Kesempatan Kedua

Senin, 30 September 2019



Awal tahun Hijriyah ini memang sungguh luar biasa. Allah menitipkan banyak pelajaran berharga. Sekolah kehidupan yang kurikulumnya disusun langsung oleh pemilik ilmu Yang Maha Luas.

Salah satunya adalah pelajaran yang diambil dari hikmah kematian dan rasa sakit. Kedua hal ini tak pernah berhenti memberikan pelajaran yang tak ternilai materi harganya.

Apa yang lebih pasti dan tak pernah ingkar janji? Ya, kematian dan malaikat pencabut nyawa. Kita nggak pernah mengerti bahwa tiap detik yang kita habiskan entah diujung mana kita selalu diawasinya. Bisa saat ini, bisa nanti. Bisa besok, atau bisa jadi tak ada hari esok. Mati tak harus menunggu tua bukan?

Sudahlah aku tak akan bicara soalnya kematian hari ini. Masih cukup berat aku mengenang salah satu anak ideologisku yang telah berpulang beberapa minggu lalu. Aku ingin bercerita tentang hikmah sakit yang aku pelajari dari tetangga sekaligus juga kakak, saudari ideologis yang beberapa waktu lalu divonis sakit kanker. Tanpa pertanda apa-apa sebelumnya, jelas membuat kami semua yang mendengar terperangah.

Beberapa hari sebelumnya masih tertawa, bercengkerama, bicara tentang impian ini dan itu. Beliau yang ceria, mobilitas tinggi, ide yang selalu cemerlang membuat kami juga ikut mencerna dan merasakan aura keaktifannya. Tiba-tiba mendapatkan vonis yang aku rasa bagi semua wanita tak ingin mendengar atau mengalaminya. Kanker rahim dan fakta bahwa rahim harus diangkat karena diameter kanker sudah mencapai 11 centimeter. Sungguh kami yang mendengar hanya mampu terbelalak. Kanker telah mendesak organ lain, hingga terjadi perlengketan pada usus atau organ pencernaannya. Aku tak bisa membayangkan, apa yang terjadi jika aku berada diposisi beliau. Langit mungkin serasa runtuh!

Namun, sebagai mukmin aku wajib pahami, bahwa sakit juga nikmat sekaligus rahmat. Terkadang cara Allah sayang pada hamba-Nya tak pernah terbayangkan dari mana datangnya. Kadang semua datang begitu cepat tanpa pertanda, hingga membuat kita terjeda sementara untuk bisa menerima. Kita terjebak pada praduga. Jarak kita mampu menerima pasti berbeda tiap manusia. Namun, ternyata jika kita mampu menyelaraskan logika, perasaan dan keimanan. Semua itu tak lain adalah hadiah langit untuk kita.

Aku pribadi percaya setiap kita diberikan sebuah ujian, apapun itu bentuknya, pasti selalu ada hikmahnya. Termasuk bahwa Allah sebenarnya selalu memberikan kesempatan kedua. Kesempatan untuk kita selalu pulang pada-Nya dengan cara terbaik kita sebagai hamba.

Kesempatan mengosongkan bejana dosa yang telah lama berlumut atau berkarat untuk dibersihkan seperti pada awalnya. Syaratnya kita harus mampu mengambil hikmah dari pelajaran yang Allah berikan itu.

Hikmah dan pelajaran sakit yang diturunkan pada kita, adalah sebagai berikut :

1. Sabar


Katakanlah (Muhammad), "Wahai hamba-hamba-Ku yang beriman! Bertakwalah kepada Tuhanmu." Bagi orang-orang yang berbuat baik di dunia ini akan memperoleh kebaikan. Dan Bumi Allah itu luas. Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas" (AZ Zumar : 10).

Sabar adalah pelajaran paling awal yang harus kita praktekkan. Memang nggak mudah, namun janji Allah itu pasti.

2. Syukur


"Dua nikmat yang membuat manusia banyak terpedaya olehnya : nikmat sehat dan waktu kurang" (HR. Bukhari No. 6412 ).

