Pepesan Peda Daun Singkong (3)

Kamis, 31 Oktober 2019

"Kalau saja apa, Sha?", Kataku memotong kalimatnya yang tanggung. Aku pandanginya lagi lebih seksama.

"Andai saja kamu sudah bekerja, Mas. Tentu kamu bisa makan pepes sebenarnya, bukan hanya daun singkong dan bumbunya saja. Setidaknya di meja makan kita tak hanya ada satu pepesan peda. Satu untukmu dan satu lagi untuk bapak", akhirnya istriku menjawab dengan takzim. Rumaisha duduk bersila di lantai, kepalanya terus menunduk dan tangannya terus melipat cucian yang telah kering untuk besok diseterika.

Aku terkesiap mendengar jawabannya. Nadanya lirih tapi jelas itu ungkapan dari hatinya. Mukaku memanas menahan malu. Apa yang dikatakan istriku adalah fakta. Tak seharusnya harga diriku terluka.

Keluarga bersahaja ini memang sangat menjunjung tinggi kehormatan lelaki pencari nafkah. Selain karena lelaki adalah pemimpin. Ia akan makin dihormati dan dilayani segenap hati. Alasannya agar selalu mampu mencari rejeki yang halal dengan tenang. 

Begitu penuturan ibu mertuaku, saat satu hari mendengar rumor tak sedap tentang rumah tangga tetangga. Beliau bercerita dari balik dinding dapur, sambil menyiangi daun singkong yang sudah dibawakan bapak. Maksudnya mungkin menasihati aku dan istriku yang sedang duduk serius membaca koran, mencari lowongan kerja tepatnya. 

Ibu mertuaku menekankan pesannya berkali-kali, jangan sampai lalai menjaga kebutuhan pokok ini. Lelaki bisa mudah tergoda menggali di ladang rejeki yang tidak berkah untuk dibawa pulang ke rumah. Seluruh keluarga nanti yang rugi. Kami saling melirik dan hanya manggut-manggut.

Bapak dan ibu mertuaku memang dikenal sebagai orang yang baik dan taat beribadah. Kehidupan sehari-hari mereka cukup religius dan berakhlak baik. Tidak pernah neka-neka. Oleh karena itu tidak heran kalau akhirnya aku mendengar wejangannya, jika makanan halal lebih utama dibandingkan makanan enak apalagi mewah.

Kebaikan hati mereka pula yang membuat aku diterima jadi menantunya. Mereka pernah menyampaikan alasan mengapa aku diterima, tapi sukar sekali kupercaya. 

"Farras, maukah kamu jadi menantu bapak dan ibu? Lalu, tinggal bersama kami. Kamu nggak perlu bingung, Nak. Ini semua Allah yang menggerakkan, karena kepandaianmu mengaji. Kamu sukarela merawat langgar kami juga kamu jadi imam andalan warga," suara Bapak yang berat saat menyampaikan niatnya.

Namun, aku yakin pasti ada alasan lain. Benar saja, tak sengaja aku dengar kasak kusuk saudara-saudara saat walimah kecil-kecilan dihelat di rumah mertua. Apalagi kalau bukan karena aku ini pemuda papa, dan yatim piatu. 

Itu alasan utama bapak dan ibu mertuaku meminta secara khusus untuk jadi menantu mereka. Ibuku meninggal sejak aku belum bisa bicara. Ayahku baru saja meninggal kurang dari dua bulan yang lalu. Kanker kelenjar getah bening telah menyebar dan merusak organ vital tubuhnya.

Beliau sebenarnya sangat optimis untuk sembuh dan ingin melihat aku dan adikku meraih kesuksesan. Namun, baru kemoterapi ketiga yang seharusnya terjadwal tujuh kali. Takdir sudah mengirimkan kereta penjemputan. Ayah menghembuskan nafas terakhirnya seminggu sebelum sidang skripsiku. Aku harus menabahkan diri demi adikku.

Rumah dan semua barang-barang peninggalan beliau telah habis kujual. Menutup semua biaya pengobatan ayah selama di rumah sakit. Sisanya aku pakai menyelesaikan administrasi kampus agar aku bisa tetap wisuda dan meraih gelar sarjana. Seperti harapan almarhum ayah yang terus menerus berkata ingin anak-anak bisa jadi sarjana. Sedangkan, adikku yang baru kelas 5 terpaksa harus mau dipindahkan ke kampung halaman keluarga ayah. Kami memang bukan warga asli desa ini. Pakde meminta secara khusus kepadaku, dan ini juga keputusan keluarga besar jadi aku tak boleh menolak.

Sejak selesai diwisuda, aku memutuskan tinggal di kota ini. Aku tinggal di masjid desa, menjadi marbutnya Mengamalkan ilmu yang aku punya dan bisa. Sore hari aku menjadi guru mengaji anak-anak desa. Pagi hingga siang aku tetap pergi berusaha melamar pekerjaan ke kantor atau perusahaan yang katanya sedang membutuhkan karyawan. Tapi, teka-teki hidup tak semudah itu, hingga sebelum tepat sebulan aku tinggal di masjid itu. Bapak mertua datang memintaku jadi menantunya.

Jarang sekali ada orang tua yang mau menikahkan anaknya dengan pengangguran. Memberi tempat berteduh dengan cuma-cuma, memberikanku makan  dan menyerahkan anak gadis satu-satunya menjadi milikku, makmum hidupku. Aku memang terlalu banyak menuntut, tak tahu diri. Bukannya berusaha lebih keras untuk membalas budi. Malah sibuk menginginkan daging ikan peda milik bapak mertua.

Aku yang tadi tak sabar ingin sampai di rumah. Kini tak tahu lagi apakah aku harus berhenti atau justru tetap berlari saja. Tiba-tiba aku dilanda kegundahan hebat, antara perasaan ingin pulang dan memperlambat langkah kakiku karena malu.

Kusesali kebebalanku, tak seharusnya aku berkata seperti itu tadi pagi pada Rumaisha. Mengapa pula harus terbawa kepongahan sesat macam itu. Dasar keblinger!

Ah, aku dikepung rasa bersalah. Kakiku mondar-mandir dan hanya kalimat istighfar yang mampu ku ucapkan berulang kali.

"Astaghfirullah...astaghfirullah...Ya, Allah..."

<bersambung>





Read More

Pepesan Peda Daun Singkong (2)

Rabu, 30 Oktober 2019



Andai kata...ah...andai saja tidak ada andai, hatiku terus saja mengomel sendiri. Semua gara-gara pepesan peda daun singkong yang sudah tak sabar aku nikmati. Tentunya aku tak akan turun gunung, hingga ke kawasan industri ini. Berada di sini tampak seperti negeri antah berantah bagiku. Luas, gersang dan berdebu. Hanya ada gudang, pabrik- pabrik, truk yang sedang bongkar muat.

