akhirnya naiklah ke pohon menemani anak ibu kost yang sudah lebih dulu memposisikan diri. “Tamu” tak terduga kami siang itu langsung menghampiri anak ibu kost dengan modus minta dibagi belimbing yang sudah dipetik. Anak ibu kost yang memang posisinya ada didahan yang lebih dekat ke jalan raya sedang aku memilih dahan sebelah dalam. Aku yang waktu itu masih belajar memantapkan niat tentang jilbab/kerudung, sebab memang awal semester satu itu baru mulai mengenakannya. Itu pun tidak pernah terpikir secepat itu aku akan belajar memakainya. Informasi dan pengetahuan tentang jilbab saat itu belum lah sebanyak sekarang ini. Kampusku juga belum menerapkan wajib busana islami bagi pasa mahasiswinya, hanya ketika masa orientasi kami diwajibkan memakainya. Setelah itu dikembalikan kepada keputusan masing-masing individu. 

Nah, aku menetapkan batas pagar kost sebagai rambu-rambu belajar konsisten mengenakan kerudungku. Jadi kalau masih di dalam area pagar kost dan tidak dalam kondisi menerima tamu atau ada tamu di teras kost maka kerudung itu tidak aku pakai. Celakanya, tamu tak terduga tadi menghampiri dalam kondisi yang membuatku ingin loncat jika mampu terbang sampai ke kamarku diujung lorong belakang bangunan kost yang berbentuk letter L. Gimana tidak panas dingin? Sudah nggak pakai kerudung, pake kaos lengan pendek dan celana ¾ plus nangkring sambil makan belimbing langsung diatas pohon. Entah lah antara aku lupa atau ingin melupakan aib itu yang aku ingat hanya sebelum aku ditanya (sebab sayup kudengar ada yang bertanya siapa yang ada diatas bersama anak ibu kost itu?). Segera aku turun setengah melompat kurasa dan segera pasang seribu kaki untuk lari. Aaaah..lega sekali dan hari berganti hari aku pun lupa apa yang terjadi hari itu. Bagimu hari itu adalah hari yang berkesan dan mengingatnya sebagai perjumpaan kita yang pertama. Lalu bagaimana dengan versiku? Memoriku merekam lokasi perjumpaan awal kita adalah di perpustakaan universitas. Salah satu tempat favorit di kampus Universitas Muhammadiyah Surakarta adalah gedung perpustakaannya. Luar biasa nyaman dan paling bikin betah... setidaknya dari beberapa perpustakaan universitas lain yang pernah aku kunjungi di jaman itu. Apalagi dipertengahan tahun 2002 itu (please..jangan mulai berhitung berapa usia saya sekarang ya...hi..hi..hi), sudah mulai mempersiapkan seminar, tugas-tugas praktikum psikodiagnostik dan semua aktifitas itu butuh banyak suplemen referensi.

Hari itu aku berniat mencari referensi buku untuk bahas proposal seminarku. Berangkat ke kampus pagi dan langsung ke lokasi karena jika tidak salah aku tak ada kelas hari itu jadi memang alokasi waktuku sepenuhnya ada disana. Setelah menemukan buku referensi itu, aku menuju ke rak buku lain. Hari itu aku ingin meminjam buku dibagian sastra. Berkeliling lah aku mengelilingi rak-rak  itu, tadaaaa...ada satu buku yang menyita perhatianku. Mungkin terpengaruh dengan novel yang baru saja selesai aku baca ‘Perempuan Berkalung Sorban’. Judul buku dirak itu langsung menyita perhatianku, kalau tidak salah ingat itu adalah buku baru yang ditulis Remy Sylado berjudul ‘Kerudung Merah Kirmizi’. Sama-sama ada kata kerudungnya, aku baca sekilas sinopsisnya. Bagus juga! Tapi entah kenapa aku jajarkan lagi ditempat semula dan beranjak berkeliling lagi. 


