BERDAYA BERSAMA PENA, BISA SAJA!

Rabu, 31 Oktober 2018

Hey, Hari Terakhir!

Aaahaaay... sampai jua perjalanan belajar konsisten ini dipemberhentian sementaranya. Halte pertama untuk beralih ke tantangan selanjutnya yang jauh lebih menggoda. Tema hari ke sepuluh kali ini mengusung tentang menjadi wanita yang berdaya dengan pena. Menarik kan ya? Mengangkat pena menggoreskan tinta jadi senjata yang memiliki daya.


Tentu saja daya yang berdampak baik bagi peradaban. Sebab kita tahu bahwa kehidupan tersusun dari kepingan-kepingan cerita, dan peradaban bergerak bersama cerita-cerita. Suka atau tidak cerita itu yang membentuk diri kita.

Kata-kata berdaya bersanding dengan wanita. Makhluk Tuhan yang instalasi dayanya sudah dahsyat dari awal diciptakannya. Baik fisik maupun psikologis sudah ditempa dan dipersiapkan untuk tahan uji disegala macam frekuensi. Tinggal bagaimana kemampuan sang operator saja nih? Mau putar tombol yang mana, kemana, agar potensi yang sudah luar biasa ini nggak bocor halus... sia-sia, Hehe.
Sampai ada yang pernah bilang bahwa jatuh bangun suatu bangsa bergantung pada kualitas perempuannya! Apa nggak bangga nih yang jadi wanita? Eh tapi jangan jadi jumawa dong ya..:).
Kolaborasi dua sumber daya ini pasti tak diragukan lagi, bisa jadi daya gerak baru untuk perubahan. Wuiiih...keren ya...ah kosakata apa lagi sih untuk  bisa lengkap menggambarkannya...

Analogi kalimat bersama pena menjadi wanita berdaya bisa dibawa kemanapun. Menurutku tak melulu kita harus lihai menulis sih. Sebab tak semua orang diciptakan dengan kemahiran mengolah kata-kata. Meski konon wanita memiliki ribuan gudang kata yang tersimpan dalam benaknya. Wiih...kebayang kan ya banyaknya 'ribuan gudang' , hehe. Wanita adalah makhluk yang pandai memahami bahasa, bahkan bahasa kalbu sekalipun sebab perasaan alamiah berkasih sayang adalah salah satu fitrahnya. Perasaan itu terkadang diterjemahkannya melalui kata-kata. Jadi  jangan heran makanya dimana-mana wanita itu lekat dapat label ciriwis, doyan ngomong. Ia makhluk yang secara  intuitif akan bereaksi pada setiap situasi yang ia hadapi. Peka secara rasa dan kata begitulah kira-kira. Tapi tetap saja tak semua orang mudah berjumpalitan mengolahnya kata-kata yang nyaman dan mudah dipahami orang lain.

Satu hal yang pasti sama dari kita adalah semua manusia memiliki ceritanya. Kisah yang tak pernah serupa dengan milik manusia lainnya. Maka jadilah pencerita! Sebagai wanita yang terlahir dengan kelebihan mengolah kosakata. Berbagilah cerita, bukan bicara tentang keburukan tapi saling bertukar makna hingga siapa tahu ada satu hati yang lega dan tersenyum berkata, "Ah, yaa syukur lah aku tak sendiri...aku baik-baik saja". Inspirasi dan harapan bermekaran setelah mendengar cerita kita. Hangatnya perasaan yang tercipta setelah membaca  dan atau mendengar cerita kita. Merasa ada kawan, merasa tak sendirian, merasa ada sandaran, merasa tak menjadi sandera kehidupan. 

Bukankah jika dengan demikian kata-kata kita, khususnya sebagai wanita telah memiliki daya?! 
"Hei, Dee jangan buang waktumu lagi!". Aku berseru pada sosok wanita yang lekat kutatap dalam cermin tepat dihadapanku.



#WanitadanPena
#Day10
#RumbelLiterasiMedia
#IbuProfesionalSemarang
Read More

HASRAT HATI

Selasa, 30 Oktober 2018

Tantangan Hari Ke Sembilan


Tampak jelas sekali terlihat benang merah itu bersenyawa dengan hasrat. Kata demi kata menari, meliuk-meliuk mengikuti suara angan diruang mimpi. Saling berebutan berbaris membentuk formasi dengan berbagai macam diksi. Sesekali aku harus berhenti terengah-engah mengejarnya. Beberapa tak terkejar lagi sebab mereka terlanjur lari sembunyi. Aku tersenyum mendapati riuhnya dunia imajinasiku.

MOTIVASI : HASRAT HATI

Begitulah sedikit aku mencoba memersonifikasikan keriaan yang terjadi dalam diriku. Riangnya hati tiap kali aku berpacu bersama aksara. Sering aku ceritakan, bukan? Bahwa dorongan terbesar sekaligus keinginanku untuk terus menulis adalah untuk berbahagia. Itulah alasan paling dasar mengapa aku ingin jadi penulis dan harus menulis. Aku butuh menulis untuk merayakan episode-episode hidup ini melalui cerita-cerita yang tercipta dari goresan penaku. Jika pada akhirnya ada hal lain yang kudapat katakanlah itu sebagai imbalan jerih payahku maka itulah bonusnya. Melakukan suatu hal yang dicintai, dan membuat mata menghangat berbinar-binar lalu diujung jalan ada kejutan dan hadiah menanti ... Wah nikmat mana lagi yang bisa didustakan ya ?Hehe. 