Lintasan bayangan tentangnya tadi membuatku bangkit. Menegakkan punggung, meluruskan tulang-tulang kaki yang masih terasa kaku bak balok kayu. Pemanasan kecil kuamalkan sebelum memulai perjalananku lagi.

Enam kilo meter sudah aku cicil tadi sebelum akhirnya menyerah. Paling tidak lima setengah kilometer lagi aku harus menyusuri jalan menuju rumah mertua. Lalu, aku bisa menyantap nikmatnya pepesan peda daun singkong kegemaranku.

Pepesan peda daun singkong buatan ibu mertua memang lezatnya tiada tanding. Daun singkong segar yang diambil langsung dari kebun milik Haji Kholidi. Tiap hari bapak selalu membawa buah tangan ini untuk diolah bersama ikan peda.

Bapak mertua merupakan generasi kedua yang jadi orang kepercayaan keluarga Haji Kholidi. Bertugas mengawasi dan membersihkan kebun yang ditanami aneka buah itu. Tiap pagi hingga sebelum zuhur beliau "dinas" di kebun itu.

Lepas itu dengan segenggam daun singkong ditangannya beliau pulang, membersihkan badan, salat dan makan. Jika memungkinkan beliau pasti beristirahat sebentar, sebelum mengganti seragam dan segera membuka bengkel sepeda kecil di pinggir jalan masuk kampung.

Seingatku selama sebulan ini tak pernah sekalipun pepesan peda daun singkong ini luput hadir. Menu wajib yang harus ada di meja makan. Khususnya saat makan siang. Berbalut daun pisang yang digulung rapi, diselipkan lidi pengait di sisi atas dan bawahnya. Lauk lain hanya sebagai pelengkap, tempe atau tahu goreng. Sesekali ada kejutan telur dadar gulung yang diiris tipis-tipis.

Keherananku saat pertama kali diterima tinggal di rumah ini. Mengapa bisa ibu mertuaku sudah mengetahui hidangan kegemaranku? Pepesan ikan peda daun singkong berbumbu pedas dan sepiring nasi hangat yang ditanak manual. Asapnya mengepul di udara. Aroma harum mereka saling bergelut di indera penciumanku.

Mataku berbinar saat pertama tanganku ingin mengambil sejumput ikan peda yang ada dihadapanku. Belum sampai tanganku bergerak, ibu mertua sudah membaca gelagatku. Beliau segera mengatakan sebuah kalimat yang akhirnya aku hapal di luar kepala, sebab selama sebulan ini kalimat ini selalu beliau ulang.

"Nak, maaf ambillah daun singkong dan bumbunya ya? Ikannya nanti buat bapak."


Aku tak punya pilihan lain hanya menurut saja sembari menelan liur. Aku heran sebagai menantu satu-satunya, kenapa ibu begitu tega mengatakan itu. Toh, aku tak akan mungkin sampai hati menghabiskan pepesan yang juga hanya satu-satunya itu.

Kala itu meski sesungguhnya aku masih bersungut-sungut, tetap kulanjutkan makanku. Mula-mula sekali aku maklum, sebab mertua dan istriku melakukan hal yang sama. Setiap hari selama sebulan kuamati, mereka hanya makan sejumput pepesan daun singkong dan bumbunya.

Namun, kalau dipikir-pikir memang aku harus lebih menaruh hormat pada bapak mertuaku. Beliau yang menafkahi keluarga ini dengan sisa tenaga rentanya. Pagi hingga petang terus menggali sumber kehidupan untuk keluarganya.

Menantu semata wayangnya ini masih pengangguran. Tak selayaknya menggerutu. Aku harus mampu menahan diri serta mensyukuri nikmatnya bumbu pepesan daun singkong yang diaduk dengan nasi hangat.
Pernah satu waktu, aku tak kuasa menahannya. Saat sedang berdua saja dengan Rumaisha, istriku, aku memberanikan diri mengajukan keluhan atas perlakuan " tidak adil" ini. Ia hanya menundukkan kepalanya.

Sesaat kemudian Rumaisha menatapku dengan pandangannya yang sulit sekali aku artikan. Tampaknya ia ragu mengatakannya. Mulutnya bergerak-gerak tapi tak kunjung terdengar suara.

"Mas, coba kalau..."

(bersambung)



Read More

Tradisi Saparan Kecamatan Getasan : Indahnya Silaturahmi, Berbagi dan Toleransi



Kesempatan yang luar biasa bagiku bisa bergabung di acara 'One Day Trip' yang diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata Kabupaten Semarang pada hari Senin, 28 Oktober 2019 bertepatan dengan peringatan hari Sumpah Pemuda.

Pengarahan oleh Panitia
Sambutan Kepala Dinas Pariwisata Kab. Semarang


Menurut jadwal tertera rombongan akan menuju satu destinasi untuk melakukan eksplorasi. Desa wisata Dusun Sumogawe, Desa Sumogawe, Kecamatan Getasan atau lebih dikenal dengan Kampung Susu.

Rundown Kegiatan 'One Day Trip'


Pagi itu seluruh blogger yang sudah terdaftar berkumpul di Dinas Pariwisata Kabupaten Semarang yang terletak di Jalan Diponegoro No.202, Mijen, Gedanganak, Kecamatan Ungaran Timur. Letaknya tak jauh dari gerbang selamat datang kota Ungaran. Seperti biasa aku yang selalu bermasalah dengan peta, harus merasakan pagi berbumbu drama. Jika sesuai estimasi waktu yang tertera di google map, aku hanya akan berkendara sekitar 30 menit sampai ke kantor dinas menggunakan motor via Gunung Pati. Rute yang sebenarnya sudah lazim aku lewati.

Tagline Pariwisata Kab. Semarang dan Kampung Susu


Sesepuh desa


Ya, memang dasar nasib atau aku yang belum bisa bersahabat dengan peta maka tetap panik dan tersesat. Bingung saat tak kunjung menemukan gerbang Selamat Datang. Bertambah lagi peta digital yang dadakan ikut menggodaku karena tiba-tiba beberapa kali offline dan tidak bisa mendeteksi lokasi. Daaar!! Putus asa aku coba putar balik di SPBU yang ternyata tak jauh dari lokasi yang aku cari. Aku susuri lagi jalanan tadi, memulai lagi dari terminal Sisemut.