Tidak menemukan lagi judul buku yang cocok untuk “rekreasi”, aku pun kembali ke rak tadi. Du..du...du disana lah kisah dalam ingatan ini bermula...seseorang berdiri didepan rak dan mengambil buku itu. Mau tidak mau aku harus menyapanya, bertanya apakah buku itu akan ia pinjam? Dia jawab ya, kenapa? Aku jawab, tadi aku mau pinjam tapi belum jadi karena mau berkeliling dulu. Perbincangan berlanjut beberapa saat, aku tidak ingat apa saja inti pembicaraannya dan aku pun tidak tahu jika ternyata kamu sudah mengidentifikasiku sebagai tetangga kost yang suka panjat dan makan hasil petikannya langsung diatas pohon. Tanpa malu aku bertanya dimana kostmu, kamu jawab di Tuwak Wetan, Gonilan. Naifnya aku membalas, wah kebetulan kostku juga disana. Kamu dimana? Kamu sebut Kost Jaka Lelana. Aku sama sekali nggak pernah dengar eh atau memang nggak peduli sih tepatnya karena memang bukan hal begitu penting untuk diingat. Mungkin dalam pikirannya menahan geli saat aku tanyakan kost itu sebelah mana? Tapi kamu segera ambil alih mungkin ingin menyelamatkan aku dari kekonyolanku berikutnya, “Ya udah kamu dulu aja yang bawa bukunya nanti aku ke kostmu”. Entah lah waktu itu kamu tulus atau ada modus hanya kamu dan Tuhan yang tahu. Aku setuju dan kemudian menyebut  nama kostku. Berpisahlah hari itu, aku langsung menuju bagian administrasi peminjaman. Perjalanan pulang dijalan aku bertemu denganmu berjalan kaki, ku pelankan laju sepeda motor untuk menyapanya...suka tidak suka harus kulakukan karena dia sudah rela buku itu untukku lebih dulu. Kemudian sejak hari itu cerita – cerita lain mengikutinya, tak ada gejolak “rasa” lain terlintas selain aku nyaman memposisikanmu sebagai teman yang bisa diajak berdiskusi apa saja. Analisa sudut pandangmu yang unik, kadang jahil namun berbobot, ditambah wawasanmu cukup luas dibandingkan lawan bicara yang sering aku temui, karena itu semua kita bisa berlama-lama adu argumen saat sedang membahas sesuatu.   Termasuk ketika duduk di teras petang itu selepas maghrib, kita bedah buku karya Remi Sylado ‘Kerudung Merah Kirmizi’. Ingatkah kau kata-kata yang menari sepanjang diskusi? Mungkin saat itu sebenarnya aku sudah mulai menggali dan menaruh hati pada sudut pandang pribadimu; dirimu. Akankah engkau akan jadi lelaki itu? Penyempurna iman menuju keabadian tanpa ada sekat fana bernama waktu. Seperti penggalan sajak yang pernah kubaca, Yang Fana adalah Waktu – Kita Abadi. Sampai detik itu aku tak tahu dan belum ingin mencari tahu.

Yang Fana adalah Waktu; Kita abadi
Pic by Me

Lalu, bagaimana dengan bejana setengah penuh itu? Tunggu dulu....


*)Terpaksa bersambung ya saudara-saudara..jangan bosan cerita saya yang biasa saja ini. 
Salam sayang


#GebyarLiterasiMediaFebruari
#CintakuTakSebatasValentine
#RumbelLiterasiMediaIPS

Read More

Wanita atau Perempuan ?