Tentu setiap penulis memiliki latar cerita yang berbeda-beda mengapa ia ingin berjuang mengangkat pena? Contoh terdekat adalah suamiku. Pernah aku bertanya, "Kenapa sih dulu punya mimpi kerja di media, dari marketing sampai jadi jurnalis?Padahal ya kan tahu dunia jurnalistik di sini kayak apa...".
"Kan udah dibilang untuk jaringan... networking. Silaturahim intinya itu sih. Materi kan nggak cuma tentang uang, ada banyak definisinya, Nie..." dijelaskan panjang lebar setelahnya.
"Kenapa harus pilih menulis... 'nyemplung' jadi jurnalis gitu maksud Ibun?", tanyaku berisik menelisik karena masih penasaran.
"Ya, karena bagi orang rantau misalnya yang nggak punya siapa-siapa mengetahui berita dan fakta sanak keluarga, kampung halaman yang jauh dari jangkauan dirinya itu penting..", jawabnya dengan nada  setengah menggantung.
Sementara aku pahami dulu  lah ya kalimat itu, meski sesungguhnya aku tak mengerti benar. Mungkin yang dimaksud suamiku adalah ia bahagia mengambil peran menjadi jembatan berita bagi para pencari kabar. 


BAHAGIAKU DAN BAHAGIANYA

Bahagiaku adalah bahagia mereka. Mereka yang sudi meluangkan waktu untuk membaca kisah ceritaku. Bahagia  bersama mereka bahkan sekalipun kisah itu untuk menarasikan nestapa. Menertawakan duka lara. Tak ada cerita yang sama dalam kehidup an manusia. Semua membawa kekhasan misi hidup dan kisah penciptaannya dari Sang Pemilik Semesta. Hingga rasanya tak berlebihan jika bagiku peristiwa saat proses menulis karya itulah inti dari semuanya.

Motivasi terbesar selain berbahagia adalah jujur pada perjalanan penaku itu. Mengikutsertakan hati  nurani untuk  berbagi. Sebab semua diksi, teori tidak akan berarti jika tak ada hati yang menghidupkannya. Bergerak untuk menuntaskan setiap cerita yang sudah berani dimulai. Meniupkan ruh cinta yang ada untuk terus bisa memeluk hasrat merekam jejak-jejak aksaraku. Maka hati ini memang harus diberikan kompas agar sampai selamat pada hilir tujuannya.
Betul sekali! Motivasi, hasrat, dorongan dalam diri untuk terus mau berbagi bahagia apapun ceritanya adalah petunjuk arah kemudi agar aku selalu mampu menuntaskannya hingga karya asa itu terjadi.


#WanitadanPena
#10DaysChallange
#Day09
#RumbelLiterasiMedia
#IbuProfesionalSemarang
Read More

PENA ASA DAN KARYA

Senin, 29 Oktober 2018

TANTANGAN HARI KE DELAPAN


Tak terasa beberapa langkah lagi nyaris sampai di hilir waktu tantangan ini berakhir. Hari kedelapan ini kami mendapatkan sebuah mantra kata-profesi. Sebuah ranah profesional bagi semua orang yang berjuang bersama pena. Sebenarnya sih banyak profesi yang bergelut dengan kata-kata, tinta, dan pena. Sebut saja jurnalis, mereka berlarian bersama fakta  dan menggunakan tinta tulisannya untuk menyampaikan berita mutakhir terpercaya yang terjadi disekeliling kita. Selain itu ada beberapa lagi label predikat turunannya bagi si laskar pena, seperti penulis, novelis, cerpenis, blogger dan banyak lagi sebutan lainnya. Semua berjuang bersama tinta menerjemahkan semua cerita kita.

Memaknai Profesi Ini

Profesi secara bahasa diartikan sebagai janji seseorang untuk melakukan kewajiban dan tugas spesifik secara konsisten atau permanen. Sebuah profesi menuntut keahlian dalam bidang tersebut. Profesi juga diatur dan dilindungi oleh kode etik atau aturan tertentu.
Berbeda dengan pengertian pekerjaan, seorang profesional tidak hanya mementingkan materi atau imbalan yang akan didapatkannya. Profesional adalah seseorang yang berkomitmen dan berkompeten pada suatu bidang profesi yang ia geluti. Seorang profesional akan tetap berusaha mengedepankan nilai-nilai luhur profesionalisme seperti nilai moral, etika demi memegang teguh kehormatannya serta juga profesinya.  Sehingga ketika aku mencoba melihat ke dalam diriku dan memahami kembali semua pengertian itu, sejujurnya hingga kini aku pun belum berani benar meneguhkan diri sebagai seorang calon penulis profesional. Bukan lah sesuatu yang mudah untukku melakukan  sesuatu tanpa berpikir esensinya. Sekuat apapun aku menyederhanakan  akal  pikiran  ini  selalu saja akan ada riak gejolak yang tak bisa aku tolak dikemudian hari. Aku harus paham apa yang kupilih, sebab pilihan yang kuputuskan harus ku terima dan jalani dengan semua konsekuensinya. Atas ijin-Nya pasti semua asaku bersama pena yang sudah kulukis dicetak biru impianku akan terjadi. Segera suatu hari nanti, pasti!