Saat sakit datang, inilah saatnya kita lebih melipatgandakan syukur. Begitu banyak hal yang sering kita tunda, alih-alih merasa  sehat dan memiliki cukup waktu. Padahal sedetik waktu yang ada di depan kita merupakan rahasia-Nya.

3. Introspeksi


"Dan sungguh, Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat sebelum engkau, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kemelaratan dan kesengsaraan, agar mereka memohon (kepada Allah) dengan kerendahan hati" (Al An'aam : 42).

Allah senang hamba-Nya datang dengan hati yang tunduk. Membawa kehadapan-Nya, bergunung-gunung harapan juga doa.

4. Menghapus Dosa


"Tidaklah seorang mukmin, tertimpa rasa sakit, rasa capek, kekhawatiran, sedih, kesusahan hati atau sesuatu yang menyakiti sampai pada duri yang menusuknya, itu semua akan menghapuskan dosa-dosanya" (HR. Bukhari No. 5641 dan Muslim No. 2573).

Sakit adalah penggugur dosa-dosa. Setelah mampu memaknai poin pertama hingga ketiga, Allah akan lunasi dengan menjadikan ruh kita kembali suci.

5. Berdoa


Doa itu bukan memberitahu Allah akan hajatmu, karena Allah Maha Tahu. Juga, bukan meminta, karena Allah Maha Pemurah memberi tanpa diminta. Namun, doa hanyalah menunjukkan keperluanmu kepada-Nya, karena Allah Maha Kaya dan suka mendengar hamba-Nya yang menunjukkan kefakirannya (Syeikh Rohimuddin Nawawi).

Ada sebuah cerita berhikmah tentang sakitnya seorang hamba, diriwayatkan oleh Abu Imamah Al Bahili yang mengutip Sabda Rasulullah Shalallahu'alaihi Wassalam. Saat seorang hamba jatuh sakit, Allah akan mengutus empat malaikat-Nya dengan tiga yang berbeda-beda.

Malaikat#1, Allah perintahkan kepadanya untuk mencabut kekuatan tubuhnya, dijadikannya lemah tak berdaya.

Malaikat#2, Allah perintahkan kepadanya mencabut nikmat lezat dari lidahnya, hingga lidah kelu dan pahit saat mencecap rasa.

Malaikat#3, perintah yang diterimanya adalah mencabut sinar kecerahan wajahnya, hingga ia pun memucat.

Malaikat#4, ia diperintahkan untuk mencabut dosa-dosa hamba tersebut. Hingga, ia berada dalam kondisi suci dari dosa.

Lalu, saat sang hamba ini menjelang waktu disembuhkan Allah perintahkan para malaikat ini untuk mengembalikan semua yang telah diambilnya. Kecuali, malaikat keempat.

Maka, bersujudlah ia dan memberanikan diri bertanya. "Ya, Allah, mengapa Engkau tidak perintahkan aku untuk mengembalikan dosa-dosa ini kepada hamba-Mu itu?."

Allah menjawab, "Tidak baik bagi kemuliaan-Ku jika Aku mengembalikan dosa-dosa hamba-Ku, setelah Aku menyulitkannya ketika sakit."

Malaikat bertanya lagi, "Kemanakah dosa-dosa ini hari aku simpan, Ya Rabb?"

"Pergilah dan buanglah dosa-dosa itu ke dalam lautan!", perintah Allah kepada malaikat keempat.

Lihatlah nikmat mana lagi yang kita dustakan?  Allah begitu mencintai ciptaan-Nya  yang bernama manusia. Ciptaan yang paling sering khilaf dan lupa. Berbuat zalim pada dirinya dan sekitarnya.
Namun Allah selalu buka kesempatan kedua untuk m kembali, memperbaiki kualitas diri agar saat kita kembali tak ada yang disesali.

Jika Allah masih sayang pada kita, Allah akan memanggil kita lagi dan lagi. Kita yang harus sadar dan berupaya agar tak berpaling lagi dari-Nya.

