Aswin bergeser mengalihkan perhatiannya. "Entah sudah berapa lama mereka tinggal, hingga kini para penghuninya si laba-laba sudah saling bertetangga membangun singgasana," tanyanya dalam hati. Tak lama bibirnya tersimpul senyuman tipis. "Mungkin mereka pikir isi otak si empu kamar ini, memang sudah berkelindan tak karuan, mirip jaring-jaring. Baiklah kita mirip" terkekeh ia dalam batin. Aswin memang tak sampai hati mengusir mereka pergi.
Pandangan Aswin belum berganti, seolah ia sedang melanjutkan percakapan batin dengan para penghuni istana jaring-jaring itu. Sesekali dahinya mengernyit, tak lama dihempaskan napasnya. Berat.
Tiga kali ia ulang adegan yang serupa, sampai kemudian ia mulai melirik jam dinding di atas pintu kamar. Derak-derik jarum jam terasa begitu kencang lebih mencekam di penghujung malam itu. Karut-marut Aswin pun berlipat.
Kini duduknya beringsut ke tepian ranjang, dibukanya buku kecil berwarna biru benhur. Tampak tulisan tangan dengan kerapian acak yang hanya mudah dipahami pemiliknya. Aswin menandai salah satu tulisannya. Lingkaran tak sempurna berwarna hijau menyala, lalu ia beri catatan kecil dengan tinta merah. Terlihat mencolok di antara rimba tulisannya.
"Tiga hari lagi. Harus. Apapun kata orang, terserah!" gumamnya sambil mengetukkan penanya semakin keras.
***
Rimba. Impian lama seorang mahasiswa tingkat tujuh yang makin tak sabar membayangkan kejutan petualangannya. Alih-alih bersiap seminar dan skripsi, ia justru sibuk mempersiapkan perjalanannya menembus belantara.
"Apa hebatnya? Belantara yang sepi, semrawut dan penuh cerita misteri macam itu. Kesepian tak akan pernah menyenangkan untuk dilihat apalagi dirasakan. Sepanjang perjalanan cuma bertemu belukar tak beraturan. Apa sih yang menarik? Tak ada, Win" ucapa Rania begitu ketus mendapati niat Aswin siang tadi.
Aswin bungkam hanya menatap dingin sahabatnya. Tak ada kata yang ingin ia sampaikan sebagai pembelaan. Niatnya sudah begitu bulat. Rania menyampaikan fakta, Aswin juga setuju itu. Namun, ia tahu pasti apa kesimpulannya tak perlu diperdebatkan lagi. Jawaban akhir akan tetap sama.
Bagi Aswin semua ini tentang keistimewaan. Pemandangan tumpang tindih lilitan akar, batang juga dedaunan yang jatuh membusuk di tanah lembab khas hutan tropis. Selain ketidakteraturan yang selintasan terlihat tetap saja menawarkan ketenangan dan keteduhan.
Kesemrawutan yang dikatakan Rania, sepertinya lambat laun akan berirama menjadi sebuah keteraturan yang indah. Hal-hal itu yang membuatnya penasaran dan tertegun di hamparan semak belukar pikiran. Tak berhenti merenungkannya.
Meski sejujurnya pikiran Aswin menelan sedikit rasa ragu, namun batinnya terus saja bertekad. Logika Aswin ragu kalau mampu menembus belantara itu. Namun setengah keyakinan lain, mendorongnya harus mampu menerobos semua belukar dan menemukan mimpi-mimpi tersembunyi di dalam sana.
Aswin ialah pemuda yang penuh impian. Ibarat gudang di dalam otaknya tersimpan berkarung-karung mimpi, kepingan keinginan yang menunggu direalisasi. Semakin hari semakin menggunung di gudang itu. Mungkin pada akhirnya hanya ruang waktu dan tindakan yang mampu menampungnya.
Manusia yang selalu haus kebebasan dan kemerdekaan. Tak ada area abu-abu baginya. Tiap belukar adalah medan laga baginya. Aswin selalu saja lebih memilih jalan yang penuh aral, panjang dan berliku untuk disusuri. Tak peduli apapun yang terjadi.
Kesadarannya terlalu kuat terpatri dalam dirinya. Aswin tak ragu berhenti di tengah jalan dan berbelok arah. Mengubah semua rencana yang telah tersusun rapi sebelumnya. Tanpa harus berdiskusi atau mengucapkan permisi kepada rekan-rekannya. Kesertamertaan dia membelot membuatnya sangat dihindari teman-temannya. Tak bisa diajak kerjasama, tidak setia kawan, egois, begitu dalih mereka.
Merusak segala tatanan rencana yang dengan susah payah disusun. Aswin Selap. Begitu julukan yang mereka berikan.
Tak ada yang berani komentar. Mereka hanya kasak kusuk di belakang punggung Aswin saja. Satu-satunya manusia yang mampu bertoleransi terhadap sikap luar biasa Aswin hanyalah Rania.