Pena Asa dan Karya

Tertatihnya aku sebenarnya terkait inkonsistensi diri yang lumayan akut...he..he..he. Iya, masih suka terdampar mood-nya entah kemana. Timbul tenggelam karena gaduhnya pertanyaannya dalam diriku sendiri. Namun percayalah didasar hati ini menjadi seorang penulis profesional tetap jadi salah satu impian favorit terbesarku. Misi terbesar aku ingin terus menulis adalah untuk keabadian. 
Diriku yang berbatas durasi, tak akan pernah tahu kapan kembali kepada yang Maha Pasti. Eh terus apa hubungannya dengan profesi sih? Oke jadi begini...ehem...jadi katakan lah ketika benar-benar sudah memutuskan bahwa aku akan menjadi seorang penulis profesional artinya segala konsekuensi logisnya harus sudah aku ukur sebelumnya. Tidak ada setengah hati, setengah rasa dan setengah kerja. Batasan dan kekuatan yang ada padaku harusnya sudah ku timbang untuk menjadi senjata untuk berkarya  lebih nyata. Tentu saja tidak akan mudah menuju kesana. 
Menitipkan asa pada karya yang akan dibaca melintasi batas masa bahkan ketika aku sudah tiada. Maka sungguh aku tak diam saja, saat ini aku sedang terus berusaha perlahan merekam jejak aksara, mengumpulkan remah-remah keberanian yang terserak untuk lebih lantang mengutarakan lebih banyak lagi mantra-mantra cinta yang mampu terbang melintas batas cakrawala.

Bismillahirrahmanirrahim

Ku genggam pena ini erat dan meski perlahan-lahan aku mencoba menguraikan asa yang ada ke dalam rangkaian aksara agar asa ini menjadi karya. Sebuah destinasi pilihan menuju profesionalisme nyata, demi prasasti bernama keabadian.

#WanitadanPena
#Day08
#RumbelLiterasiMedia
#IbuProfesionalSemarang
Read More

Gerbang Kesuksesan

Minggu, 28 Oktober 2018

Responsibility is root of discipline!

Tanggung jawab adalah akar atau sumber dari perilaku disiplin. Yep! Aku masukkan pemahamanku tentang disiplin ini sebagai perilaku. Terus apa dong pengertian perilaku itu? Perilaku adalah sebuah reaksi, aksi, tanggapan terhadap stimulus atau rangsangan yang didapat seseorang dari lingkungan sekitarnya.

Disiplin = Kebiasaan + Tanggung Jawab

Begitu lah kira-kira kunci perilaku disiplin ini, awalnya hanya masalah kebiasaan. Kebiasaan yang meletakkan dan mengatur segala sesuatu pada jalurnya. Pembiasaan ini  mutlak perlu dilakukan  dengan penuh kesadaran akan tanggung jawabnya. Masalahnya darimana asal kesadaran itu? Apakah ia datang muncul tiba-tiba begitu yang datang tak diundang pulang tak diantar?....aiiih kok jadi seraaam ya...:). Oke baiklah tenang nggak seseram itu kok. Kesadaran itu muncul karena seseorang sudah memahami apa yang sedang ia jalani, apa yang ingin diraih, apa yang menjadi hilir tujuannya dan memahami pentingnya menghargainya konsep waktu. Betul, disiplin juga berbanding lurus dengan cara seseorang menghargai waktu. Waktu yang tak akan pernah bisa kau minta kembali jika telah pergi.


Kita harus pahami kesuksesan seperti apa yang ingin dicapai. Ketika sudah secara sadar memahami apa yang jadi tujuan maka selanjutnya dengan rasa tanggung jawab itu seseorang akan terus dapat melakukan kebiasaan yang akan membantunya meraih kesuksesannya. Meski kini masih berupa impian perlahan akan menjadi kenyataan.
Aku pun begitulah kira-kira, saat ini jujur aku belum mampu mendisplinkan diri. Masih banyak lubang menganga karena alpa. Semata-mata karena kadang aku merasa masih berada di area abu-abu tujuanku. Maju mundur memikirkan kembali warna asli misi yang ada dalam nurani. Ada semacam rasa takut dalam diriku jika ada sesuatu hal yang justru malah mengaburkan niat awalku.
Namun aku tak menyerah atau berhenti untuk terus menyusun konsep kesuksesan yang ingin aku capai. Sebagai pribadi, sebagai penulis, sebagai praktisi dan konselor yang peduli dan mendampingi anak-anak serta remaja, apapun label predikat yang ingin aku capai sekuat tenaga aku harus tahu dulu dasar tujuannya. Sambil tak lupa kunyalakan tombol  katalisator dalam diri ini agar nurani tak kehilangan kendali. Kupanggil kesadaranku agar mampu mengamalkan perilaku disiplin itu. Demi Waktu!

#WanitadanPena
#Day07
#RumbelLiterasiMedia
#IbuProfesionalSemarang
Read More

Inspirasi Hidupku

Sabtu, 27 Oktober 2018

Sosok inspirator hidupku ada banyak sebenarnya mulai dari sebagai umatnya maka idola sepanjang hayat adalah Rasulullah, bunda Khadijah, bunda Aisyah, Ali bin Abi Thalib dan istrinya, Fatimah Az-Zahra, orangtuaku, guru-guruku. Semua mempunyai porsi memberikan ruang inspirasi dalam diri ini. Tak terkecuali guru-guru kecilku kini.


