MERANGKUM SEMESTA SERUPA ASA : Aku Menulis Untuk Apa?

Sabtu, 24 Februari 2018

Pertanyaan demi pertanyaan terus bersahutan beradu dengan takut dan ragu. Benarkah aku ini betul-betul ingin jadi pencerita atau penulis? Passion, hobi  atau hanya fatamorgana cita-cita? Alih-alih mewujudkan tulisan menjadi sebuah cerita bermakna eh ujung-ujungnya hanya beku didalam folder penyimpanan tidak terpublikasikan.
Sebenarnya menulis bukan hal yang baru buatku, sejak duduk di Sekolah Dasar sudah mulai akrab dengan buku harian. Meski tidak konsisten setiap hari, setidaknya jarang sekali ritual menulis sebelum beranjak tidur ini aku lewatkan. Naik ke jenjang SMP dan SMA kebiasaan menulis buku harian ini terus berlanjut, hanya saja kekerapan menulisnya tidak lah sama. Seminggu paling 2-3 kali biasanya rapelan diakhir pekan karena waktu itu banyak sekali kegiatan "ekstra" yang harus saya lakukan di sekolah. Sehingga, akhir pekan adalah kesempatan 'Me Time' yang tidak bisa diganggu gugat. Jaman seragam putih abu-abu itu lah  saya berhasil membuat satu atau dua cerpen yang saya persembahkan untuk sahabat yang berulang tahun. Sayangnya karena saya termasuk kids jaman old dimana USB flash drive/disk, external hardisk masih jadi wacana penemuan. Hanya ada kotak pipih berukuran 5 ¼ inci (133 mm) dan 3 ½ inci (90 mm) bernama cakram flopi atau floppy disk atau populer dengan sebutan disket. Media penyimpan data yang hanya punya kapasitas 1,44 MB, pasti kids jaman now pada teriak nih ruang simpan segitu bisa apa??! Padahal bagi kami anak 90-an, bicara bisa simpan file didisket saja sudah WOW banget...nggak percaya?coba deh tanya Dilan...

Sedihnya ketika komputer rusak dan disket sudah tergeser oleh jaman, komputer keluaran terbaru meniadakan floppy drive jadi bisa dibayangkan semua file berharga itu menguap tanpa jejak. Rekam jejak diingatan hanya salah satu judul cerpen itu saja; Janji Matahari, sebab  lain karena kisah didalamnya cukup dapat bintang lah dihati saya...Gue banget gitu...*enaknya dibaca pakai notasi suara siapa ya? He-he-he

Purna menjadi siswa berseragam, keinginan untuk berhasil lagi menulis sebuah cerita tetap masih ada. Sayangnya tergerus dengan banyaknya alasan dan aktifitas lain. Dinamika dunia baru perkuliahan dan penyesuaian diri sebagai anak rantau membuat impian itu mengendap. Namun, buku harian tetap setia berjalan menemani hari-hariku. Ritual sebelum tidur atau sebelum mengulang matei saat belajr dini hari. Jadi sampai saat ini jika ditanya kegiatan menulis saya ini passion atau bukan, sejatinya juga masih bingung apa jawabnya? Sebab saya tidak pernah benar-benar meninggalkan aktifitas menulis, apakah buku harian, spenggase kisah atau bahkan puisi. Ketika cerpen saat SMA itu tercipta saya merasa seperti ada alasan dan tujuan yang kuat dari dalam diri untuk mewujudkannya. Ya, saat itu sahabat saya meminta dengan sangat sebuah kenang-kenangan tulisan dari saya sebagai hadiah ulangtahunnya. Kami sudah kelas 3 dan sudah memiliki tujuan masing-masing saat lukus nanti. Saya sudah bulat akan kuliah di kota lain, pilihan saat itu adalah kota Jogja dan Solo. Mengapa karena dijalan itu fakultas Psikologi yang masuk rangking terbaik ada dua kota tersebut. Setiap hari dia bertanya bagaimana perkembangan tulisan saya dan terus meyakinkan bahwa saya mampu menyelesaikan untuknya. Ia percaya itu layak baca seperti cerita-cerita yang pernah saya buat untuk mading dan atau majalah sekolah kala itu. Sahabat saya ini beda sekolah dengan saya, makanya ketika saya bercerita dan tahu  naskah tulisan itu, langsung ribut deh minta jatah.