"Ketika engkau sudah berada di jalan yang benar menuju Allah, maka berlarilah. Jika sulit bagimu, maka berlari kecillah. Jika kamu lelah, berjalanlah. Jika itupun tidak mampu, merangkaklah. Namun, jangan pernah berbalik arah atau berhenti" (Imam Syafi'i).

Begitulah teman, selalu ada kesempatan kedua bagi kita yang mau mencoba mencari rida-Nya.
Saat Tuhan masih menghadirkan sakit, perasaan kelelahan yang tiba-tiba menyergap. Atau, ketika kita merasa seperti aral gendala terus saja datang menguji. Lalu, kita didera kejenuhan pada hingar bingar dunia.

Maka itulah waktu  Allah datang menitipkan rindu. Dia rindu ramainya doa-doa yang kita panjatkan sebagai penanda kita seorang hamba.

Permasalahan akankah kesempatan kedua itu harus diambil atau tidak? Jawabannya silahkan direnungkan dan disimpan pada relung hati kita masing-masing.

Kisah ini adalah secuil hikmah yang bisa aku ambil intisarinya, dan ingin aku bagi. Semoga bermanfaat agar kita lebih bijak bersiasat dengan waktu serta kesehatan. Sebelum pintu kesempatan itu benar-benar terkunci rapat.

============================
Teruntuk kakanda Dyah Erawati Anggraini, tulisan ini adinda persembahankan untukmu. Semangat sehat untuk kembali bersama kami meniti hari-hari.

Terima kasih sudah memberikan begitu banyak pelajaran pada kami. Tentang arti cinta dan kesempatan kedua. Love you 3000 and more!

Sumber referensi :

https://www.google.com/amp/s/www.islampos.com/34784-34784/amp/

Read More

Resensi Buku Talents Mapping: Inspirasi Untuk Hidup Lebih Asyik dan Bermakna

Minggu, 29 September 2019

Im not perfect, but I am very SPECIAL and limited edition

Judul Buku : Talent Mapping
Penulis : Abah Rama Royani
Genre : Non Fiksi
Penerbit : Tosca 
Tebal : 208 halaman
ISBN : 978-602-74211-3-4

Read More

Monolog Luka : Kisah Hati Menolak Diam

Sabtu, 28 September 2019



(1)

Di tepian senja, burung prenjak bersahutan menuju perjalanan pulang. Matahari merangkak pelan menuju peraduan. Berkejaran dengan awan. Dinding-dinding dingin berdendang penuh kesungguhan. Demi menyaksikan jiwa-jiwa yang letih dan beku menekuri jalanan. 
Mereka tampak hanya sepenggal angan yang ingin tinggal. Pandangannya senantiasa terdampar pada lukisan kefanaan. Berkali-kali luka menghujamkan kenangan. Jari jemari tak lagi mampu menghitung waktu yang memupuskan harapan. Tapi, apa dayanya yang tersisa cuma asa. Jiwa bergegas meringkas langkah. Belum mau mengalah. Diujung resah ia berucap, "Aku belum menyerah, apalagi kalah."

(2)

Angin mati tak berarak. Atau dahan-dahan memilih membisu, tak merelakan sentuhan angin. Langit bungkam. Bintang-bintang menghilang. Berharap masih memegang tali warna pelangi rajutan Illahi, yang baru saja pergi. Berganti purnama yang bersiap menggubah nyanyian pagi dan nada-nada indah senja. Jiwaku rebah gelisah. Mencari Titian singgah. Tuhan, sesungguhnya diujung semesta manakah pintu istana-Mu terbelah?

(3)

Gelap terang meredakan kesombongan. Menukar matahari pagi pada senja, yang telah menyiapkan jalan menuju genggaman rembulan. Lewat kedalaman malam, aku telah berkali-kali mengadu. Tapi Tuhan, tidakkah para punggawa langit menyampaikan pesan keluh kesahku? Sebab, aku sudah rindu Engkau datang memeluk tanda tanya resahku. Mengapa kelapangan jalan menuju madani, terus saja dikebiri?