Namun tetap dengan lantang kuteriakkan urutan pertama setelah yang dimuliakan Rasulullah Muhammad Shallallahu'alaihi Wasallam ada orang tuaku. Papa mama adalah inspirator yang mengajarkan banyak hal padaku. Mengenal diri dan kehidupan yang melingkupiku. Bagaimana mengambil peran dan bertanggung jawab dalam  menjalani kehidupan manusia ini agar terus mampu menerjemahkan maksud Tuhan tentang keberadaan kita.
Aku belajar banyak pada mama tentang kesungguhan beliau menjalankan perannya sebagai ibu. Tidak banyak keluhan, yang nampak hanya kasih sayang yang heran entah dimana beliau selalu menemukan kembali energi untuk melakoni peran sebagai ibu rumah tangga yang seabrek tugasnya. Beliau berdua mengajarkan pula bagaimana mengelola rumah tangga yang selaras. Tak segan berbagi peran dan fungsi. Aku kadang tertegun betapa terencana kehidupan rumah tangga beliau. Rumah tangga orang tuaku tak sempurna namun setidaknya ada banyak kesan luar biasa dalam semua proses tahapan yang dilewatinya.

Diurutan setelah orang tuaku ada guru BP (Bimbingan Penyuluhan) atau kalau sekarang disebutnya konselor sekolah atau guru BK (Bimbingan Karir dan Konseling). Bapak Edi Busono namanya. Beliau adalah aktor dibalik layar yang mungkin beliau tanpa salah menjadi inspiratorku untuk menjadi seorang seperti beliau. Guru BK yang berlatarbelakang pendidikan S1 Psikologi. Lewat beliau dan atas ijin Allah Ta'alla aku menemukan misi hidup untuk menjadi konselor anak-anak dan remaja di usia 14 tahun. Dibangku kelas 2 Sekolah Menengah Pertama itu aku sudah menemukan impian untuk bisa berada ditengah anak-anak tanggung yang sedang kebingungan mencari jatidirinya. Agar ia selamat sampai tujuan menjadi manusia dewasa yang bahagia. Aku terinspirasi pada sikap beliau saat menangani anak-anak luar biasa di sekolah kami. Anak-anak yang sering "dikirim" ke ruang BP. Seingatku beliau tak pernah  marah kepada mereka justru lebih memberikan ruang pada mereka untuk bercerita tentang impiannya atau apa saja. Hingga keesokan harinya tanpa diminta mereka datang lagi dan lagi untuk berbagi kisah mereka sehari-hari. Saat itu beliau diperbantukan juga untuk jadi guru elektronika. Aku yang penasaran terus mencari tahu bagaimana bisa beliau memiliki konsep berpikir yang berbeda dari guru BP yang lain. Ternyata beliau adalah lulusan Universitas Gajah Mada jurusan Psikologi. Sayang sekali aku tidak menanyakan kelanjutannya.

Terdengar berlebihan ya..tapi cerita ini tak akan pernah usang dan akan aku ulang-ulang setiap kali ada yang bertanya bagaimana aku menemukan ketertarikanku pada dunia psikologi, anak dan remaja.

Begitulah pada dasarnya inspirator hidupku adalah semua orang  yang berhasil menitipkan inspirasinya  dalam proses perjalanan menemukan diriku. Ya semua! Siapa saja ada banyak nama dalam daftarku yang aku harus mengucapkan salam dan terima kasih. Telah membantu membentuk diriku hari ini, esok dan nanti.



#WanitadanPena
#Day06
#RumbelLiterasiMedia
#IbuProfesionalSemarang
Read More

Dapurku Istanaku

Jumat, 26 Oktober 2018

Rumahku surgaku, tiap kenyamanan hampir pasti diidentikkan dengan surga. Damai, tentram, sejahtera hanya ada bahagia. Begitulah kira-kira impian dan harapan tiap orang akan rumah idamannya. Sekuat tenaga semua anggota keluarga akan berjibaku mewujudkannya. Harapan bahwa rumah menjadi surga terindah bagi jiwa dan raga semua penghuninya.


Layaknya rumah, ada satu bagian ruangan di dalamnya yang memegang peranan penting. Ruang yang menyatukan ruh para penghuninya. Sempit ataupun luas tidak masalah sebab fungsinya jauh lebih kaya makna dibandingkan  ukurannya. Namun entah mengapa, sudah terlanjur dapur banyak dikonotasikan negatif sebagai tempat yang kotor, berantakan, tidak bersih apalagi rapi.

Memaknai dapur sangat bergantung pada pilihan dan pemahaman masing-masing orang melihat substansinya. Jika maknanya hanya sekedar tempat masak, meletakkan barang dan aneka bumbu, maka dapur hanya  dipahami sebagai tempat transit, sementara dan berkata, "Ah, tak perlu lah rapi-rapi amat toh juga cuma sebentar disana, masak, makan lalu ditinggal pergi".