Kembali ke pertanyaan apakah ini passion, hobi ataukah hanya euforia berbumbu fatamorgana? Saya juga masih menyelidiki hingga kini. Jika ini passion sepertinya saya masih terlalu lemah memperjuangkannya, masih banyak ragu, takut, malas dan perasaan maupun pikiran negatif lainnya. Apakah ini hanya hobi? Saya rasa juga tidak sebab jauh dalam hati kecil saya ada harapan besar dari kegiatan kepenulisan itu. Saya yakini kekuatan bercerita dengan kemasan tulisan yang apik akan membantu pembacanya menemukan asa dan berbahagia.

Source : www.google.com
Know it, Dream it, Share it, Do it, Live it

Lalu apa sih sebenarnya passion itu? Kata Passion, menurut bahasa kita kurang lebih bermakna hasrat atau gairah atau semangat terhadap sesuatu kegiatan atau hal tertentu. Semangat untuk kita selalu merasa ingin meningkatkan kualitas lebih baik dari sebelumnya. Sederhananya, passion itu hal yang bikin kita selalu merasa ada semacam tantangan intrinsik untuk mencapai tingkatan lebih tinggi dari level kemampuan kita sebelumnya. Semacam seperti ada dialog dalam diri kita untuk terus memacu diri berkompetisi melawan diri sendiri, agar sampai pada versi terbaik dari kemampuan diri ini.

Sedangkan kalau hobi mungkin (saya masih menggunakan kata mungkin nih sebab kadang masih suka tertukar mendefinisikannya he-he-he), lebih dikaitkan dengan kesenangan sesaat diwaktu senggang. Having fun kalau kata anak kekinian. Tidak ada tuntutan alamiah dari dalam diri untuk berkompetisi mencapai level tertentu.

Menurut Rene Suhardono, hobi itu ibarat pekarangan rumah dan passion itu ibarat rumahnya. Jadi orang yang mengerjakan hobi hanya ada di pekarangannya saja, sedangkan orang yang benar-benar mengikuti passionnya ibarat telah berada di dalam rumah. Rene juga mengatakan  “Passion is what you enjoy the most!”. Maka Rene berpesan, temukan apa passion-mu, apa yang kamu suka, apa yang jadi sumber bacaan utamamu, apa yang menjadi soft skill-mu, lalu berusaha hubungkan antara keduanya, rancang satu action, dan segera eksekusi. Tambahnya lagi Rasakan sensasi senang, bahagia, dan nantikan keajaiban setelahnya!

Mengacu pendapat tersebut; oh ya beliau (Rene Suhardono) adalah salah satu motivator favorit saya, agar saya yakin bahwa menulis ini passion atau bukan. Saya cari secara random buku-buku koleksi saya, bahkan hasil tes psikologi terakhir yang pernah saya ikuti  yang juga mengukur kecenderungan passion saya. Buku-buku koleksi saya lebih banyak tentang pengembangan diri, psikologi pendidikan anak dan remaja, filsafat, dan tentang teknik tulis menulis. Temuan itu boleh lah menjadi pertanda bahwa memang kecenderungan passion saya menjadi motivator, konselor, guru, dan juga aktif menjadi story' teller atau pencerita atau penulis. Entah kenapa saya lebih nyaman melabel diri sebagai pencerita dibandingkan dengan predikat penulis. Bukan masalah arti kata hanya mungkin nilai rasa pribadi saja sih.

Menyadari semua kecenderungan diatas saya yakin ini bukan sekedar hobi. Hanya saja, kini komposisi bahan bakar untuk mendorong passion menulis saya ini agar melesat dengan cepat dan tepat masih terhambat. Bisa jadi ini dampak dari salah satu kelemahan saya adalah perfeksionis, sehingga seringkali over thinking saya harus selalu berpikir beberapa kali sebelum melangkah. Tidak seperti passion saya yang lain seperti mengajar, menjadi guru, konselor yang bagaimanapun keadaannya saya berjuang selalu mencari pintu dan ruang untuk tetap menghidupkannya. Mungkin upaya pembuktian cinta saya masih kurang kali ya?!? 