(4)

Aku, manusia yang terus mencoba bertahan di bawah sengatan kesulitan dan aneka aroma kehendak kepentingan. 
Aku, manusia dibentuk dari sekumpulan luka-luka. Seolah nasib telah ditulis pada dedaunan nyaris layu, hingga aku terus mencari pegangan. Entah mengapa bertambah pula rasa takut kehilangannya.

Ia, Cahaya!

Bagian semesta yang ingin tetap kubiarkan menjalar dalam urat nadi. Berpijar menyalakan amunisi berani, agar hati menolak berdiam diri, berlalu pergi dan mati.

Tidak!

Semarang, 28 September 2019

Read More

Yuk, Kenali dan Rangkul Inner Child Kita!

Jumat, 27 September 2019

Foto : Pixabay


Awal tahun ini, pernah membagikan sebuah narasi singkat di Instagram pribadi. 

Begini kalimatnya waktu itu :

Riak rumah tangga tentu tak bisa dihindari. Saling tuding sana sini penuh caci maki. Lalu pungkasannya, cerai jadi kata kunci. Sebelum itu, tanyakan dulu apa dengan baik apa kabar jiwamu? Bisa jadi ada yang belum tuntas dilunasi di masa kecil dulu (inner child).

Jika itu memang belum kelar, mau nikah berapa kali pun dan dengan siapapun kecenderungan hasilnya pasti akan sama.

Luka batin dimasa lalu harus diobati dulu, sembuh dulu. Dibereskan dulu. Jika tidak, ia berpotensi melukai siapapun tak terkecuali diri kita sendiri.

Ngeri kan kalau kemudian memutuskan menikah tapi kita belum selesai dengan diri kita. Marahnya sama orang tua dimasa lalu; lukanya dengan siapa, yang kena getah deritanya siapa. Ditumpahkan ke pasangan. Sudah lagi nih kalau lubernya ke anak-anak. Kasihan kan anak-anak justru jadi korban dari kesehatan psikologis kita yang belum sembuh dan harus diterapi?

Rupanya tulisan sederhana yang terinspirasi dari banyaknya kasus perceraian disekitarku waktu itu, disambut dengan begitu ramai. Berbagai tanggapan muncul kala itu. Kuperhatikan satu persatu komentar yang datang, mayoritas banyak yang mengiyakan betapa beratnya belenggu masa silam.

Setiap kali topik inner child diangkat selalu tak pernah sepi orang untuk berdiskusi.

Lalu sebenarnya, apa itu Inner Child ?

Rekaman proses kehidupan masa kecil, khususnya terkait bagaimana orangtua saudara dan orang lain dilingkungan menghadirkan pengalaman dan perlakuan kepada dirinya.

Rekaman perlakuan itu kemudian membangun skema, suatu pola aksi reaksi dalam perilaku.

Inner child populer dalam ilmu psikologi pada sekitar tahun 1970-an.

Menurut John Bradshaw (1992) Inner child merupakan pengalaman masa lalu  yang tidak atau belum mendapatkan penyelesaian dengan baik . 

Orang dewasa bisa memiliki berbagai macam kondisi inner child yang dihasilkan oleh pengalaman positif dan negatif yang dialami pada masa lalu.

Seperti motivasi alam bawah sadar lainnya, inner child juga muncul pada orang dewasa dalam bentuk perilaku atau keadaan emosi yang tidak disadari (unconscious) .

Beberapa istilah lain dari inner child dalam psikologi modern :


  • The Divine Child
  • Wonder Child
  • The True Self
  • The Child Within

Asal terbentuknya inner child, beberapa ahli neuropsikologi berpendapat asal terbentuknya inner child dimulai sejak didalam kandungan. lebih tepatnya saat ibu mengandung di tri semester ketiga.

Hormon-hormon ibu akan membanjiri bayi di kandungan. Bayi yang lebih banyak mendapat hormon stres, depresi, sedih berlebihan, cemas berlebihan, akan membanjiri amigdala (pusat pengaturan emosi pada manusia) bayi. amigdala yang tidak bisa berkembang optimal akan membuat bayi 2x lebih rentan mengalami stres, depresi, dan gangguan psikologis lainnya saat lahir.