Kalau ada orang memilih konsep berpikir demikian, ya cukup lah hargai saja. Kita tidak bisa memaksa preferensi orang lain bukan? Sebab semua pengalaman panca indera  tiap orang berbeda. Apa yang pernah dialami ruh dan raga seseorang saat proses mendengar, melihat, melakukan, merasa akan menentukan sudut pandangnya dan kemampuan menilai suatu hal termasuk cara menyikapi segala sesuatu disekelilingnya.

Bagaimana dengan aku? Aku mengakui berada disisi pemaknaan yang lainnya. Bagiku dan suami dapur adalah tempat paling strategis sekaligus romantis. Obrolan pagi didekat meja makan di dapur hampir tak boleh dilewatkan. Suara musik dari radio tua menemani merayakan "Coffe Morning Time" kami. Memang tidak selalu aku duduk gabung dikursi makan. Suamiku terus berbagi cerita sembari tangannya tak berhenti memantau dan menulis berita melalui gadget andalannya, sedang aku sibuk mempersiapkan  semua sesajen keperluan sarapan. Kami terus mengobrol, diskusi, bercanda, sesekali berdebat. Sebuah romantisme percakapan pagi hari yang kami percaya adalah rapal mantra paling ampuh untuk menguatkan ikatan cinta kasih di dalam rumah tangga ini. Filosofi dapur yang luar biasa, kan? he-he-he.

Obrolan ringan ini tak boleh kehilangan maknanya, kadang kami bicara soal remeh temeh seperti ternyata ada tikus mati entah diselokan siapa sampai berhari-hari baunya tak mau pergi hingga berita pilkada yang mulai makin menggelitik untuk diulik. Ssslurruuup... glek... sesekali ku jeda menyeruput kopi hitamku yang  selalu saja terlanjur dingin untuk dinikmati. 

Begitulah, dapur bagiku menjadi salah satu tempat mengejawantahkan rasa cinta, kasih dan sayang. Mulai dari menyiapkan menu, mengumpulkan bahan masakan, meracik bumbu, mengolah, memasak dan setelah matang kemudian berpikir bagaimana cara menyajikannya didepan para juri. Saat ini juri dirumah ini baru ada suami dan kelak dengan ijin Allah Ta'alla akan ada barisan juri luar biasa lainnya, anak-anak kami. Selain cita rasa yang sempurna, tampilan sajian makanan akan berperan penting pada baik buruknya selera makan tiap anggota keluarga. Peran dapur menjadi semacam pintu khusus (connecting door) yang menghubungkan tiap ruangan dalam rumah tanpa terkecuali.

Namun yang jadi ya tantangannya untuk berlama-lama di dapur jelas bukanlah kesenanganku. Tidak seperti yang lainnya yang gagah berani mengeksplorasi resep-resep baru dimajalah. Kalau aku hanya sebatas penikmat kuliner-kuliner saja lah.  Masak juga ya yang standard saja. Sebenarnya sesekali kalau agak longgar hobi juga melihat tayangan televisi masak memasak.  Padahal hasilnya cuma muka pengen doang sebab eksekusi resep adalah keniscayaan :).

Sesekali mencobanya sih tapi lebih banyak pilih masaknya ya yang aman saja lah ya..apalagi suami kalau makanan agak kecolok ala Western begitu suka protes. Ya, syukur deh lidahnya merah putih jadi gampang lah cari referensi. Setidaknya asal ada Warung Tegal atau Warung Nasi Padang masih buka tetap tentram lah hatiku. 

Pintaku pada Tuhan, semoga selalu bisa menjaga hangat cinta di istana dalam  surgaku ini agar terus mampu menghubungkan seluruh ruh-ruh penghuninya. Dapurku Istanaku.

#WanitadanPena
#Day05
#RumbelLiterasiMedia
#IbuProfesionalSemarang
Read More

Jejak-Jejak Sajak Kehidupan

Kamis, 25 Oktober 2018

Kawanan nyamuk semakin malam semakin  menggila. Suara dengungannya juga terdengar lebih kencang beberapa malam ini. Saling bersahutan terdengar dari rumah tetangga, suara sengatan raket listrik penangkap nyamuk. yang mengenai sasarannya. Nyamuk yang tersengat raket itu tentu saja tak mungkin selamat. Itu pertanda akhir masa hidupnya.
Hmm... lingkaran putaran waktu memang teka-teki misterius. Tak ada yang pernah mengerti kapan masa kesempatan harus berlalu; terbang mengangkasa seperti debu terbawa angin. Kita memang benar-benar bukan pemilik waktu.