Betul sekali passion, tidak sekedar kegiatan yan kita mahir dan bagus dalam mengerjakan itu, tetapi lebih besar dari itu saat kita melakukannya kita akan kerahkan seluruh 'hasrat cinta’ yang ada dalam diri kita untuk menjalaninya. Hingga pada saatnya keajaiban rasa cinta itu datang berbuah kesuksesan, tidak hanya tentang materi tapi kepuasan dalam diri ketika orang lain membaca tulisan kita dan merasa dapat mengambil manfaat kebaikan dari sana. Itu bonus terbesar sesungguhnya.
Source : www.google.com

Oleh karena itu, kesuksesan tidak dibangun dengan cuma-cuma pun dari modal passion semata. Sekali lagi tidak, kesuksesan mempunyai ramuan yang kompleks campuran dari berbagai unsur dalam kehidupan kita. Mulai dari gagasan, kerja keras, jaringan silaturahim, kemampuan manajemen yang tangguh dan sebagainya. Passion hanyalah sebuah pembuka jalan. Seterusnya ada banyak faktor lain yang perlu digenapi bila ingin kesuksesan menjadi milik kita.

Jadi kesimpulannya saya menulis untuk apa? Untuk membuat saya dan orang lain bahagia dengan berbagi asa dalam cerita, itu saja. 

#rumbelliterasimedia
#belajarmenulis
#blogging
#oneweekonepost
#passionmenulis
Read More

Kisah Rindu, Ibu dan Telur Ceplok

Sabtu, 17 Februari 2018

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabbarakatuuh
Semoga semua yang mampir membaca tulisan sederhana ini selalu dilimpahkan kesehatan dan keberkahan, aamiin...
Tulisan ini sudah mengendap sekian hari menunggu dieksekusi, seperti biasa alasan klasik tiba-tiba datang menghampiri. Alih-alih menjadi tulisan yang ada hanyalah wacana semata... maju mundur cantik kata mbak Syahrini.

Drama Korea Fight For My Way
Betul! Memang lumayan menggemari drama Korea, jadi cerita yang akan saya bagi nanti juga hasil "panggilan" simpanan ingatan kisah-kisah dimasa lalu. Drama ini sudah agak lama tayang di negara asalnya. Sudah lama penasaran, kemudian saya mencari sinopsisnya. Ini dimaksudkan untuk menjaga supaya yang saya tonton tetap ada asupan nilai-nilai yang bisa saya bagi, setidaknya untuk saya pribadi. Drama ini berkisah tentang dua anak muda yang berjuang untuk mewujudkan apa yang mereka impikan. Tapi tentu saja banyak hal yang harus mereka lewati agar biasa meraih mimpi-mimpi tersebut. Informasi lengkap sinopsisnya bisa dilihat disini .
Jujur awalnya hanya tertarik dengan tema perjuangan meraih impian, sebab bisa jadi bahan referensi ketika bercerita dengan anak-anak. Ternyata tak hanya tentang impian, saya dapat satu bonus cerita lagi. Salah satu tokoh didrama tersebut, mempunyai cita-cita menjadi ibu, disaat sahabat-sahabatnya memiliki cita-cita menjadi atlet, penyiar, pebisnis. Dia memiliki cita-cita menjadi ibu dan istri yang baik. Kisah ini akhirnya membuat saya teringat cerita salah satu siswa saya. 
Ingatan saya kembali ke masa itu, ketika ia bercerita dengan wajah lelah, sembab; sebab air mata tak berhenti mengalir saat kalimat demi kalimat berusaha ia sampaikan dengan terbata-bata. Sesekali ia menyeka air mata dengan ujung kerudungnya.