Padahal aku sudah berada di dekat lokasi sebelum jam setengah delapan. Bertekad mencari sekali, dengan niat dalam hati jika memang nggak ketemu ya sudah pulang atau main ke tempat lain. Kubaca peta berulang kali dan lebih seksama memperhatikannya tandanya. Kubuka juga grup 'Trip Blogger' dan seorang teman membalas pertanyaanku yang bertanya penanda yang bisa aku pakai untuk mengenali titik lokasi. Di samping kampus Ngudi Waluyo, setelah pusat oleh-oleh Tahu Bakso Bu Puji.

Aku lanjutkan perjalanan dengan harap-harap cemas. Alhasil aku mengendarai motor sangat pelan karena takut ada yang terlewat.  Alhamdulillah, ditengah-tengah hati yang putus asa, Diajengku Maritaningtyas, menelepon. Mungkin ikut panik kenapa belum sampai juga, karena sebelum berangkat aku memang berkabar dengannya. Ternyata malah dia sudah sampai dulu dibandingkan aku.

Aku tak bisa mendengar suaranya dengan jelas sebab jalanan propinsi terlalu bising pagi itu. Kututup teleponnya dan kukirim foto lokasi mutakhirku.
Ternyata sebelum telepon ia sudah memberikan informasi yang memang belum sempat terbaca olehku. Ia mengatakan jika lokasi Dinas Pariwisata Kabupaten Semarang ada di dekat papan petunjuk masuk jalan ke Pondok Pesantren Gintungan. Satu lokasi yang pernah kami berdua kunjungi saat melakukan kampanye anti bullying bersama squad KLiK dari komunitas Ibu Profesional Semarang. AHA! Tak sampai satu menit sampai juga di sana.

Motor aku titipkan di area parkir kantor, lalu bergegas masuk menuju ruang tempat pengarahan sekaligus registrasi ulang peserta. Lega sekaligus malu. Aku langsung bergabung diantara mereka. Mendengarkan pengarahan dari Bu Hedrastuti Ikasari selaku Seksi Pengembangan Pasar Wisata dan dilanjutkan sambutan oleh Kepala Dinas Ibu Dewi Pramuningsih.

Struktur organisasi Dinas Pariwisata Kab. Semarang

Inti yang disampaikan oleh beliau berdua bahwa Pariwisata Indonesia telah menjadi andalan, selain minyak bumi dan gas. Maka perlu strategi pemasaran yang handal. Tidak lagi hanya bisa mengandalkan leaflet atau brosur namun juga lewat teknologi digital. Memanfaatkan sosial media sebagai alternatif pemasaran.

Tercatat dalam data bahwa belum banyak wisatawan nusantara yang tinggal untuk berwisata hanya sekitar 0.9 % artinya nggak tidak ada sehari berada di kabupaten Semarang. Wisatawan asing tercatat sekitar 1.9 % artinya mereka tidak terlalu lama tinggal hanya sekitar dua hari.

Menurut data, kunjungan wisatawan di Kabupaten Semarang pada tahun 2018 sejumlah 3.300.00 wisatawan nusantara, dan mancanegara sekitar 800.000 jumlah yang masih harus terus ditingkatkan. Kabupaten Semarang memiliki 35 Desa wisata, 13 hotel berbintang, 195 non bintang.

Tidak lama kemudian kami berangkat menuju lokasi menggunakan armada yang telah disediakan oleh panitia. Selama perjalanan dipandu oleh Duta Wisata Kabupaten Semarang, Mas Nanang begitu kami mengenalnya. Ia adalah Duta Wisata Kabupaten Semarang tahun 2018.

Destinasi pertama adalah ke Dusun Sumogawe Desa Sumogawe, kita akan mengenal salah satu kekayaan dan kearifan budaya lokal di kabupaten Semarang yaitu tradisi Saparan.

Gapura Dusun Sumogawe


Aneka Jajan Pasar 

Kurang lebih satu jam perjalanan menuju kecamatan Getasan. Kecamatan ini berbatasan langsung dengan kecamatan Ngablak kabupaten Magelang di sebelah barat, kecamatan Banyubiru di sebelah utara, kecamatan Tengaran di sebelah selatan, dan kota Salatiga di sebelah timurnya.

Produk andalan Desa Sumogawe

Labu kuning, Tiwul, Pisang Rebus


Sampai di lokasi, rombongan kami disambut dengan begitu hangat oleh warga setempat. Terlihat juga para pemuda dari Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata) menggunakan seragam khusus berwarna biru tua ikut mendekat menyapa kami dengan hangat. Sebuah panggung besar telah berdiri megah, terlihat para penyanyi dan pemusiknya sudah mulai menyemarakkan suasana pagi itu. Kami dipersilahkan untuk mengambil 'welcome drink' yang telah disediakan.

Ubi manis

Minuman yang disuguhkan ada air mineral, teh hangat, dan tak ketinggalan susu murni yang sudah dikemas dan didinginkan. Wow, ternyata susu murni Nasional yang terkenal jingle-nya itu hasil produksi kabupaten Semarang lho! Bahkan kami juga menerima informasi bahwa desa ini merupakan salah satu supplier bagi sebuah merek susu kemasan yang sudah masyhur di Indonesia. Kalau sudah begitu jelas dong kualitasnya nggak main-main. Selain itu aneka penganan ala desa juga tersaji hangat di meja. Ada jagung manis, labu kuning kukus, pisang rebus, kacang rebus, tape ketan dan banyak lagi lainnya. 
Hawa yang sejuk khas pegunungan dengan makanan autentik macam ini. Mana mungkin bisa menolaknya.

Setelah beramah-tamah sebentar dengan penduduk setempat, kami diberitahu bahwa tak lama lagi rombongan Kirab Budaya Saparan akan disampai. Ya, warga desa wisata Sumogawe yang menjadi peserta kirab telah berkeliling desa bersyukur merayakan hari jadi dusun mereka.

Kirab Desa

Menikmati  nasi tumpeng

Ada yang sudah tahu apa itu tradisi Saparan? Jujur nih ya, aku baru pertama kali ini mendengar dan sekaligus merasakan langsung kemeriahannya. Semua warga dusun tumpah ruah ikut menyemarakkan acaranya.

Ketua Pokdarwis Ds. Sumogawe dan Koordinator Pemandu


Nah, sekarang mari kita berkenalan dengan tradisi Saparan. Tiap dusun di desa Sumogawe yang berjumlah 15 dusun memiliki hari pasaran berbeda-beda untuk merayakan tradisi Saparan. Oleh karena itu peringatan hari jadi atau Saparan di desa ini tidak bersamaan alias bergiliran.

Gunungan hasil bumi

Pasukan Penari Tari Prajuritan

Bergantung pada kapan hari jadi dusun itu tentu saja menurut perhitungan penanggalan Jawa. Sapar menurut kalender Jawa adalah bulan kedua setelah bulam Suro atau jika dalam penanggalan Hijriyah dikenal dengan Muharam.