Tantangan Hari Keempat



Ah ya...hari ini tantangan hari keempat, bicara tentang portofolio. Berbeda dengan subtema sebelumnya hari ini lumayan putar otak. Bingung karena jika ini dikorelasikan dengan karya...aiiih...belum ada karya yang dengan sungguh-sungguh bisa aku banggakan diblantikanya para penggiat literasi. Portofolio secara umum bisa diartikan kumpulan dokumentasi seseorang, lembaga atau perusahaan. Dokumentasi ini bisa berupa tulisan, gambar atau sumber lain yang berguna untuk mencatat rekam jejak seseorang, lembaga atau perusahaan. Catatan ini biasanya digunakan untuk mengukur kemajuan prosesnya, apakah sudah sesuai dengan target tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Mengacu pada pengertian itu, aku berpikir selain foto aku punya  apa? sepertinya aku mulai sekarang harus mengumpulkan data catatan dokumentasi pendukung lainnya.
Lalu rekam jejak apa yang sudah berhasil aku kumpulkan? Jika ini terkait dunia literasi, kebanggaan pada karyaku baru muncul melalui skripsi yang kutulis bertahun-tahun silam. Ah ya meski tersebar diberbagai sobekan kertas dan banyak yang belum dirapikan. Puisi juga merupakan salah satu pintu pelarian paling favorit jika penat menghampiri. Sempat dulu pernah berharap juga satu hari satu puisiku masuk ke dalam buku antologi puisi. Tapi sebelumnya pernah punya mimpi puisi-puisiku itu terkumpul jadi satu buku. Angan ini muncul setelah baca buku kumpulan puisinya Mbak Rieke Diah Pitaloka alias mbak Oneng. Judulnya Renungan Kloset. Ah jadi melantur ceritanya he-he-he.
Satu yang pasti yang aku yakini tentang rekam jejak paling hakiki adalah mematri inspirasi positif dalam hati tiap orang yang kutemui. Agak abstrak memang, pakai tolak ukur apa keberhasilan interfensinya? Mungkin terdengar agak konyol namun begitulah yang aku pahami. Segala sesuatu yang berasal dari hati, digerakkan oleh hati akan mampu menggerakkan hati yang lain pula untuk berbuat kebaikan yang sama bahkan jauh lebih baik. Itu lah yang aku lakukan kepada anak-anak ideologisku. Bersama guru-guru kecilku aku berbagi, menitipkan banyak cerita baik, memberi teladan, dan selalu mengajak mereka berbuat hal baik. Satu hal baik yang ditularkan kepada orang lain, dan satu orang tersebut terinspirasi kemudian ia beraksi berbuat satu kebaikan lainnya. Aku masih percaya bahwa ini adalah portofolio hidup paling murni bagi diriku sampai saat ini. Terkait dengan dunia pena, tentu saja saat ini aku sedang terus berbenah dan bergegas mengejar ketertinggalanku. Tujuannya, supaya portofolio yang masih abu-abu ini menjadi semakin berwarna serta sajak-sajak kehidupan tidak terlewat diceritakan.

#WanitadanPena
#Day04
#RumbelLiterasiMedia
#IbuProfesionalSemarang
Read More

CITA-CITA SEJAUH IMPIAN

Rabu, 24 Oktober 2018


Wah sudah masuk hari ketiga, godaan setan inkonsistensi pasti lah ada....wusss...wusss...meniup sepoi-sepoi dikepala supaya terlena. Eitsss...hushh...husssh...jurus berkelit harus selalu siap siaga nih he...he...he... dan Alhamdulillah tantangan hari bicara tentang cita-cita. 

***

"Bunda, ini ditulis cita-cita atau impian?", seorang siswa menghampiriku sambil menunjuk kertas kosong berukuran F4 putih polos  masih bersih yang dibagikan di kelas. Aku mengisyaratkan untuk duduk kembali ke bangku semula, sambil berjalan ke arahnya. Ya, hari itu agendanya adalah membuat mind mapping mengenai perjalanan impian mereka dari masa remaja hingga masa dewasanya. Aku berdiri sebentar memandang sekeliling kelas, kuperhatikan satu persatu tertangkap mataku ada anak-anak yang masih ragu mau menuliskan apa. Disudut lain beberapa siswa tampak sudah yakin dan kuperhatikan ekspresi wajah mereka serius sekali menulisnya. 
Ku hentikan langkah didekat tempat duduk siswa yang bertanya. Badan agak aku putar serong agar tetap luas pandanganku melihat aktifitas para siswa. "Anak-anak, sebelum ibu jawab pertanyaan temanmu tadi siapa yang tahu beda cita-cita dengan impian? Atau menurut kalian sama saja?", aku bertanya sambil menyapu pandangan dari tiap sudut kelas.

Kelas menjadi sedikit riuh sejenak dalam hati aku sedikit geli sebenarnya. Tapi memang harus ada proses gaduh seperti itu karena proses belajar hingga sampai tataran paham itu tidak seragam. Ada yang berpendapat itu adalah persamaan kata, tapi tak sedikit yang bilang beda.

"Cita-cita itu nyata kalau impian itu bisa jadi itu cuma khayalan Bun", jawab salah seorang siswa. Kemudian disusul jawaban-jawaban lain dari beberapa siswa. Setelah kurasa cukup mereka diskusi bebas dan agar level kebingungan tidak semakin tinggi maka aku mencoba beri penjelasan kepada mereka. 