Masa Akil Baligh
Cerita ini memang tidak jauh dari keseharian saya dahulu. Ketika masih aktif sebagai konselor sekolah atau biasa disebut guru pembimbing atau populernya guru BK (Bimbingan dan Konseling). Banyak sekali cerita yang harus saya akui justru dari mereka lah saya belajar menemukan diri saya. Belajar selalu mengucapkan syukur yang tak boleh terjeda dengan keluhan atau apapun itu. Berkumpul dan berinteraksi dengan anak-anak yang sedang belajar menapaki kedewasaan. Masa labil, masa badai, masa manusia menuju akil baligh yang penuh dinamika.
Masa-masa puncak pencarian jatidiri ini harusnya memang didampingi sedari mula, supaya mereka tahu betapa istimewa dirinya. Lalu apakah sesungguhnya definisi Akil Baligh itu? Akil baligh adalah orang yang sudah cukup umur dan berfikiran waras atau orang mukalaf. Mereka diwajibkan mengerjakan suruhan Allah S.W.T. dan menjauhi segala laranganNya. Cukup umur bagi kanak-kanak perempuan ialah apabila genap berumur dua belas tahun atau kedatangan haid. Dan kanak-kanak lelaki pula ialah 15 tahun atau bermimpi sebelumnya. Penjelasan selengkapnya tentang Aqil baligh bisa dilihat disini.


Ibu dan Telur Ceplok Impian
"Bunda besok istirahat kedua sudah ada janji konseling belum?", tanya seorang murid putri melalui pesan BBM.
"Belum ada, Nak. Memangnya kenapa?", jawab saya sambil menebak apa yang ia inginkan.
"Kalau belum ada, aku...dijadwalkan ya, Bun?! Aku ingin cerita udah dari kemarin lama tapi ramai terus ruang BK-nya", balasnya lagi dengan ekspresi dan intonasi yang hanya bisa kubayangkan.
"Oke nanti bunda catat dijadwal, oke sebelum shift sholat dhuhur langsung ke ruangan ya. Nanti makan siang dibawa saja ke atas kalau ceritanya panjang!"
"Baik, sampai ketemu besok ya Bun! Jangan lupa.."
Dihari dan jam yang sudah dijanjikan, si anak nampak antusias berlari dari ruang kelasnya menuju ruangan saya. Cukup jelas nampak oleh saya sebab jendela ruang kerja saya lebar dan berkaca bening. Pemandangan lapangan basket dan ruang-ruang kelas terlihat dengan jelas.
"Assalamu'alaikum.." sambil terengah-engah ia mengucapkan salam karena ia berlari-lari dari kelas yang letaknya paling ujung dan kemudian harus menaiki anak tangga.
"Wa'alaikumussalaam, masuk...Lho sendirian?nggak sama temennya?" Saya bertanya sebab memang anak-anak jika konseling hampir pasti mengajak teman terdekat yang dianggap bisa dipercaya.
"Nggak, Bun. Aku mau sendirian, aku malu. Tapi jangan bilang ke siapapun ya..". Ia menatap saya seolah memohon saya untuk berjanji.