Secara teori dari Sigmund Freud, saat bayi berusia 0 - 5 tahun, "pintu masuk" ini selalu terbuka. artinya semua yang dialami anak akan otomatis tersimpan dalam alam bawah sadar. Saat di alam bawah sadar, semua informasi diubah jadi kode. 

Misal anak sedang makan permen tiba-tiba ibu marah-marah dan memukul, anak lalu ketakutan. di alam bawah sadar, peristiwa itu diubah jadi kode: "Permen sama dengan takut. Lalu, setiap melihat permen anak akan ketakutan dan ini juga lebih lanjut menjadi asal mula munculnya gangguan fobia.

Secara umum inner child dapat dipahami sebagai bagian dalam diri seseorang yang merupakan hasil dari pengalaman masa kecilnya.

Bagian dari kepribadian orang dewasa yang menyimpan perilaku, kenangan, emosi baik negatif maupun positif, kebiasaan, sikap, dan pola pikir saat kita masih anak-anak dan remaja. 

Pengaruh Inner Child pada Anak

Positif

Anak yang tumbuh dengan penerimaan, pemahaman dan dukungan akan memiliki inner child yang bahagia, penuh emosi dan skema kenangan positif yang semakin menguatkan fitrah, bakat dan kepribadiannya.

Negatif

Anak yang tumbuh di tengah penolakan, kesalahpahaman, pengabaian akan menyimpan inner child negatif, dan terus terbawa ke masa dewasa yang cenderung berpengaruh pada perilakunya. Skema negatif akan memunculkan pola emosi yang merusak ke dalam dan atau ke luar.

JENIS – JENIS INNER CHILD

Vulnerable Child

Sosok anak yang gelisah dan rentan karena kurang dukungan penerimaan.

Playfull Child

Sosok anak yang bebas dan ekspresif dengan emosi positif.

Angry  Child

Sosok anak yang marah

Spiritual Child

Sosok anak yang memiliki kesadaran akan ketuhan dan kebaikan

Creative Child

Sosok anak yang cerdas , kreatif  dan produktif

Tidak ada paramater khusus untuk mendeteksi apakah masih ada inner child pada diri kita. Namun, kita bisa cek mandiri saat mengalami suatu peristiwa atau situasi tertentu yang mirip kejadian dimasa lalu, biasanya respon kita menghadapinya akan sangat berlebihan. Inner child ini seringkali tidak kita sadari keberadaannya. 

Tanpa sadar, inner child mengakibatkan munculnya kecemasan, ketakutan, kemarahan, ataupun depresi yang direfleksikan melalui perilaku yg negatif.

Cara utk menghilangkan inner child :

1. Kenali dan terimalah inner child dengan tangan terbuka. Awali dengan 'Tazkiyatun Nafs', berusaha menerima, memaafkan kesalahan yang lalu.

2. Lakukan "time travel" kembali pada saat kita kecil. Salah satunya dengan mengingat hal-hal yang kita sukai saat kecil. Misalnya olahraga, permainan, benda-benda tertentu, makanan, dan lain sebagainya.

3. Lalu ingatlah kembali peristiwa-peristiwa yg pernah terjadi baik yang menyenangkan ataupun yang menyakitkan di masa kecil.

4. Resapi perasaan apa yang kita rasakan terhadap peristiwa-peristiwa tersebut.

5. Lalu tentukan peristiwa mana yang meninggalkan luka dalam dan perlu untuk diobati.

6. Selanjutnya identifikasikan karakteristik inner child yang kita miliki.

7. Berkomunikasi dengan inner child.

Contoh berkomunikasi dengan inner child. Melalui tulisan. Buatlah surat untuk inner child. Kita berperan sebagai “pengasuh” (diri kita yang sekarang) dan sekaligus sebagai anak kecil.