Sabtu, 10 Maret 2018

"Kalau kamu suka disebut apa? Wanita atau perempuan?" Tanya seorang teman.
"Perempuan" jawabku
"Iiih...kok nggak wanita sih... perempuan kan nggak mature gitu kesannya " 

Bicara tentang kata perempuan dan wanita memang tidak ada habisnya. Meski boleh saja ini hanya masalah nilai rasa dalam tata bahasa, ya setidaknya bagi saya seorang awam dan bukan seorang ahli tata bahasa Indonesia. Namun, sekecil apapun itu bagi saya nih...saya harus cari tahu dulu artinya, asal-usul katanya jika perlu. Hanya menghindari ucapan yang tidak saya kuasai itu saja sih. Pemilihan kata seringkali memang saya ukur dari nilai rasa dan kepantasan penggunaannya bagi lawan bicara kita. Seperti ketika menggunakan kata aku dan saya; saya akan lebih cenderung memilih kata saya dibanding aku. Kata saya dan aku dalam KBBI tidak ada perbedaan makna yaitu kata ganti orang pertama yang berbicara atau yang menulis. Hanya saja dalam konteks ragam kata aku digunakan sebagai tanda  keakraban; dekat seperti kepada sesama teman atau sahabat sedangkan kata 'saya' cenderung lebih resmi atau berjenjang seperti murid kepada gurunya. Ribet ya bacanya..tapi suka kadang ingin mengabaikannya, namun rasanya kalau mau melanggar pakemnya hati tuh kayak ada agak geli-geli gimana gitu he..he..he. Bagi beberapa orang repot amat ya sampai bahas nilai rasa, ragam akrab ya bicara ya tinggal bicara aja...tapi bagi saya pribadi nih, sekali lagi itu penting. Sebab pilihan kata akan mempengaruhi citra yang membentuk identitas kita...eaaaa...apaan sih..ini kalau saya lho yaaa..jangan sampai jadi kontroversi hati gara-gara baca tulisan ini...haissh..

Oke kita langsung aja deh bahas pemaknaan kata wanita dan perempuan. Kata perempuan dalam KBBI; perempuan/pe·rem·pu·an/ n; diartikan sebagai : 
1. Orang (manusia) yang mempunyai puki, dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak, dan menyusui; wanita; 2. Istri; bini: -- nya sedang hamil;
3. Betina (khusus untuk hewan); bunyi -- di air, pb ramai (gaduh sekali).

Sedangkan pada masa kesusastraan Melayu Klasik mengenal kata EMPUAN yang juga berarti "perempuan" yakni sebutan bagi istri raja. Kata ini konon mengalami pemendekan menjadi 'puan' yang artinya 'sapaan hormat pada perempuan', sebagai pasangan kata 'tuan' atau sapaan hormat kepada lelaki. Mungkin saja dari sana lah muncul kata 'PEREMPUAN' yang dapat diartikan sebagai orang yang dimuliakan atau yang dihormati. 

Berdasarkan latar belakang sejarah itu, maka bisa dimaknai bahwa perempuan sejajar dengan laki-laki, bahkan mungkin lebih tinggi, karena kata “empu”nya itu.

Lalu bagaimana jika kita tengok secara asal-usul kata atau etimologi bahasa? Adakah perubahan-perubahan bentuk dan makna? Kata perempuan berasal dari kata Per, Empu dan an, Per itu artinya makhluk/orang. Kata 'Empu' asalnya dari bahasa sansekerta artinya mulia dan imbuhan -an yang memiliki makna konotasi -kan. Kata empu juga diartikan sebagai tuan, orang yang mahir, berkuasa, hulu, atau yang paling besar. Kata perempuan juga berhubungan dengan “ampu sokong”, yakni memerintah, penyangga, penjaga keselamatan, bahkan wali. Sekali lagi bagi sudut pandang saya pribadi, menemukan makna tersirat yang lebih dalam yakni bahwa arti perempuan adalah makhluk yang  dimuliakan. Memiliki kemuliaan dan hak menjadi "tuan" bagi dirinya sendiri.