Perempuan yang dengan blak-blakan menanyakan perihal mengapa Aswin suka mengganti arah di tengah jalan? Bukankah ia tahu keputusannya itu bisa membuyarkan seluruh susunan rencana kelompok kerja mereka? Kerap sekali Rania menyanggahya. Tak hanya sekali.
"Aku sudah menempuh jalanan, dan aku sudah berhasil menemukan belantaranya. Lalu, kusibak lebih dalam lagi dan kutemukan ada jalan lain di sana. Kudengar mereka lirih memanggilku, jadi aku tinggalkan dan memilih jalan baru itu. Aku tak berpikir ulang atau merasa perlu menimbang bagaimana sudut pandang dari sisi kalian. Aku rasa berpikir bebas saja lah!" ujar Aswin tegas membela diri.
Rania tercekat. Saat mendengar nada kalimat itu, seolah Aswin mengutarakan dengan jelas keinginan terdalamnya. Terdengar seperti ia berkata, "Aku akan selalu menemukan belantara lain untuk ditaklukkan".
Benarkah Aswin akan sanggup meladeni semua kejutan di tiap belantara yang akan ia temui nanti?
***
Belantara yang dihadapinya kini adalah rimba sesungguhnya yang kasat mata. Sudut pandang Aswin yang selalu banglas serasa napak tilas. Berada di tengah rimbun pepohonan di belantara yang selama ini siang dan malam memikat angannya. Ia sudah berjalan jauh menyusuri jalan setapak ini sejak lepas matahari terbit tadi. Sepanjang jalan kanan dan kiri jurang terjal penuh semak belukar yang masih perawan. Aswin mencoba melihat ujung dasarnya, tak terlihat. Aneka vegetasi tumbuh.
Bahkan ia melihat masih banyak pohon tinggi menjulang besarnya melebihi lingkar pelukannya. Makin jauh dia berjalan, semakin gelap jalan yang dilalui. Hanya sedikit sinar matahari yang sanggup menembus celah rimbun dedaunan.
Aswin menghentikan langkahnya tiba-tiba. Kesadarannya menggugat. Ia berpikir kerasa memperkirakan apa saja yang bakal ditemuinya, jika semakin jauh masuk ke dalam hutan. Pasti tak hanya babi hutan, harimau, kera, ayam atau kucing hutan, keluarga binatang melata, burung berbagai jenis dan bunga berwarna-warni yang mungkin belum pernah dijumpai kecuali datang ke tempat ini.
Apa untungnya jika bertemu mereka semua? Berbincang-bincang? Menanyakan kabarnya apalagi berjabat tangan adalah kemustahilan. Lantas apakah ada jaminan nanti ia akan baik-baik saja bertemu mereka yang setengah liar atau memang masih liar?
Pertanyaan demi pertanyaan beradu jawab sendiri dalam benaknya. Nyalinya makin surut.
"Lanjut....tidak...lanjut...jangan," makin berkecamuk pergolakan di kepala Aswin.
"Kalau ternyata di dalam sana justru jadi perangkap dan berujung kematian, aku tak sanggup. Aku belum siap!" Akhirnya Aswin mengambil keputusan dan segera berbalik arah sebelum pikirannya bertempur kembali.
Aswin pun gagal memasuki belantara sesungguhnya. Berbulan-bulan perasaannya tersiksa karena kegagalan. Aswin lebih banyak mematung dan membisu. Memasuki kembali realitas dunia kampus dengan keberanian setengah penuh.
Rania iba melihatnya. Ia tahu sebesar apa gusarnya Aswin menghadapi situasi ini. Sebagai teman ia berempati dan mencoba menyelaminya.
Pendulum hatinya pasti tak henti bergerak karena keraguan selalu saja menyergapnya. Rania mulai paham wujud rasa ragu itu tampak pada kehidupan serba setengah yang dijalani Aswin.
Tersirat dari cara berpikir, bertutur, penampilan, sikap dan gayanya. Aswin selalu serba setengah menjalani kehidupan kesehariannya. Bila sampai pada satu titik tertentu ia merasa sudah menemukan jawaban atas pertanyaannya, ia akan segera beralih mengindahkan deretan pertanyaan lain untuk dicari jawabannya.
(Tujuh tahun kemudian)
Rania sedang duduk di teras depan rumah menemani anak bungsunya bermain 'bongkar pasang'. Rutinitas wajibnya kala ia berada di rumah. Ia berkomitmen menjadi ibu sepenuhnya buat buah hatinya jika sudah berada bersama keluarganya. Dilepaskannya semua atribut, jabatan juga segala urusan kantor saat akhir pekan.
Suara motor terhenti di depan rumahnya, kemudian seseorang datang berjalan mendekat ke arah pagar. Rania bersiap.