"Lha percaya bunda tidak?Kalau belum nyaman cerita lebih baik nanti aja yaa..."
"Nggak kok, aku percaya"
"Jadi gimana? Ceritanya apa?keburu waktu gantian ishoma-nya habis lho..!"
"Bun, apa salah cita-citaku pengen jadi ibu. Ibu yang baik...". Suaranya bergetar mungkin menahan gemuruh dalam dadanya, sebab saya melihat nafasnya mulai tak teratur dan bola mata yang tadi berbinar kini nampak basah dan memerah.
"Ibu yang baik itu seperti apa? Nggak ada yang salah kok sama cita-citamu, Nak. Memang ada yang bilang salah ya?"
"Nggak secara langsung sih Bun tapi kalau aku cerita pasti mereka ketawa. Kan bunda suruh buat mind map tentang rencana masa depan dan impian. Nah, impian cuma itu yang terbesar..aku nggak mau kayak Mama!!". Kali ini suaranya sedikit ditekan dan ditebalkan.
"Hmm..kenapa nggak mau kayak Mama? Bukannya Mama sudah nggak sibuk sekarang?"
"Sejak dulu juga sudah nggak sibuk, Bun. Mama kan memang nggak kerja, tapi sibuknya nggak habis-habis papa aja kalah. Papa tiap kali pulang dari kampus masih sempat liat ke kamar-kamar kami. Aku cuma pengen mama kayak ibu-ibu yang lain Bun...yang bawakan bekal, buatkan sarapan..bikin telur ceplok atau goreng nugget nggak apa-apa... cuma itu..apalagi aku sudah kelas IX. Butuh motivasi butuh dukungan...tapi mama selalu bilang sibuk dari SD sampai sekarang belum pernah, Bun!" Tangisnya pun pecah disana. Tubuhnya bergoncang, kepalanya ditelungkupkan dalam lipatan tangannya diatas meja. Isakan mulai terdengar meskipun lirih.
Saya menghela napas sehalus mungkin, agar ia tetap nyaman. Hati saya saat itu ikut merasakan pilu, bagi saya sesederhana itu impiannya namun berat untuk ditanggungnya.
"Sudah berusaha bilang ke Mama apa keinginanmu? Atau minta bantuan papa untuk menyampaikan ke Mama kalau sulit menyampaikannya sendiri"
"Sudah berusaha Bun..kan bunda pernah bilang kita harus berusaha menyampaikan dulu perasaan, pikiran kita karena orang tua bukan dukun atau pembaca pikiran"
"Lalu?!?"
"Pagi harinya malah papa yang bikinkan telur ceplok buat aku, olesin roti buat bekal. Padahal papa juga harus berangkat ke kampus pagi karena ada kelas pagi. Papa justru yang minta maaf ke aku...aku sedih Bun kenapa Papa kayak gitu..!!" Air matanya pun berderai lagi lebih deras.
"Memangnya mama kemana?!"
"Ada lagi siap-siap..mandi, dandan terus turun buatin susu buat adik aja terus siap-siap antar sekolah.."
Kemudian percakapan kami berlanjut beberapa saat, hingga sesi harus diakhiri karena pergantian jadwal ishoma. Setelah saya sampaikan beberapa pilihan dan kesimpulan percakapan hari itu, ia pun pamit.

