Setahun berlalu sejak pertengahan tahun 2002 kita mulai
bertegur sapa. Diskusi buku, membahas pertandingan liga sepakbola, situasi politik, sosial, berpetualang mencari HIK (Hidangan Istimewa Kampung) atau lebih dikenal dengan angkringan yang obrolannya pemilik dan pengunjungnya asyik. Sampai menemaniku melakukan tugas social experiment di beberapa lokasi di Solo yang berlabel "kuning". Tidak setiap hari kita bertemu atau bertegur sapa meski kost kita saling berhadapan. Sesuai kesepakatan tidak akan saling mengganggu semua aktifitas dan prioritas kita,
|
Source : Google |
Hingga satu hari kamu
begitu yakin meminta waktu untuk bicara padaku, di ruang tamu rumah kontrakan mbak kostku yang harus pindah dari
kost untuk menyewa rumah agar lebih ringan bia yanya. Sebab kakak, adik,
dan beberapa saudara dari
Lampung juga ikut kuliah
di Solo. Ia sudah dekat layaknya saudara, dan
nampaknya kalian berkonspirasi hari itu. Sesampai disana, setelah bercerita
kesana kemari dengan alur dan topik campur aduk. Kamu minta waktu sebentar untuk bicara
padaku. Kita ke ruang tengah, entah kita sedang merayakan apa hari itu sampai ada masak besar. Di tengah
riuh ramai mbak Nik sekeluarga ditambah beberapa teman lain datang, tiba-tiba
kamu bilang ada yang ingin kamu bicarakan. Firasatku mengatakan ada sesuatu
yang...hmm..aku takutkan dan hindari selama ini. Ternyata betul kamu minta ijin ingin
mengutarakan perasaanmu.Kita duduk bersila dan saling berhadapan agak berjauhan. Aku mendengarmu menghela
nafas beberapa kali dan hembusan nafas yang berat. Mataku menatap
sekeliling ruang itu, ingin mencari celah untuk kabur rasanya.
“Bismillahirrahmanirrahiim...aku
mau bilang sesuatu tapi kamu jangan marah”. Nampaknya kamu masih
mengingatnya, maka kamu kunci dengan permintaan maafmu dulu.
“Hmm...kenapa?”
“Dengarkan
sampai selesai aku bicara tolong jangan
disela..”
“Oke”
Kamu menghela napas
kembali, kali ini lebih panjang, dalam dan berat.
“Baiklah
dengarkan...Sebagai
saudara sesama muslim dan sebagai bentuk ukhuwah islamiyah. Aku ingin
silaturahmi sama kamu, berproses untuk lebih mengenalmu. Setelah itu jika semua
berjalan baik aku ingin silaturahmi sama keluargamu, lalu jika Allah
mengijinkan aku akan mengkhitbahmu. Dan bila Allah meridhoi dan orangtuamu
merestui pangkal dari niatku ini adalah aku akan mengucapkan akad
didepan orangtuamu“
“Aku
sudah selesai..silahkan dijawab tapi sekarang... saat ini juga. Boleh atau
tidak?”
“Kenapa?!?”
“Tidak
ada kata besok pagi karena jika jawaban itu datang besok artinya kamu
mendengarkan suara logika pikiranmu. Aku pengen kamu pertimbangan ini pakai rasa...akal logika perasaanmu.
Seperti yang selalu kamu
bilang kan akal pikiran dan akal hati tidak bisa selalu beriringan tapi hati
memiliki penjaganya bernama nurani..Aku ingin kamu jawab pakai itu. Aku hanya butuh ijinmu
untuk melanjutkan niatku”
“Tapi...ini
seperti intimidasi tahu nggak?!...memberikanmu ijin atau tidak aku masih ragu”
“Tetap
saja aku tunggu jawabannya sekarang. Baik aku kasih waktu sepuluh detik”
“Hah?!?
Yang bener aja, Am?” dan keringat dingin mulai terasa merambat dari kaki hingga
ke ubun-ubun.