Warga berkumpul setelah kirab

Simbolis Pembukaan Perayaan Merti Desa


Serunya makan bersama


Saparan diperingati sebagai wujud rasa syukur atas segala nikmat Tuhan Yang Maha Esa atas rejeki air, jalan, panen hasil bumi yang melimpah juga ketentraman warga desanya. Berbagai hasil bumi, aneka jajanan, dan yang harus ada yaitu tumpeng. Gunungan-gunungan ini yang diarak keliling desa. Setelah itu dibawa ke titik kumpul dan dilakukan ritual doa bersama-sama seluruh warga yang dipimpin oleh para sesepuh desa.

Anak-anak juga tak ketinggalan ikut berpartisipasi


Uniknya tradisi Saparan ini menurut pendamping kami dan juga warga desa lebih ramai dari lebaran. Awalnya memang sempat aku berceloteh kok suasananya mirip lebaran, ya? Banyak toples makanan dan minuman yang terhidang di rumah-rumah penduduk. Nyaris tak ada pintu yang tertutup di desa itu. Semua terbuka lebar dan penghuninya tampak siap menerima tamu. Termasuk menyiapkan lahan parkir untuk para tamu yang datang.

Deretan jajanan lengkap


Supaya tetap rapi dan tertib


Rekan kerja, tetangga, sanak keluarga semua datang berkunjung

Teras juga penuh dengan tamu

Benar saja, ketika sampai dijadwal berkeliling desa dan berkunjung ke rumah warga. Terjawab semuanya. Pemandu kami sampai berulang kali terkekeh karena keheranan kami. Satu lagi keunikan menakjubkan yang aku temui, tiap kami singgah ke rumah pantang bagi tamu untuk menolak makanan yang disediakan tuan rumah. Sebab dipercaya jika menolaknya, maka kita dengan sengaja menghalangi rejeki yang diberikan pada kita.

Pantang pulang sebelum makan!




Makanan yang aku maksudkan bukan kudapan ya? Makanan besar, nasi dan segala macam lauk pauk lengkap dengan buahnya. Bayangkan saja jika lebih dari lima rumah atau seluruh kampung harus kalian kunjungi. Menakjubkan, bukan?

Menurut pemandu kami dan narasumber warga yang dikunjungi, perayaan Saparan ini berlangsung tiga hari sejak dimulai nyadran di hari Jumat. Setelah itu kenduri khusus, ritual ini hanya untuk sesepuh atau pejabat desa. Baru kemudian puncaknya Saparan, yang kebetulan di dusun yang kami kunjungi dusun Sumogawe desa Sumogawe ini jatuh di Senin legi.

Alas kaki berjejeran tanda tamu yang tak sedikit

Tamu silih berganti datang, semua berbondong-bondong berkunjung ke sanak saudara, famili, tetangga, teman sekolah, juga teman kerja. Hebatnya lagi tidak hanya melulu orang tua yang berkumpul merayakan Saparan ini, aku lihat anak-anak kecil juga remaja lelaki hal yang sama. Mereka berkumpul di satu rumah masih menggunakan seragam sekolah. Setelah satu rumah selesai mereka berjalan lain ke rumah teman yang lain. 

Sebuah tradisi kearifan lokal yang dibeberapa tempat sudah mati. Namun, di desa ini mungkin aku harus sepakat dengan si Mas Pemandu kelompok kami bahwa tradisi ini akan tetap lestari.

Ia berkata, "Di Sumogawe itu ada tiga agama besar. Islam, Nasrani, dan Budha. Saat Saparan kami semua saling mengunjungi. Berbeda dengan Lebaran, Natal atau Waisak. Tradisi ini tidak akan pernah berhenti karena kami (generasi muda) tahu dan sudah merasakan kebahagiaannya berkumpul dengan keluarga, teman jadi semangat Saparan ini pasti akan terus diwariskan."

Remaja pun asyik bercengkrama saat Saparan

Betul saja, pemandangan yang aku lihat sepanjang perjalanan menuju titik kumpul tidak berbeda dengan yang disampaikan pemandu kami. Anak-anak dan remaja yang masih berseragam tampak berkumpul di satu rumah. Bercanda dan bercengkrama dengan leluasa, sedangkan orang tua juga tampak sibuk menerima tamu-tamunya sendiri. 

Silahkan buat kalian yang penasaran dibuktikan sendiri deh! Pemandangan indah  tentang silaturahmi, berbagi dan toleransi khas negeri yang  sudah semakin mahal saat ini.
Read More

Pepesan Peda Daun Singkong (1)

Selasa, 29 Oktober 2019


Matahari sudah tepat di atas ubun-ubunku. Panas teriknya terasa menembus kerongkongan. Bibirku mulai kekeringan, sebentar lagi mungkn pecah berdarah-darah. Kulihat emperan toko kelontong yang tutup, begitu menggiurkan untuk dihampiri.

Pikiranku bersuara menolak mentah-mentah, "Kepalang tanggung kalau aku berniat menyelonjorkan kaki di situ. Bisa petang nanti aku baru sampai. Tidak...tidak!"

Namun perutku sudah mulai menjerit tak karuan. Kaki mulai terasa setengah mati rasa. Pegal dan ngilu. Jemariku terasa kebas karena panas. Masih jauh perjalanan yang harus aku tempuh, setidaknya mungkin 6 kilometer lagi.

Bagaimana mungkin aku meneruskan perjalanan ini? Sepasang sepatu karetku yang memang telah menipis bagian bawahnya, kini makin compang-camping. Seolah ia ikut merasa putus asa, tak sanggup menemani kakiku melangkah lagi.


Aku berkali-kali melihat seksama ke jalanan berharap ada seseorang yang aku kenal yang bisa memberikan tumpangan. Sayang sekali, puluhan kali sudah aku mencoba tapi nihil. Tak seperti biasa jalan utama desa ini terasa lebih lengang.

Sial sekali, saat menatap ke sisi kanan jalan mataku justru menangkap para petani yang sedang duduk di dangau. Berkumpul menikmati istirahat sembari ditemani para istri yang mengirimkan lauk pauk untuk makan siang. Komplet! Penderitaanku siang ini terasa sempurna.

Perasaan dongkol menyergapku. Ingin berteriak, aku hanya butuh dua hal saja! Satu tumpangan hingga ke dekat kampungku. Kedua sedikit pengganjal perut yang sudah melilit sedari tadi.

Tak kuat lagi aku memaksakan diri, badanku limbung. Aku berhenti di bawah pohon kersen yang lumayan teduh. Walaupun panas matahari tetap saja enggan beranjak dari kepalaku. Setidaknya hembusan angin dan oksigen yang dibagikan daun-daun kecil pohon ini mampu menurunkan suhu badanku. Alhamdulillah. Kaki akhirnya bisa mengaso.