Ajaklah inner child kita bercakap-cakap melalui tulisan tersebut, biarkan mengalir apa adanya. Ketika berperan sebagai diri kita sekarang, menulislah menggunakan tangan kanan. Saat berperan sebagai inner child, menulislah dengan menggunakan tangan kiri. 

Lakukan secara bergantian. Isi suratnya bisa permohonan maaf karena selama ini sudah mengabaikannya, dan sekarang ingin memperbaiki hubungan atau berteman dengan inner child.

Sesuaikan surat yang kita buat dengan jenis inner child yang kita miliki. Misalnya jika kita memiliki inner child berupa anak yang ditinggalkan, maka katakan dalam surat bahwa kita berjanji untuk selalu ada untuknya dan membantunya.

8. Dengarkan apa yg diinginkan oleh inner child kita seakan kita bisa melihatnya.

9. Penerimaan.

Akui bahwa kita mengalami rasa sedih, marah, takut, kecewa dan sebagainya. Tanamkan bahwa hal tersebut terjadi bukan karena kesalahan anda.

10. Maafkan orang-orang yang telah menorehkan luka dalam kehidupan kita.

11. Terimalah peristiwa menyakitkan yang pernah kita alami sebagai bentuk pembelajaran agar kita bisa menjadi pribadi yang lebih tangguh.

12. Lindungi inner child kita. Hindari berada disituasi yang menyebabkan kita merasa cemas, dan tidak nyaman.

13. Kembangkan 'sense of fun' dalam diri kita.

Inner child seperti sudah dijelaskan bahwa ada banyak macamnya. Hanya saja seringnya yang bermunculan ke permukaan dan jadi masalah adalah jenis vulnerable; angry dan playfull child. Atau inner child yang berdampak negatif.

Itu menurut sudut pandangan pribadi. Sebab, saya yakin setiap orang pasti membawa luka batin masing-masing selama rentang masa tumbuh kembangnya.

Perbedaannya ada pada kadar luka, kekuatan dan kemampuan beradaptasi manusianya. Sehingga, mempengaruhi kesehatan mentalnya atau tidak.

Ada yang mampu berdamai dengan bagian masa lalu dirinya itu, namun tidak sedikit yang gagal. Inner child tetap berpotensi akan muncul dalam situasi tertentu, karena kita tidak pernah bisa membendung ataupun menghapus ingatan masa lalu. 

Sependek pemahaman saya, secara natural itu akan muncul. Perbedaan yang mampu kita lakukan adalah terus melakukan penerimaan, pemaafan dan komunikasi dengan diri sendiri (self talk). Mengapa? Sebab proses penyembuhan inner child akan berlangsung lama dan membutuhkan lingkungan yang sarat dengan dukungan positif.

Singkatnya ada empat pola dasar yang bisa kita lakukan untuk menangani inner child, yakni Penerimaan, Self Talk, Memaafkan dan Melepaskan.

Semua jenis inner child itu perlu diramu, agar VULNERABLE CHILD menjadi lebih tenang,  dan ANGRY CHILD dalam diri kita merasakan penerimaan. Selanjutnya terakhir kita dapat melibatkan SPIRITUAL CHILD untuk menyadari bahwa ada skenario takdir dari Yang Maha Kuasa dan tidak ada pilihan lain kecuali menerima. Sehingga pada akhirnya kita mampu memanggil PLAYFUL AND CREATIVE CHILD yang  juga bersemayam dalam diri kita.

Buat para orang tua dan yang akan menjadi orang tua. Titip pesan semangat di bawah ini, ya :

HEALING YOUR INNER CHILD AND  LETS CELEBRATE LIFE AGAIN! YOU AND YOUR CHILDREN BE HAPPY!!