Jauh
didalam hatiku aku berdoa bertubi-tubi supaya aku diberi kekuatan menjawab yang
tepat. Sebab orang dihadapanku ini orang baik, jangan sampai ada penyesalan di
kemudian hari.
Aku
tarik napas dalam-dalam dan merasakannya hembusannya keluar perlahan-lahan,
sambil memejamkan mata ku coba setenang mungkin.
“Bismillahirrahmanirrahiim
, Baik aku jawab...aku..ti..dak bi..sa...mmh...” aku pandangi kedua belah
mata orang yang duduk dihadapanku ini. Anak matanya nyaris membulat hitam hampir penuh.
Oh...Tuhan..dia berharap! Seketika aku menangkap perasaan kecewa pula disana ketika ia mendengar
kalimatku yang menggantung, pupil matanya yang membulat mulai beranjak mengecil. Ia tertunduk.
Entah aku terilhami oleh apa...seperti tanpa sadar
lidah refleks melanjutkan
ucapan yang menggantung tadi...ti..dak bi..sa... bilang..TIDAK”. Aku tersentak
sendiri mendengar penyelesaikan kalimatku tadi. Ini betul-betul terjadi..aku
seperti diluar kuasaku. Terlambat...nggak mungkin aku tarik kalimatku
tadi...tak mungkin...aaah aku harus gimana..penyesalan sudah tidak ada guna.
Seketika
air mukanya berubah riang, dan aku...bisa lah dibayangkan raut wajah masih terhenyak heran
dengan jawabanku sendiri.
Aneh!! Ada dua
suara dalam hatiku, sisi lain lega dengan pilihan jawaban itu tapi disisi
lainnya takut ini bukan keputusan yang tepat. Takut kalau saja ini akan melukai hubungan
baik kami berdua nantinya. Kamu meraih tanganku, membawanya ke dahimu dan
mengucapkan dengan intonasi penuh sukacita dan kelegaan, “Terima Kasih...”,
ucapmu sambil menegakkan kepalamu lagi. Kulihat ada genangan tipis dikedua sudut
mata yang berbinar itu.
“Tapi
ingat ini berproses, bukan pacaran atau apapun seperti yang dipahami orang-orang. Kamu masih ingat tho? Apa arti pacaran buatku?” aku segera melanjutkan kalimatku
sebagai konfirmasi agar tidak ambigu maknanya nanti.
“Ya..ya..paham..pacaran menurutmu adalah
sesuai arti bahasa Kawi-nya; perjalanan menuju pernikahan. Tidak ada
kewajiban makan bareng, wajib lapor, kemana-mana harus bareng dan seterusnya.
Begitu kan maksudmu...?”
“Baguslah
kamu ingat. Aku nggak mau kalau harus ada acara lapor melapor, kamu dimana? sedang
apa? atau
harus sama-sama tiap waktu, makan bersama, pergi kemana-mana harus bersama. Kamu tahu
aktifitas dan dunia kampusku. Sekali
lagi ini proses, kita harus
tetap membebaskan satu sama lainnya. Sampai memang suatu saat Allah menunjukkan definisi lain
dari apa yang kita sepakati hari ini”
“Satu
lagi, aku ingin dimengerti dengan semua kemanusiawianku. Aku cuma perempuan biasa yang punya
cita-cita dengan
segala kesempurnaan kekurangannya. Aku banyak kekurangannya sebagai perempuan. Kamu harus siap dengan
segala kemungkinan kemanusiawianku itu.”