CITA-CITA ATAU IMPIAN 

Kurang lebih begini penjelasanku saat itu, arti kata cita-cita dalam KBBI V berarti kehendak, keinginan yang selalu terngiang dalam pikiran, dan atau bisa diartikan tujuan yang sempurna untuk dicapai dan dilaksanakan. Sedangkan impian berarti barang atau sesuatu yang sangat diinginkan. Cita-cita dan impian saling terkait satu sama lain. Cita-cita itu selangkah lebih maju dibandingkan impian. Namun cita-cita hanya akan jadi sekedar kata-kata jika tidak memiliki impian didalamnya. Impian adalah bahan bakar menuju terwujudnya cita-cita.
Penjelasanku saat itu sepertinya berhasil, seketika setelah selesai menjelaskan mereka lantas bersemangat menggambarkan mind mapping perjalanan cita-cita dan impiannya. Ku tersenyum melihatnya, tampak olehku banyak mata berbinar memancarkan cahaya yang tidak biasa saat menuliskan semua itu. 
Aku yakin cita-cita dan impian ibarat sebuah peta yang mengantarkan tiap orang pada tujuannya. Hampir bisa aku pastikan ketika ada anak datang ke ruang konselingku. Anak yang dianggap bermasalah, terlanjur diberi label nakal, dan lain sebagainya oleh orang dewasa disekelilingnya.. Mereka itu ialah anak-anak yang jarang ditanyai apa cita-cita dan impian mereka? Banyak pula karena mereka malah belum mampu menerjemahkan keinginan sebenarnya yang sesuai dengan bakat, minat dan passion-nya. Bagaimana bisa menerjemahkan keinginan jika mereka tidak diajarkan mengenal diri mereka sendiri? Alih-alih dikenalkan malah yang mereka pahami adalah impian dan cita-cita imitasi yang bukan asli datang dari dalam diri. 
Maka tiap kali mereka datang, dengan apapun ragam kenakalan yang dijelaskan rekan lain. Pertanyaan paling awal yang selalu aku tanyakan adalah "Kamu punya cita-cita dan impian tidak, Nak?".
"Apa cita-citamu kelak waktu sudah jadi manusia dewasa? Coba ceritakan?!".
Hanya sebuah kalimat yang sederhana bukan? Percakapan ini meskipun tampak sederhana akan terus mengalir dan menumbuhkan kembali harapan, serta kebanggan diri sekaligus memberikan tujuan hidup baginya. Semua perlu nilai makna, agar kita hidup tak sekedar hidup belaka.

#WanitadanPena
#Day03
#RumbelLiterasiMedia
#IbuProfesionalSemarang

Read More

Ceritamu, Inspirasiku

Selasa, 23 Oktober 2018

Masuk ke tantangan hari kedua rumbel literasi media Ibu Profesional Semarang. Memang ya hidup kalau nggak diberi tantangan tuh nggak ramai...nggak hidup namanya. Berasa datar aja gitu...jadi demi mengobarkan semangat menulis ini lagi. Tercipta lah "10 Days Challenge"; Tantangan 10 hari menulis. Ibarat mengejar matahari, maka tantangan ini ujian agar konsistensi tetap terkondisi tanpa digerogoti moody...ha..ha..ha...itu alasan aku banget sih.

HARI KEDUA

Tantangan hari ini bicara tentang curahan hati. Mencurahkan isi hati dan atau menerima curhatan semua memiliki maknanya. Berbagi kisah cerita kepada lain tentu saja itu jadi salah satu media relaksasi utamanya perempuan. Penat, luka dan segala macam rasa seolah menemukan muaranya ketika kita mampu membaginya. Beban terasa lebih  ringan sebab kita tahu ada yang mendengar dan menemani kita  Terutama nih buat para kaum hawa yang jumlah deposit kata-katanya tak terhingga. Yaah aku percaya itu salah satu kekuatan yang diberikan kepada kita. Semakin menemukan kekuatan ketika kita  tahu ada sandaran hati untuk berbagi. Semoga tidak terdengar sebagai pembenaran ya he-he-he..

Lalu, apa yang terjadi pada kita yang sering menerima curahan hati seseorang? Adakah manfaat yang dapat kita bawa atau malah justru akan menambah beban jiwa? Tentu saja ada maknanya. Menyediakan kelapangan hati juga telinga untuk mendengarkannya memang tidak gampang. Butuh cadangan energi positif untuk bisa bersama-sama menempuh jalannya. Bersyukur jika cerita yang kita terima hanya cerita yang baik dan bahagia saja. Transfer energi positif itu makin menambah simpanan kita. Namun, seringkali yang ingin dibagi bukanlah cerita bahagia kan? Bayangkan saja apa jadinya?

Memerlukan melatih kemampuan untuk bisa meletakkan simpati dan empati dengan tepat. Kita mencoba ikut merasakan situasi dan kondisinya tanpa ikut larut terjebak didalam pusaran kekalutan mereka. Pengalaman menjalani peran sebagai konselor sekolah, anak dan remaja yang sering bersinggungan dengan keunikan karakter dan kepribadian anak-anaknya. Ditambah para orang tua murid dengan berbagai ragam latar cerita yang tak kalah uniknya. Membuat semua peristiwa proses konseling begitu menarik. Kerap kali memang energi terkuras deras, namun senyum harapan diparas mereka yang ingin kulihat mampu menjadi penawarnya. 

Selalu kubilang pada mereka, anak-anak ideologis ku. "Bukan kalian yang belajar dari bunda tapi justru bunda yang belajar banyak dari kalian. Bukan bunda yang membantu kalian, namun kalian yang sesungguhnya membuat bunda belajar bersyukur dan mengambil hikmah dari curahan hati kalian itu!". Kusampaikan hal yang sama kepada siapapun yang telah berkenan menitipkan cerita padaku. Kalian semua adalah guru-guru ku di universitas kehidupan yang maha luas ini. Terima kasih sudah sudi berbagi inspirasi!