Lantas bagaimana dengan arti kata wanita? Menurut KBBI arti wanita; wa·ni·ta (n); perempuan dewasa: kaum -- , kaum putri (dewasa). Secara etimologi bahasa Jawa kata wanita, diterjemahkan sebagai ‘wani ditoto’ yaitu artinya ‘berani diatur’. Berangkat dari latar belakang pemaknaan tersebut, maka cukup sulit bagi seorang 'wanita' untuk memiliki kuasa terhadap kemuliaan dirinya sendiri. Masih ada pandangan kurang pas dan cenderung dirasa "menyakitkan" sebab seolah seorang wanita tidak bisa menghindar jika didikte oleh seorang pria, bukan lagi sebagai sejawat-teman kehidupan dalam berumahtangga.
Seolah-olah terlanjur ada pemahaman bahwa sifat-sifat yang melekat dari kata 'wanita' adalah sifat yang cenderung inferior, pasif, seperti: lemah, gemulai, sabar, halus, tunduk, patuh, mendukung, berdarma, berbakti, mendampingi, mengabdi, dan hanya menyenangkan pria. 

Nah, meski telah ada pergeseran makna secara luas dan masif diantara kedua kata tersebut. Pun selalu juga akan ada nilai pro dan kontra...tak apa-apa ini hanya opini sementara saya yang lebih memilih menimbang nilai rasanya. Selanjutnya terserah anda..he..he..he.. yang ingin berdiskusi dan menelaah lebih lanjut tentang dua kata ini boleh dibaca di sini atau di sini.

Saya mungkin tetap akan cenderung memilih kata perempuan dalam penggunaannya nanti. Ini dilatar belakangi oleh sejarah pemaknaan dari awalnya. Namun apapun pilihannya selama penggunaan tersebut masih dalam konteks konotasi dan persepsi positif tidak menjadi masalah. Terpenting dari semua hal tersebut diatas, cara pandang kita lah yang perlu diluruskan terlebih dahulu. Bahwa kita wanita/perempuan itu subyek bukan obyek, perannya ditinggikan dan dimuliakan sejak semula diciptakan. Kalau ini semua setuju kan?!? Semoga bermanfaat...

*diolah dari berbagai sumber
Read More

Masih Bicara Cinta Berdaya

Sabtu, 03 Maret 2018

Tulisan tentang passion diminggu lalu, yang belum baca yuk diintip dulu disini. Sebenarnya masih cukup panjang cerita ditulisan minggu lalu, bicara tentang passion dan dijabarkan dalam satu artikel tentu saja tidak akan cukup. Jadilah tulisan minggu ini sebagai sambungan ceritanya. 

Menulis untuk bahagia, tidak hanya untukku saja namun bagi siapapun yang telah sudi membacanya. Ini bukan ingin terlihat sok asyik tapi memang itu nampaknya yang sedang dan terus aku cari demi menghidupi hati. Ada letupan rasa cemburu ketika melihat orang lain mempunyai kemampuan untuk menolong orang lain tersenyum, dan atau membuat orang lain yang ia tolong terinspirasi untuk berbuat kebaikan yang sama atau bahkan lebih.

Bertanya dalam hati sambil memandangi langit-langit atap rumah dan berhitung ada berapa ekor jumlah cicak disana, akan kah saya mampu menitipkan kebaikan serupa itu (baca: inspirasi) didunia sebelum masa berlaku hidupku dicabut pemiliknya? Aku hanya manusia biasa dengan segala kesempurnaan kekuranganku. Aku bukan anak pejabat, konglomerat, aku hanya seorang anak dari ayah dan ibu yang menitipkan pesan pada anak-anaknya agar selalu menjadi manusia yang mampu bermanfaat tidak hanya bagi sesamanya. Namun, juga kepada alam semesta raya. 

Warisan yang paling mungkin aku tinggalkan adalah tulisan. Seperti prasasti menandai sebuah peradaban dari zaman pra sejarah ke zaman sejarah, dan kini kepada generasi melek literasi. Sederhananya aku  ingin meninggalkan cerita baik yang bisa dikenang sepanjang masa melalui tulisan.