Kalau saja aku tak menuruti nafsu mataku yang melihat bahan es gempol yang terpampang di gerobak warung pinggir jalan tadi. Meski tak terlalu dahaga tetap saja aku turuti. Penyesalan memang selalu datang terlambat. Aku sandarkan tubuhku dan merenungkan semua yang terjadi.

Kalau saja tadi aku bertanya dulu, berapa harga seporsi es gempol, pasti saat ini aku sudah tiba di rumah menikmati makan siang bersama istri juga ibu mertuaku. Sepiring nasi putih yang asapnya masih mengepul dengan aroma wangi pandan, segelas air putih hangat, sambal ulek mentah, dan yang tak pernah boleh absen di meja makan, pepesan peda daun singkong.

Aku hanya bisa mendengus kencang. Lalu merutuk dan memaki kecerobohanku dalam hati.


<Bersambung>


Sumber Foto : 

Pinterest/Cookpad.com
Read More

Minda Selebu

Minggu, 27 Oktober 2019


Matanya tajam menatap langit-langit kamar. Warna putihnya sudah mulai lusuh. Tampak makin muram dengan bopeng dibeberapa sudutnya. Bekas air hujan yang jatuh dari sela-sela genting retak meninggalkan jejak acak serupa gambar pulau-pulau kecil di situ.

Aswin bergeser mengalihkan perhatiannya. "Entah sudah berapa lama mereka tinggal, hingga kini para penghuninya si laba-laba sudah saling bertetangga membangun singgasana," tanyanya dalam hati. Tak lama bibirnya tersimpul senyuman tipis. "Mungkin mereka pikir isi otak si empu kamar ini, memang sudah berkelindan tak karuan, mirip jaring-jaring. Baiklah kita mirip" terkekeh ia dalam batin. Aswin memang tak sampai hati mengusir mereka pergi.

Pandangan Aswin belum berganti, seolah ia sedang melanjutkan percakapan batin dengan para penghuni istana jaring-jaring itu. Sesekali dahinya mengernyit, tak lama dihempaskan napasnya. Berat. 

Tiga kali ia ulang adegan yang serupa, sampai kemudian ia mulai melirik jam dinding di atas pintu kamar. Derak-derik jarum jam terasa begitu kencang lebih mencekam di penghujung malam itu.  Karut-marut Aswin pun berlipat.

Kini duduknya beringsut ke tepian ranjang, dibukanya buku kecil berwarna biru benhur. Tampak tulisan tangan dengan kerapian acak yang hanya mudah dipahami pemiliknya. Aswin menandai salah satu tulisannya. Lingkaran tak sempurna berwarna hijau menyala, lalu ia beri catatan kecil dengan tinta merah. Terlihat mencolok di antara rimba tulisannya.

"Tiga hari lagi. Harus. Apapun kata orang, terserah!" gumamnya sambil mengetukkan penanya semakin keras.


***

Rimba. Impian lama seorang mahasiswa tingkat tujuh yang makin tak sabar membayangkan kejutan petualangannya. Alih-alih bersiap seminar dan skripsi, ia justru sibuk mempersiapkan perjalanannya menembus belantara.

"Apa hebatnya? Belantara yang sepi, semrawut dan penuh cerita misteri macam itu. Kesepian tak akan pernah menyenangkan untuk dilihat apalagi dirasakan. Sepanjang perjalanan cuma bertemu belukar tak beraturan. Apa sih yang menarik? Tak ada, Win" ucapa Rania begitu ketus mendapati niat Aswin siang tadi.

Aswin bungkam hanya menatap dingin sahabatnya. Tak ada kata yang ingin ia sampaikan sebagai pembelaan. Niatnya sudah begitu bulat. Rania menyampaikan fakta, Aswin juga setuju itu.  Namun, ia tahu pasti apa kesimpulannya tak perlu diperdebatkan lagi. Jawaban akhir akan tetap sama.

Bagi Aswin semua ini tentang keistimewaan. Pemandangan tumpang tindih lilitan akar, batang juga dedaunan yang jatuh membusuk di tanah lembab khas hutan tropis. Selain ketidakteraturan yang selintasan terlihat tetap saja menawarkan ketenangan dan keteduhan.

Kesemrawutan yang dikatakan Rania, sepertinya lambat laun akan berirama menjadi sebuah keteraturan yang indah. Hal-hal itu yang membuatnya penasaran dan tertegun di hamparan semak belukar pikiran. Tak berhenti merenungkannya.

Meski sejujurnya pikiran Aswin menelan sedikit rasa ragu, namun batinnya terus saja bertekad. Logika Aswin ragu kalau mampu menembus belantara itu. Namun setengah keyakinan lain, mendorongnya harus mampu menerobos semua belukar dan menemukan mimpi-mimpi tersembunyi di dalam sana.

Aswin ialah pemuda yang penuh impian. Ibarat gudang di dalam otaknya tersimpan berkarung-karung mimpi, kepingan keinginan yang menunggu direalisasi. Semakin hari semakin menggunung di gudang itu. Mungkin pada akhirnya hanya ruang waktu dan tindakan yang mampu menampungnya.

Manusia yang selalu haus kebebasan dan kemerdekaan. Tak ada area abu-abu baginya. Tiap belukar adalah medan laga baginya. Aswin selalu saja lebih memilih jalan yang penuh aral, panjang dan berliku untuk disusuri. Tak peduli apapun yang terjadi.

Kesadarannya terlalu kuat terpatri dalam dirinya. Aswin tak ragu berhenti di tengah jalan dan berbelok arah. Mengubah semua rencana yang telah tersusun rapi sebelumnya. Tanpa harus berdiskusi atau mengucapkan permisi kepada rekan-rekannya. Kesertamertaan dia membelot membuatnya sangat dihindari teman-temannya. Tak bisa diajak kerjasama, tidak setia kawan, egois, begitu dalih mereka.

Merusak segala tatanan rencana yang dengan susah payah disusun. Aswin Selap. Begitu julukan yang mereka berikan.

Tak ada yang berani komentar. Mereka hanya kasak kusuk di belakang punggung Aswin saja. Satu-satunya manusia yang mampu bertoleransi terhadap sikap luar biasa Aswin hanyalah Rania.

Perempuan yang dengan blak-blakan  menanyakan perihal mengapa Aswin suka mengganti arah di tengah jalan? Bukankah ia tahu keputusannya itu bisa membuyarkan seluruh susunan rencana kelompok kerja mereka? Kerap sekali Rania menyanggahya. Tak hanya sekali.