Referensi Bacaan :

Diamond, S. A. (2008). Essential Secrets of Psychotherapy : The Inner Child. Retrived from: https://www.psychologytoday.com/blog/evil-deeds/200806/essential-secrets-psychotherapy-the-inner-child

https://en.wikipedia.org/wiki/Inner_child

Materi Hasil Diskusi Fitrah Seksualitas Kelas Bunda Sayang Batch#2 Semarang - Salatiga


Read More

Badai Blast

Kamis, 26 September 2019

Jangan Biarkan Mereka Kesepian / Foto : Pixabay

Sebelum sedikit kita akan obrolkan tentang apa itu BLAST. Coba kita sama-sama menjawab, nggak usah teriak dalam hati juga boleh. Berapa banyak anak Indonesia yang dibesarkan dengan dukungan sosial, emosional dan spiritual yang kuat? Jawabannya tentu tidak dapat kita pastikan secara kuantitatif dengan angka, namun secara umum melalu fakta kita bisa melihat bahwa tidak banyak anak Indonesia yang dibesarkan dengan dukungan sosial, emosional dan spiritual yang baik.

Fakta-fakta mengerikan yang setiap hari selalu saja ada dikabarkan media tentang perilaku negatif anak yang mengarah pada asusila, amoral, serta kriminal tidak mampu terelakkan lagi.

Bisa kita lihat video yang diunggah oleh SEMAI 0RG tentang kondisi yang mengepung anak-anak Indonesia kini. Melalui serangkaian penelitian di berbagai daerah di seluruh wilayah Indonesia. Didapatkan fakta bahwa 93 dari 100 anak SD sudah mengakses pornografi, 21 dari100 remaja telah melakukan aborsi, 135 anak jadi korban kekerasan, 5 dari 100 anak tertular penyakit menular seksual, 63 dari 100 remaja sudah pernah melakukan hubungan seksual diluar nikah. Tayangan  selengkapnya bisa dilihat disini .

Banyak pula anak yang lantas merusak diri sendiri. Ini semua tak lain disebabkan oleh dipicu badai BLAST. 

Apa itu BLAST?

*Bored, bosan dengan rutinitasnya, harian dan sekolah.

*Lonely kesepian sebab secara kuantitas dan kualitas tidak dekat dengan orang tuanya.

*Angry-Afraid, marah yang disebabkan situasi yang akar masalahnya bersumber pada ketidakpuasan serta rasa takut cerita pada orang tua.

*Stress, rasa tertekan dengan yang situasi melingkupinya.

*Tired, kelelahan akibat akumulasi masalah yang bertumpuk-tumpuk

BLAST adalah fenomena yang menggambarkan rapuhnya kondisi anak-anak di era sekarang ini. Mereka tumbuh dengan jiwa yang kosong. Tidak ada kelekatan emosional (bonding) yang baik diantara anggota kelompok terkecil dan terintim bernama KELUARGA.

Alih-alih menanamkan pemahaman spiritual (akidah), adab, moral justru malah sering absen berperan memberikan pendidikan dan pengasuhan pada anak.

Orangtua terlibat hanya sebagai penyedia fasilitas, materi, tanpa berusaha andil aktif melakukan proses pendidikan. Memandang tenaga subkontrak seperti pihak sekolah lah yang bertanggung jawab penuh pada pembentukan karakter dan pendidikan anak.

Baik dari sisi kognitif, moral, atau kemampuan lain yang harus dikembangkan. Akhirnya anak merasa diabaikan, sendirian menghadapi kenyataan masalah yang terjadi pada dirinya.

Anak tidak punya tempat cerita saat ia bingung atau mendapatkan masalah di sekolah. Bingung harus mencari perlindungan dari siapa saat merasa tidak aman. Sebab anak tidak merasa nyaman, merasa orang tuanya tidak mampu memberikan rasa aman.

Lalu, apa yang harus dilakukan orang tua?

1. Sediakan waktu, hadir dan terlibat secara kuantitas dan kualitas.

2. Sediakan "TELINGA BERHATI" yang selalu  dan siap mendengar, pahami cerita dan permasalahannya.

3. Ajarkan dan contohkan anak regulasi emosi yang baik dan benar.

4. Jadilah orang tua pembelajar yang terus memantaskan diri untuk jadi panutan teladan anak.

5. Jadikan rumah sebagai pusat ketahanan, kekuatan dan kenyamanan bagi anak.

Tiap keluarga harapannya terus konsisten dengan cara apapun secara maksimal melalukan BLAST manajemen, agar kita bersama-sama mampu menyelamatkan generasi emas Indonesia. 