“Iya
aku ngerti aku juga bukan orang baik...sekali
lagi terima kasih ya”
Begitulah tahapan baru kisah perjalanan awal proses kami,
aku memang bimbang tapi seperti katamu aku harus membiarkan akal hatiku
berperan. Setelah mampu menimbangnya, akal pikiranku pun mengingatnya bahwa
belum pernah ada lelaki yang proposalnya seperti ini. Jelas, pasti dan memiliki
visi. Lalu apalagi? Maka akal hatiku menuntun lidah ini memberikan sentuhan
terakhir pada kalimatku dengan kata, TIDAK”
Memang memberikan kesempatan untuk
berproses sama saja membuka peluang untuk menyakitinya karena sejak awal aku tidak terlalu suka
dengan konsep pacaran. Terlepas dari halal dan haramnya, secara pribadi aku
nggak cocok dengan konsep itu. Yang mendahului menuntut hak yang bukan miliknya
karena seolah-olah pacaran adalah label kepemilikan sah. Padahal sama sekali tidak. Masa itu masih banyak hal yang
ingin ku perbuat, selalu muda, selagi masih jadi mahasiswa yang dipercaya
idealisme dan gagasannya otentik untuk melakukan banyak perubahan. Aku nggak
ingin terbebani, dengan terjebak dalam perasaan yang belum semestinya. Masalah
psikis akan selalu memiliki ranah tak teridentifikasi potensi arusnya tak
selalu mudah dipahami.
Sejak proposalmu kamu sampaikan di awal tahun 2003, semua
masih berjalan seperti biasa, tak ada yang berubah. Perlahan bejana setengah
penuh mulai kita isi seiring proses yang kita jalani. Mulai meletakkan asa
dijejak-jejak percakapan kita. Diam-diam aku sadar perlu memaknai ulang proses
kita ini. Ada biduk-biduk kecil yang mempertanyakan akan menjadi siapakah
engkau nanti? Kemana segala rasa yang belum punya nama ini akan berlabuh?
|
Maafkan saya bapak/ibu dosen... |
Ada beberapa hal kecil perubahan, seperti kita mulai rileks
membicarakan orang-orang dekat kita; orang tua, adik-adik, saudara sepupu. Ya,
aku memang tidak memilih bejana yang telah sempurna terisi, sebab aku takut
terjebak, terbuai lalu lalai. Alasan lain manusiawinya kepribadianku yang mudah
bosan jika zona itu terlalu “nyaman”...flat.. Kamu? meski tak selalu berhasil ada saja canda yang kamu bawa, membuatku ingin menertawakan apa saja.
Intensitas pertemuan kita jadi lebih sering karena kamu
minta tolong aku menemani mengolah data penelitian skripsimu. Pertengahan tahun
kamu sudah merampungkan studimu. Tiba saat kamu diwisuda, tatap muka pertama
dengan kedua orang tuamu. Namun aku harus pamit karena tepat dihari wisudamu
itu aku harus ke Jakarta menggantikan mama yang belum pulih pasca operasi. Selepas
wisuda itu juga kamu langsung boyongan pulang ke kampung halaman. Kemudian kita
mulai mengakrabi jarak sebagai penguat proses kita. Awal tahun 2004, kamu
memberi kabar diterima di perusahaan ekspor impor di Semarang. Posisiku masih
di Solo mengurus olah data penelitian skripsiku, ya karena pilihanku
menggunakan penelitian kualitatif maka mengolah sumber datanya jauh lebih lama.
Kurang lebih satu tahun aku berjuang menyelesaikan skripsi idamanku itu.
Kupersingkat
saja ya...seperti awamnya orang yang sedang berproses dari tahun ke tahun pasti
ada pasang surutnya. Namun, selalu saja kami kembali dengan segala bentuk
peninjauan ulang hingga di tahun 2005; bulan agustus kamu berhasil sampai pada
prosesmu untuk bicara kepada papa tentang niatmu meng-khitbahku. Kamu bilang umur
26 adalah usia yang ia tetapkan untuk menikah. Ia percaya jikapun bukan
denganku bisa dengan siapa saja yang Allah perkenankan. Alhamdulillah, akhir
tahun 2006 di bulan syawal kamu pun melunasi proposalmu, menggenapi separuh agama
kita. Kamu pun ucapkan akad
didepan orang tuaku. Lelaki itu (ternyata) memang kamu .... telah mengetuk pintu
(hati)ku.
|
Berkat Bakat INPUT, masih terselamatkan :) |
#GebyarLiterasiMediaFebruari
#CintakuTakSebatasValentinePart2
#RumbelLiterasiMediaIPS