"Aku sudah menempuh jalanan, dan aku sudah berhasil menemukan belantaranya. Lalu, kusibak lebih dalam lagi dan kutemukan ada jalan lain di sana. Kudengar mereka lirih memanggilku, jadi aku tinggalkan dan memilih jalan baru itu. Aku tak berpikir ulang atau merasa  perlu menimbang bagaimana sudut pandang dari sisi kalian. Aku rasa berpikir bebas saja lah!" ujar Aswin tegas membela diri.


Rania tercekat. Saat mendengar nada kalimat itu, seolah Aswin mengutarakan dengan jelas keinginan terdalamnya. Terdengar seperti ia berkata, "Aku akan selalu menemukan belantara lain untuk ditaklukkan".

Benarkah Aswin akan sanggup meladeni semua kejutan di tiap belantara yang akan ia temui nanti?

***

Belantara yang dihadapinya kini adalah rimba sesungguhnya yang kasat mata. Sudut pandang Aswin yang selalu banglas serasa napak tilas. Berada di tengah rimbun pepohonan di belantara yang selama ini siang dan malam memikat angannya. Ia sudah berjalan jauh menyusuri jalan setapak ini sejak lepas matahari terbit tadi. Sepanjang jalan kanan dan kiri jurang terjal penuh semak belukar yang masih perawan. Aswin mencoba melihat ujung dasarnya, tak terlihat. Aneka vegetasi tumbuh.

Bahkan ia melihat masih banyak pohon tinggi menjulang besarnya melebihi lingkar pelukannya. Makin jauh dia berjalan, semakin gelap jalan yang dilalui. Hanya sedikit sinar matahari yang sanggup menembus celah rimbun dedaunan.

Aswin menghentikan langkahnya tiba-tiba.  Kesadarannya menggugat. Ia berpikir kerasa memperkirakan apa saja yang bakal ditemuinya, jika semakin jauh masuk ke dalam hutan. Pasti tak hanya babi hutan, harimau, kera, ayam atau kucing hutan, keluarga binatang melata, burung berbagai jenis dan bunga berwarna-warni yang mungkin belum pernah dijumpai kecuali datang ke tempat ini.

Apa untungnya jika bertemu mereka semua? Berbincang-bincang? Menanyakan kabarnya apalagi berjabat tangan adalah kemustahilan. Lantas apakah ada jaminan nanti ia akan baik-baik saja bertemu mereka yang setengah liar atau memang masih liar?

Pertanyaan demi pertanyaan beradu jawab sendiri dalam benaknya. Nyalinya makin surut. 

"Lanjut....tidak...lanjut...jangan," makin berkecamuk pergolakan di kepala Aswin.

"Kalau ternyata di dalam sana justru jadi perangkap dan berujung kematian, aku tak sanggup. Aku belum siap!" Akhirnya Aswin mengambil keputusan dan segera berbalik arah sebelum pikirannya bertempur kembali.

Aswin pun gagal memasuki belantara sesungguhnya. Berbulan-bulan perasaannya tersiksa karena kegagalan. Aswin lebih banyak mematung dan membisu. Memasuki kembali realitas dunia kampus dengan keberanian setengah penuh.

Rania iba melihatnya. Ia tahu sebesar apa gusarnya Aswin menghadapi situasi ini. Sebagai teman ia berempati dan mencoba menyelaminya.

Pendulum hatinya pasti tak henti bergerak karena keraguan selalu saja menyergapnya. Rania mulai paham wujud rasa ragu itu tampak pada kehidupan serba setengah yang dijalani Aswin.

Tersirat dari cara berpikir, bertutur, penampilan, sikap dan gayanya. Aswin selalu serba setengah menjalani kehidupan kesehariannya. Bila sampai pada satu titik tertentu ia merasa sudah menemukan jawaban atas pertanyaannya, ia akan segera beralih mengindahkan deretan pertanyaan lain untuk dicari jawabannya.

(Tujuh tahun kemudian)

Rania sedang duduk di teras depan rumah menemani anak bungsunya bermain 'bongkar pasang'. Rutinitas wajibnya kala ia berada di rumah. Ia berkomitmen menjadi ibu sepenuhnya buat buah hatinya jika sudah berada bersama keluarganya. Dilepaskannya semua atribut, jabatan juga segala urusan kantor saat akhir pekan.

Suara motor terhenti di depan rumahnya, kemudian seseorang datang berjalan mendekat ke arah pagar. Rania bersiap.

"Permisi, selamat siang. Apakah benar ini Jl. Duku nomor 9, rumah Ibu Riana?" Tanya pemuda dibalik pagar.

"Ya, betul. Ada apa, Mas?" Rania menjawab pertanyaan sembari mendekat ke arah pemuda itu. Ia tak lupa memperhatikan tampilan si pemuda, jaket biru dan lambang sebuah ekspedisi. Batinnya semakin penasaran, sampai akhirnya sepucuk surat diberikan kurir itu kepadanya.

Rania balik amplop, melihat sisi belakangnya. Tentu setelah ia selesai menandatangani berkas tanda terima. Tertera disana nama pengirim, Aswin.

Rania tersenyum mendapati jawaban dari teka-teki pertanyaannya selama ini.
Untung saja, ia tetap tinggal di rumah orang tuanya meski telah menikah bertahun-tahun lamanya. Apa jadinya bila tidak?

Sesuai wasiat ayahanda rumah ini memang diwariskan kepadanya sebagai anak bungsu, dengan prasyarat untuk merawatnya seumur hidup. Beruntung sang menantu berkenan meluluskan permohonan terakhir ayah mertuanya.

Tak sabar ia ingin segera mengetahui episode petualangan terbaru Aswin.  Setelah terjeda sekian tahun lamanya. Rania duduk bersila di lantai, sambil tetap mengawasi si kecil yang masih asyik bermain. Ia merobek sudut amplopnya, lalu bergerak mengelilingi separuh pinggirannya.


Tujuh tahun sudah berlalu sejak pertemuan tanpa sengaja denganmu. Harapanku kabarmu baik selalu. Begitu juga tentang jenjang karir yang kau bicarakan dulu. Tentu kamu sudah bisa menebak apa ceritaku.

Perjumpaan denganmu dulu itu adalah tahun terakhir aku tinggal di kota kelahiran kita. Empat bulan setelahnya, aku memutuskan pergi ke pulau seberang. Seperti katamu, akhirnya aku nanti akan kelelahan juga. Lelah berlarian di belantara daratan kehidupan yang sering membosankan.