#WanitadanPena
#Day02
#RumbelLiterasiMedia
#IbuProfesionalSemarang

Read More

Aku, Ayah dan Kenangan

Senin, 22 Oktober 2018


Betapa senangnya aku berlarian kesana kemari di alun-alun kota pagi hari itu. Minggu pagi yang cerah, banyak sekali orang berada dipusat keramaian kota Semarang kala itu. Sambil mengunyah makan pagi yang disuapkan mama, aku terus saja mengoceh bertanya ini dan itu. Ayahku dengan senang hati berbagi tugas dengan mama menjawabnya, sambil sesekali mengabadikan momen pagi itu. Tustel pinjaman ah yaa...tustel adalah istilah awam untuk menyebut kamera manual jaman dahulu yang masih pakai klise yang ujungnya perlu diputar...krek...krek...cepreet...

Kenapa bisa tustel pinjaman? Ya kami saat itu masih baru pindah dari ibukota negara ke ibukota propinsi. Seperti keluarga baru pada umumnya, beliau memutuskan tinggal di rumah kontrakan. Kebetulan sebelah rumah kami kata papa profesinya tukang foto keliling. 

Ho ho ho maaf ya pake katanya karena aku masih terlalu kecil untuk mengingat detail peristiwanya. Nah, setiap kali ada acara jalan-jalan di luar ayah selalu menyempatkan diri untuk meminjamnya. Beruntung sekali tetangga kami baik hati, jadi kami  bisa membawanya sesuka hati  kami tanpa sewa sepeser pun. Bagi ayah kenangan adalah tabungan berharga yang bisa mengikat erat hubungan keluarga. Begitu beliau menjelaskan ketika aku beranjak dewasa. Oleh karena itu, momentum apapun berusaha diabadikannya, dengan foto-foto ataupun label-label keterangan kejadian. Ada yang berupa label cetakan dan ada banyak juga yang  tulisan tangan beliau. Berisi keterangan lokasi, peristiwa apa dan jika itu kegiatan  massal maka akan ditulis bersama saja dalam peristiwa itu. 

Ayah...hmmm...papa begitu aku biasa panggil beliau...papa memang seperti pria pada umumnya yang tak suka banyak bicara. Tapi tidak termasuk pendiam juga, sebab jika bertemu dengan orang yang memiliki bahan pembicaraan yang sepadan beliau tak akan pernah bisa berhenti bercerita. Papa selalu menunjukkan sikap jika beliau adalah ayah yang bertanggung jawab, terorganisir dan rapi. Bekerjasama dengan mama semua langkah direncanakan dengan seksama. Tentu saja tak lupa doa dan tawakal dihulu dan hilir upaya mereka. Bagiku itu keren, dan papa adalah pria pertama yang membuatku jatuh cinta. Pria kedua dan ketiga dan seterusnya adalah Spiderman, Batman dan kawan-kawan superhero lainnya. Namun tempat papa tidak pernah terganti. 

Sebenarnya tak banyak kenangan yang bisa aku ingat bersamanya. Beliau sangat sibuk dinas keluar kota, maklum saja sebagai pegawai pemerintahan baru pastilah disposisi tugas dari atasan banyak sekali. 

Namun, sesibuk apapun pasti beliau meluangkan waktu pergi bersama ke taman atau alun-alun kota untuk tamasya. Salah satu kenangan paling kuat adalah papa selalu memberikan tebakan untuk membaca tiap tulisan-tulisan yang kami temukan sepanjang perjalanan. Apakah ditiket bus?papan reklame? Dikoran bekas yang telah beralih fungsi jadi pembungkus jajanan. Atau paling menyenangkan ketika papa mulai main tebak-tebakan dengan plat motor yang sedang lalu lalang disepanjang jalan. Z plat kota mana? Kalo M? Kalau Kudus platnya apa? Ah ya...kadang papa juga memintaku untuk membaca tulisan di rambu-rambu petunjuk arah. Begitulah perjalanan menjadi tidak membosankan karena banyak sekali quiz dari papa. Aku kecil yang tak pernah puas dengan jawaban papa,terus saja mengejar bertanya banyak hal. Papa pun nampak selalu siap menjawab pertanyaanku. Aaah...hati siapa yang tak riang ketika sampai ditujuan...taraaaaa...hadiah menanti...sekotak susu coklat UHT terhits waktu itu dan lapis legit dengan kotak warna kotak bergambar sapi favorit mendarat ditanganku.

Kebiasaan membaca dan bertanya apa saja dijalan nampaknya sudah mendarah daging padaku, hingga reflek dalam hati atau kadang ku utarakan langsung pertanyaan-pertanyaan yang kadang nggak penting untuk ditanyakan. Kata suamiku, "Ssst...berisik banget sih tanya terus...sudah dinikmati saja perjalanannya...". Terdiam beberapa saat untuk kemudian memulai pertanyaan baru lagi he-he-he...
Meski tak selalu indah rekaman kenangannya, aku bersyukur karena salah satu tabungan kenangan bersama papa itu aku lebih awal lancar membaca dibandingkan teman-teman Taman Kanak-kanak ku. Wawasanku juga jauh lebih luas karena papa selalu berusaha memberikan jawaban atas keingintahuanku.

#10dayschallenge
#wanitadanpena
#rumbelliterasimedia
#day1

Read More