Tidak kah kita berpikir mengapa setan cemburu, dan mengapa akhirnya malaikat mau tunduk memberi salam dan hormat pada kali pertama manusia diciptakan? Manusia sudah diciptakan luar biasa sedari awalnya. Akankah kita tetap akan berbuat biasa-biasa saja dengan peran kita? Pasti ada maksud dari penciptaan kita di dunia, sepaket dengan potensi baik dan buruk. Saya pribadi percaya manusia diciptakan dengan skenario yang kompleks dan rumit; persimpangan pilihan akan menentukan paket-paket nasib dan takdir yang sudah disiapkan Tuhan untuk kita dan tentu dampaknya bagi kehidupan lain disekitar kita. Firman Allah pada Al Qur'an surat Al Baqarah ayat 30 : "Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, "Aku hendak menjadikan khalifah di bumi." Mereka berkata, "Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?" Dia berfirman, "Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."

Bagiku yang masih sangat fakir ilmu, tentu belajar membaca apa saja akan membantu menuntunku menemukan diriku. Pun harapannya, aku ingin orang lain yang akan membaca cerita melalui tulisanku meski itu hanya satu orang saja didunia dan bisa buat dia bahagia, rasanya aku juga akan menjadi penulis paling bahagia di dunia. Seperti ketika aku pernah berhasil menyelesaikan cerpen untuk sahabatku, dan ketika ia begitu riang mengatakan "Aku suka, terima kasih!!...Janji matahari yaa..". Aaaah...aku merasa menemukan diriku ada disana, sedang berbahagia bersamanya. Kubalas senyuman dia jari untuk menandai perayaan perasaan bahagia hari itu.

Source : IG Fahd Pahdepie

Demi menambah keyakinan diriku bahwa aku sudah ada di jalur impianku. Jalur penuh cinta yang ditempuh dengan sukacita. Aku terus mencari teman berdiskusi dan merapatkan diri pada apapun yang berhubungan dengan misi pribadiku itu. Semesta mendukungku, Allah Maha Mengetahui kerinduanku. Saat bergabung di kelas matrikulasi Ibu Profesional Semarang tahun lalu, diawal memulai kelas kalau tidak salah he-he-he maaf kapasitas mengingat saya sudah tidak sebaik dulu...intinya disalah satu bahasannya berbicara tentang passion. Lalu, entah bagaimana bermula selesai diskusi dikelas online tersebut, teman kami dikelas; Mbak Fauzia, beliau adalah Psikolog memberikan kesempatan kepada teman-teman dikelas yang ingin mengetahui lebih lanjut tentang passion-nya. Bagi yang berminat melanjutkan ke-kepo-annya kemudian  secara personal diperkenankan menghubungi beliau via email untuk selanjutnya mengerjakan skala tes  psikologi yang mengukur tentang passion. Maka nikmat apa lagi yang bisa saya dustakan? Jelas saya tidak akan mampu menolaknya dong! Barakallah dan terima kasih ya mbakyu...
Hasil Analisa Tes Passion Saya

Hasilnya apakah sesuai dengan diri ini? Alhamdulillah seolah mendapatkan energi untuk meneguhkan hati bahwa saat ini aku telah ada di tracking yang sesuai. Tinggallah saya harus memaksa diri keluar dari satu per satu ketakutan yang membelenggu. Saya harus selesai dengan pertanyaan-pertanyaan diri sendiri, yang justru sering malah menghabiskan energi. Tersadar bahwa kita ini tak akan pernah bisa menghentikan waktu yang terus berlari. Apalagi berusaha membuatnya kembali mengulang kesempatan yang telah terlewati.


Mungkin memang sudah saatnya saya menyepakati sebuah kalimat yang cukup populer 'Better Done Than Perfect'. Lebih baik melakukan sedikit, daripada kalah banyak (langkah). Ada yang setuju dengan saya?ah..kalau pun tidak tak apa-apa? Bukankah nada itu indah karena bunyinya tak seragam ditelinga kita? He he he


PS: Terimakasih sudah berkenan  mampir membaca..kalau pusing selepas baca tulisan saya segera hubungi pihak yang berwenang terhadap anda ya...jangan hubungi tetangga..sekali lagi jangan..

Salam


#oneweekonepost
#rumbelliterasimedia
#belajarmenulis


Read More