Waktu kita bertemu aku masih bergelut dengan kebosanan menjadi pegawai berdasi. Beralih jadi sopir truk boks antar kota antar propinsi. Lepas itu aku akhirnya bisa merasakan serabutan jadi seniman jalanan, guru les, buruh las, pedagang asongan, tukang ojek, makelar, pedagang ikan hias keliling, penjual batagor, preman terminal, juga pencuri. Bukan main rasanya berpetualang memasuki rimba-rimba itu. Meski hasil jawabannya selalu tak ada yang sempurna.

Eh jangan kaget! Kamu tak salah baca, Rania. Pengalaman yang kusebut terakhir tadi justru paling membuatku memiliki kenangan yang berbeda dari orang kebanyakan. Aku tak bisa lupakan dinginnya jeruji besi dan kehidupan di dalamnya selama 34 bulan. 

Kini aku sudah memutuskan untuk menikah dengan perempuan yang luar biasa sabar. Aku hidup di perkampungan nelayan. Hidup sederhana, bahagia dan tenang bersama keluargaku.

Oh, ya tiga bulan lalu aku belajar melaut. Awalnya aku jadi buruh paruh waktu membantu para nelayan. Kamu harus tahu, ternyata berada diantara ombak begitu membahagiakan. Riak gelombang air meliuk dengan indah saat perahu mayang melaju membelah air laut yang dilewatinya. Menyenangkan. 

Deru suara motor perahu berlomba dengan suara air yang saling berkejaran terasa membuai jiwa. Aku tidak sedang melebih-lebihkan. Satu saat kamu harus merasakan sendiri. Angin laut akan memanjakanmu, meniupkan aroma laut yang khas dan menenteramkan.

Mungkinkah di dasarnya, aku dapat menemukan muara? Tempat diriku, tubuh juga jiwaku menemukan singgasana damai. Keabadian.

Rania, belakangan pertanyaan itu terus mengusikku. Tiap kali aku pergi mengarungi lautan. Aku penasaran dengan luas dan dasarnya. Tentu keindahan luar biasa jika aku bisa menemukan ujung belantara selebu ini.


Selesai menamatkan kalimat pemungkas. Rania termangu. Pikirannya tergugu-gugu. Kelelahan yang ambigu.  Minda selebu. Manusia memang penuh dengan pergulatan kesadaran. Haru sekaligus iba merasuki perasaannya perlahan.  Semoga!




Senarai :

Banglas : tidak terhalang luas lepas
Selap : hilang kesadaran; pingsan
Selebu : laut luas; laut lepas
Minda : pusat kesadaran yang membangkitkan pikiran, perasaan, ide, dan persepsi, serta menyimpan pengetahuan dan ingatan; state of mind)

Sumber Foto : Pixabay
Read More

Bagaimana Cara Mengatasi Gagap pada Anak dan Kapan Kita harus Melakukan Pemeriksaan?



Pastikan Anda sudah membaca artikel sebelumnya tentang mengenal apa itu gagap atau stuttering termasuk gejala yang tampak dan tidak tampak. Jika belum silahkan mampir membaca lebih dulu di sini, agar lebih jelas memahami apa itu gagap.

Menghadapi anak gagap tentu dilematis. Takut salah bersikap. Muncul pertanyaan"bagaimana harus bersikap yang benar?" dan "Apakah tidak masalah jika anak tahu saya merasa kasihan padanya?". Tentu saja ini wajar terjadi perasaan tegang semacam itu.

Simpan pertanyaan itu dan mulai bergerak mendekati si anak. Ajak berbincang-bincang hangat, meski sedikit. Tawarkan bantuan atau menanyakan apa yang dikehendakinya. Keterbukaan bisa membantu anak untuk mandiri menolong dirinya.

Keluarga dapat bekerjasama membantu anak mengatasi gangguan bicaranya. Cara mengatasi dan membantunya, antara lain sebagai berikut :

1. Tak acuh atau kelewat melindungi.
Perlakuan berlebihan alih-alih menolong justru dapat membuat nyali anak mengecil. Sebab, merasa dirinya dibedakan. Bersikap saja sewajarnya dan bangun kepercayaan dirinya

2. Mengakui gagapnya. Membuat pengakuan atas gangguan yang ada padanya.

3. Jangan melontarkan kritik atau perkataan yang negatif. Biarkan anak menyelesaikan kalimatnya hingga akhir. Jangan menjadi orang dewasa yang egois, yang menuntut anak langsung tepat memperbaiki kelemahannya. 

4. Buat suasana kondusif, lebih santai saat berbicara agar anak senang dan tenang menikmati perbincangan dengan orang tuanya. Suasana rumah yang kondusif, tenang dan tertata akan membantu anak memilihkan ketegangannya.

5. Libatkan komunikasi yang efektif. Yakinkan pada anak bahwa sekalipun ia penderita stuttering (gagap) anak tetap dapat berkomunikasi efektif.

6. Jangan dipaksa bahkan memarahinya agar meneruskan kalimat jika saat anak tengah bercerita tiba-tiba gagapnya muncul.

7. Mendengarkan semua perkataannya dengan tenang dan penuh perhatian. Hindari ekspresi jengkel, tidak sabar atau frustasi.

8. Bebaskan ia untuk lebih menunjukkan ekspresinya saat mengungkapkan gagasan-gagasan tanpa banyak menginterupsinya dengan berbagai pertanyaan. Beri sedikit jeda waktu sebelum menanggapi ceritanya.

9. Membantu anak menerima dirinya apa adanya. Apa yang terjadi padanya akan bisa dilewati bersama. Berikan dorongan agar ia mampu percaya diri dan menolong dirinya sendiri.

Seyogyanya, orang tua yang mendapati anaknya mengulang kata atau bunyi tertentu dengan tempo yang semakin cepat dibandingkan anak sebayanya, maka itulah saatnya anak harus dibawa ke ahli untuk diperiksa secara menyeluruh apakah anak membutuhkan terapi wicara atau tidak.

Sedihnya, masih cukup banyak orang tua juga beberapa ahli medis yang beranggapan bahwa gagap akan sembuh sendiri. Memang bisa jadi itu benar, tapi tindakan itu sangat beresiko.

Lalu, kapan kita harus mendatangi ahli untuk melakukan pemeriksaan pada anak yang gagap?

1. Bila pengulangan dan perpanjangan kata yang dilakukan anak terdengar lebih intens dan konsisten.

2. Perhatikan raut wajahnya, otot mulut dan leher anak apakah ada tampak menunjukkan ketegangan.

3. Muncul aktivitas nonverbal yang menyertainya saat berbicara. Misalnya, wajah yang menegang, mata yang terus berkedip, kepala yang bergerak-gerak ke satu sisi dan lain sebagainya.