"Permisi, selamat siang. Apakah benar ini Jl. Duku nomor 9, rumah Ibu Riana?" Tanya pemuda dibalik pagar.
"Ya, betul. Ada apa, Mas?" Rania menjawab pertanyaan sembari mendekat ke arah pemuda itu. Ia tak lupa memperhatikan tampilan si pemuda, jaket biru dan lambang sebuah ekspedisi. Batinnya semakin penasaran, sampai akhirnya sepucuk surat diberikan kurir itu kepadanya.
Rania balik amplop, melihat sisi belakangnya. Tentu setelah ia selesai menandatangani berkas tanda terima. Tertera disana nama pengirim, Aswin.
Rania tersenyum mendapati jawaban dari teka-teki pertanyaannya selama ini.
Untung saja, ia tetap tinggal di rumah orang tuanya meski telah menikah bertahun-tahun lamanya. Apa jadinya bila tidak?
Sesuai wasiat ayahanda rumah ini memang diwariskan kepadanya sebagai anak bungsu, dengan prasyarat untuk merawatnya seumur hidup. Beruntung sang menantu berkenan meluluskan permohonan terakhir ayah mertuanya.
Tak sabar ia ingin segera mengetahui episode petualangan terbaru Aswin. Setelah terjeda sekian tahun lamanya. Rania duduk bersila di lantai, sambil tetap mengawasi si kecil yang masih asyik bermain. Ia merobek sudut amplopnya, lalu bergerak mengelilingi separuh pinggirannya.
Tujuh tahun sudah berlalu sejak pertemuan tanpa sengaja denganmu. Harapanku kabarmu baik selalu. Begitu juga tentang jenjang karir yang kau bicarakan dulu. Tentu kamu sudah bisa menebak apa ceritaku.
Perjumpaan denganmu dulu itu adalah tahun terakhir aku tinggal di kota kelahiran kita. Empat bulan setelahnya, aku memutuskan pergi ke pulau seberang. Seperti katamu, akhirnya aku nanti akan kelelahan juga. Lelah berlarian di belantara daratan kehidupan yang sering membosankan.
Waktu kita bertemu aku masih bergelut dengan kebosanan menjadi pegawai berdasi. Beralih jadi sopir truk boks antar kota antar propinsi. Lepas itu aku akhirnya bisa merasakan serabutan jadi seniman jalanan, guru les, buruh las, pedagang asongan, tukang ojek, makelar, pedagang ikan hias keliling, penjual batagor, preman terminal, juga pencuri. Bukan main rasanya berpetualang memasuki rimba-rimba itu. Meski hasil jawabannya selalu tak ada yang sempurna.
Eh jangan kaget! Kamu tak salah baca, Rania. Pengalaman yang kusebut terakhir tadi justru paling membuatku memiliki kenangan yang berbeda dari orang kebanyakan. Aku tak bisa lupakan dinginnya jeruji besi dan kehidupan di dalamnya selama 34 bulan.
Kini aku sudah memutuskan untuk menikah dengan perempuan yang luar biasa sabar. Aku hidup di perkampungan nelayan. Hidup sederhana, bahagia dan tenang bersama keluargaku.
Oh, ya tiga bulan lalu aku belajar melaut. Awalnya aku jadi buruh paruh waktu membantu para nelayan. Kamu harus tahu, ternyata berada diantara ombak begitu membahagiakan. Riak gelombang air meliuk dengan indah saat perahu mayang melaju membelah air laut yang dilewatinya. Menyenangkan.
Deru suara motor perahu berlomba dengan suara air yang saling berkejaran terasa membuai jiwa. Aku tidak sedang melebih-lebihkan. Satu saat kamu harus merasakan sendiri. Angin laut akan memanjakanmu, meniupkan aroma laut yang khas dan menenteramkan.
Mungkinkah di dasarnya, aku dapat menemukan muara? Tempat diriku, tubuh juga jiwaku menemukan singgasana damai. Keabadian.
Rania, belakangan pertanyaan itu terus mengusikku. Tiap kali aku pergi mengarungi lautan. Aku penasaran dengan luas dan dasarnya. Tentu keindahan luar biasa jika aku bisa menemukan ujung belantara selebu ini.
Selesai menamatkan kalimat pemungkas. Rania termangu. Pikirannya tergugu-gugu. Kelelahan yang ambigu. Minda selebu. Manusia memang penuh dengan pergulatan kesadaran. Haru sekaligus iba merasuki perasaannya perlahan. Semoga!
Senarai :
Banglas : tidak terhalang luas lepas
Selap : hilang kesadaran; pingsan
Selebu : laut luas; laut lepas
Minda : pusat kesadaran yang membangkitkan pikiran, perasaan, ide, dan persepsi, serta menyimpan pengetahuan dan ingatan; state of mind)
Sumber Foto : Pixabay