Menjadi Ibu adalah Impian yang Paling Sempurna
"Al-ummu madrasatul ula", ibu adalah madrasah pertama dan utama untuk anak-anaknya.
Seorang ibu mempunyai peran terpenting dalam keberhasilan anak-anaknya. Di samping peran ayah sebagai pemangku kebijakan serta imam keluarga, ibulah yang mengalami proses ikatan batin selama mengandung buah hatinya.



Maka tidaklah berlebihan menurut saya jika ada ungkapan ibu adalah salah satu pemegang kunci peradaban. Generasi yang bahagia lahir dari perempuan tangguh yang sadar menjalani peran pentingnya dengan suka cita. Sehingga patah hati rasanya jika ada cerita seperti yang dikisahkan anak murid saya itu.   Luka hati akan lama terobati.

#rumbelliterasimedia
#oneweekonepost
#belajarmenulis
Read More

LOKOMOTIF IMPIAN

Lokomotif impian...aslinya sih bingung mau kasih judul apa tapi yang terpikirkan pertama itu maka ...jadilah. Lokomotif ini menggambarkan semangat resolusi ini. Selain itu karena menurut kacamata saya, impian saya ini memuat tak hanya satu agenda dan banyak mengangkut gerbong asa yang berharap mampu bersinergi dengan cita-cita lainnya tak hanya milik saya. Semoga lajunya selalu dalam lindungan restu dan keberkahan Allah Ta'alla, Aamiin.
Meski tidak selalu tertulis membuat resolusi apakah itu harian, mingguan, bulanan ataupun tahunan adalah salah satu ritual yang diajarkan pada saya sejak kecil. Meski bahasa teknisnya saat itu tidak sekeren sekarang, tapi beliau selalu memancing dengan tanya yang membuat kami; saya dan adik-adik berpikiran terbuka terhadap rencana rancangan masa depan. Esok hari adalah masa depan bagi kita dihari ini, bukan? Kata papa suatu kali ketika salah satu diantara kami mencoba sedikit "nakal" karena sedang terjangkit rasa enggan untuk berpikir. Besok ya dipikir besok lah... capek-capek bikin rencana belum tentu sesuai kenyataannya. Nah, kalau sudah begini nih mama lah yang turun tangan ambil alih peran sebab tahu benar jika papa nggak sesabar itu untuk meladeni pikiran-pikiran usil itu... he-he-he. Mama bilang, "...dengan membuat rencana kita sama halnya sudah bersyukur sama Allah. Kenapa? Sebab dengan rencana itu artinya kita memakai waktu yang Allah berikan dengan maksimal. Artinya lagi kita bukan termasuk orang-orang yang merugi" .
Pastinya penjelasan mama itu tidak serta-merta membuat kami bungkam. Ada saja pertanyaan-pertanyaan nggak penting yang kami lontarkan tapi mama selalu mampu menjawabnya dengan telak. Semacam ada kamus ajaib yang menyediakan banyak jawaban dalam benak beliau...hmm.. saingannya mungkin cuma ada dikantong ajaibnya Doraemon.
Ritual atau kebiasaan itu pun akhirnya mendarah daging hingga dewasa dan berumah tangga. Suami yang terbiasa berjalan  tanpa rencana mulai perlahan berubah. Ya selain karena kesadaran tentu saja kekuatan jurus omelan turut berperan penting he-he-he...yang jelas tidak instans perlu proses tidak sebentar untuk sampai pada titik perubahan. Kurang lebih sudah dua tahun ini saya serius meminta benar-benar menjadi agenda yang tidak boleh dilewatkan.
Alhamdulillah sedikit melunak untuk mau berupaya mencari kesempatan diwaktu luangnya yang sempit. Kami berdua biasanya membuat resolusi tahunan secara terpisah, kemudian kami saling bertukar resolusi dan impian pada waktu tertentu saat suami sedang senggang.

Tahun 2018 ini secara garis besar tidak banyak resolusi baru. Yaah... tepatnya melunasi hutang-hutang impian dimasa lampau yang masih tertunda. Tahun ini saya berinisiatif untuk membuat proyek resolusi itu ala pohon impian dengan sticky note kami tulis resolusi mayor dan minor.

Resolusi atau impian besar saya di tahun ini antara lain : 
1. Memiliki, membimbing dan merawat komunitas yang mewadahi remaja berkarya. Komunitas yang digerakkan oleh remaja, dari remaja dan untuk remaja. 
2. Memiliki karya yang bermanfaat bagi banyak orang. Kerinduan saya untuk bisa ikut meninggalkan jejak positif yang berkontribusi pada peradaban. Meminjam istilah dari Fahd Pahdepie bahwa seorang penulis mampu berbuat banyak menjaga dan merawat peradaban dengan "Jihad Literasi".
3. Impian saya membuat semacam Kafe Komunitas dan Co-Working space untuk pelaku usaha kreatif yang kebanyakan kantornya online, juga para pemuda atau orang-orang yang aktif berkomunitas agar lebih rajin berbagi dan berkegiatan positif.
4. Merealisasikan niat travelling bersama suami.
5. Ikhtiar berangkat ke tanah suci, apakah umroh atau persiapan ibadah haji.
6. Diberi kesempatan lagi untuk mengandung dan merawat amanah-Nya. Impian yang ini selalu tak pernah tertinggal dalam daftar, dan tak pernah sepi masuk dalam untaian doa. Jangan tanya kenapa? Sebab jawabnya pasti akan bersambung hingga beberapa episode...hmmm...hi-hi-hi


Intinya sih impian mayor saya antara lain seperti itu, kalau impian minor pastinya sangat banyak dan berpotensi selalu bertambah. Dasar orang banyak maunya ya begini nih... he-he-he..Agak nggak nyambung ya judulnya lokomotif kok buat resolusi bentuknya pohon impian...harap dimaklumi deh kan sudah dikasih aba-aba bahwa lokomotif ini adalah penggambaran semangat bergerak untuk mewujudkan impian menjadi nyata.

#GebyarLiterasiMediaJanuari2017
#RumbelLiterasiMedia
#IbuProfesionalSemarang
Read More