4. Menghindar dengan jelas aktivitas percakapan saat orang lain berusaha mengajaknya bicara.

5. Menghindari kata-kata tertentu atau mengubah kata di tengah perbincangan.

6. Gagap berkepanjangan hingga usianya lebih dari 5 tahun.

7. Tiap kali berbicara anak tampak kepayahan. Anak tampak sekali berupaya keras untuk bisa menyampaikan apa yang hendak ia katakan.

Gagap memang gangguan bicara yang tidak bisa disepelekan. Namun, kesabaran dan kerja keras semua pihak akan membantu anak menemukan jalan kesembuhannya. Tetap semangat dan jangan berputus asa. Yakinlah pasti banyak yang akan mendukung perjuangan Anda.

* Diolah dari berbagai sumber lainnya

Read More

Anak Anda Gagap? Jangan panik! Kenali gejalanya, memang sulit tapi bisa diatasi

Sabtu, 26 Oktober 2019


"E...e...e..i...i..i...tu... botol sss...saya, dan...dan...dan...", ujar Hanif kepada bundanya sambil menghentak-hentakkan tangannya, tampak bibirnya kesulitan mengeluarkan kata-kata dari dalam pikirannya. Matanya terus berkedip tak berhenti. 

Pernahkah menemui anak yang tidak lancar bicaranya seperti contoh di atas? Orang biasa menyebutnya gagap atau stuttering.

Seseorang dikatakan gagap jika ia mengalami penyimpangan wicara yang disebabkan adanya pengulangan suku kata pertama,  memperpanjang huruf vokal, atau mandek disatu kata yang tidak disengaja atau ketegangan. Bicara anak jadi tersendat dan terputus-putus. Gagap bisa muncul pada usia berapapun, tapi hampir 80 % dimulai sebelum anak menginjak usia 8 tahun. 

Jumlah penderita gagap tiga kali lebih banyak terjadi pada anak laki-laki, dibandingkan anak perempuan. Para ahli mengatakan ini terjadi karena proses keterlambatan proses kematangan pada susunan saraf yang bertugas mengkoordinasikan otot-otot kemampuan bicara. Beberapa kasus gagap terjadi pada anak kidal yang dipaksa beraktivitas tidak menggunakan tangan kirinya.

Faktor yang dapat mengurangi kegagapan apabila penderita sedang berbincang sendirian, berbicara bersama dengan orang, bernyanyi, bicara dengan anak yang usianya sama atau dengan binatang; boneka, atau sedang dalam keadaan yang rileks.

Secara umum faktor yang dapat menambah kegagapan adalah ketika anak harus berbicara dengan orang asing, usianya lebih tua, di depan umum (keramaian), saat menghadapi tekanan emosi atau saat harus menjawab pertanyaan yang sangat sulit.

Pemicu kegagapan beragam penyebabnya, dugaan bisa terjadi karena keturunan maupun lingkungan tempat tinggalnya. Misalnya, orang tua atau guru yang otoriter, suka menuntut dan tidak menerapkan disiplin positif bisa mempengaruhi timbulnya kelainan wicara ini.

Jika dilihat dari teori semantik, ada yang mengatakan bahwa gagap bukan dimulai dari mulut anak akan tetapi dari mulut orang tuanya. Hal yang biasa ketika anak baru lancar belajar bicara, ia akan mela pengulangan atau memperpanjang awal suku kata, apalagi jika ia tergesa-gesa. Nah, disini orang tua tanpa sadar terburu-buru menuntut anak untuk segera bicara dengan tatanan yang benar. Perlakuan seperti ini dapat memantik anak ke arah gagap.

Ada pula yang mengatakan, bahwa gagap akan muncul jika ada masalah psikologis pada anak. Terjadinya pertentangan dalam diri anak karena pengalaman kurang menyenangkan (trauma). Misalnya, ada yang sering mengkritik suaranya tak enak didengar. Akibatnya anak beranggapan bahwa suaranya jelek dan tak ada yang mau mendengarkannya, sehingga mengalami conflict reinforcement untuk berbicara atau tidak.

Waspadai gejalanya, dan segera lakukan tindakan untuk menolongnya. Gejala kegagapan ada bermacam-macam.

A. Gejala yang tampak (over symptom), yaitu :

1. Gejala primer, yaitu terjadi pengulangan, perpanjangan atau tersandung pada awal kata.

2. Gejala sekunder (penyerta), yaitu gejala penyerta, terbentuknya pola-pola sebelum mulai bicara, diiringi dengan gerakan-gerakan seperti mengetuk meja/bidang, menggoyangkan kaki atau kepala, memainkan rambut dan lain sebagainya.

B. Gejala tak tampak (cover symptom)

Gejala emosional, artinya gejala akibat frustasi, takut berkata-kata, takut situasi tertentu, takut orang, pemalu, cemas, rendah diri dan masih banyak lagi.
Jika anak menunjukkan tanda-tanda gejala ini, artinya penderita telah memasuki tahap kegagapan tingkat kedua.

Ada dua tingkatan kegagapan yaitu :

1. Gagap tahap pertama (primary stuttering)

Kegagapan tingkat ini masih lebih mudah disembuhkan dibandingkan dengan tahap yang kedua.

2. Gagap tahap kedua (secondary stuttering)

Kegagapan di tahapan ini, penderita sudah mengalami kecemasan, takut, tidak percaya diri, dengan diiringi gejala sekunder lainnya seperti  yang telah disebutkan di atas. Seperti, mata yang selalu berkedip-kedip, mengetuk-ngetuk meja, menggoyang-goyangkan kepala, tangan yang tak bisa dia memainkan ujung rambut dan lain-lain.

Wajar dan sangat dipahami, jika gagap pada anak memang membuat cemas, geram sekaligus malu ayah dan bunda. Tuntutan dan pertanyaan dari lingkungan sekitar tentu akan membuat tekanan tersendiri pada batin Anda. Berpura-pura baik saja seolah tidak ada masalah yang berarti juga bukan pilihan bijaksana. Justru malah akan menambah masalah.

Apapun yang terjadi, satukan tekad, berkomunikasi lebih intens serta kuatkan ikatan emosional antar anggota keluarga untuk mendukung si buah hati melalui apa yang dialaminya. Yakinlah, Anda tidak sendiri dan selalu ada jalan keluar pada tiap masalah.

Setelah mengenal gejala-gejala gangguan bicara tersebut, pasti ingin tahu kan bagaimana membantu anak mengatasi gagapnya? Baik, ditunggu ya ditulisan selanjutnya. Pastikan esok datang berkunjung kembali. Sampai jumpa!


Sumber Referensi :

Kliping Artikel Psikologi Anak. Majalah Intisari. 1996

Serta, diolah dari berbagai sumber lainnya

Sumber Foto :

Google, Kissclipart


Read More