Generasi terbaik, pemegang tongkat estafet peradaban.
Read More

Rahasia Rasa

Rabu, 25 September 2019


Dua puluh menit lebih kami duduk dibangku itu. Saling berhadapan bertatapan namun tak sepatah katapun terucap. Canggung rasanya setelah sekian lama tak bersua. Entah mulai darimana percakapan ini akan dibuka. Mungkin hanya rindu kami yang bahasanya sama.

Itulah mengapa hanya senyuman yang sejak tadi menyapa. "Apa kabar?," akhirnya kau memulainya.

"Kabar baik. Kamu?," jawabku setengah gugup.

"Baik juga," jawabnya tak kalah formal dariku.

Akhirnya waktu beku kembali. Entah kemana hilangnya semua kosakata.

"Sampai kapan disini? Betah ya pasti disana jarang pulang?", tanyaku memberanikan diri.

"Betah nggak betah sih tapi ya bagaimana lagi, kalau nggak begitu, nggak ada pengalamannya. Maunya sih di Jogja aja tapi kayaknya Bandung lebih punya janji", ia terkekeh sambil  terus memberikan penjelasannya yang panjang. 

Tembok tak kasat mata itu akhirnya runtuh seketika. Kalimat demi kalimat akhirnya saling bersahutan. Rindu itu akhirnya terejawantahkan.

Hingga sampai disatu babak kami duduk membeku lagi.

"Kriing....kriing...kriing"

Telepon seluler dihadapan kami nyaris mengeluarkan bunyi bersamaan. Sontak kami saling berpandangan seolah merasakan sebuah pertanda. Dering telepon berbunyi sekali lagi. Kami bertatapan lagi, saling mempersilahkan untuk merespon panggilan itu.

"Ya, Hallo?...".

Kujawab panggilan itu sambil menatap Bagas yang juga melihat lekat ke arahku. Aku menunduk tak sanggup menjawab tatapannya. Tak lama kami selesai dengan percakapan telepon itu. Bagas tersenyum. Entah apa maksudnya kubalas saja.

"Aku rasa, mereka terasa dengan pertemuan kita ini, Sekar".

"Lalu? Kamu jawab apa? Bukannya kita sudah sepakat u nggak ada rahasia ? Bilang apa adanya? Hmm..kalau aku memang nggak ada kewajiban menjelaskan sih he he he..", selorohku mencoba santai.

"Aku juga cerita jujur, tapi kayaknya mereka dapat 'alert'. Merasa mungkin pertemuan kita nggak biasa. Bukannya juga yang telepon kamu tadi dia?".

Aku tertunduk. Mengangguk.

**

"Kenapa sih hubungan kita dari dulu nggak bisa jadi serius? Padahal kita masing-masing tahu jelas perasaan kita ini bagaimana. Sejauh apa kita pergi selalu saja jalan hati pulang ya ke kamu, aku", nada Bagas bicara tandas terbaca jelas kembali ia gusar.

"Sampai kapan pun kita bahas, aku nggak bakal ganti jawabannya, Gas. Aku nggak mengerti kenapa bisa begitu. Aku nggak berani. Sungguh! Perasaanku ke kamu sudah "terlalu" buat aku. Sebaliknya, perasaanmu ke aku juga begitu. Bahkan aku takut Dia cemburu", kujawab dengan cepat tanpa berani menatap ke arahnya. Kudengar ia menghela napas, dalam dan berat.

"Sekar, angkat kepalamu. Jangan sembunyikan wajahmu. Sudahlah, aku nggak marah. Perasaan dan keyakinanku masih sama seperti 10 tahun lalu. Kamu ingat?", pertanyaannya yang tiba-tiba membuatku bergegas mendongakkan kepala. Bagas terkekeh melihat reaksiku. Aku melotot ke arahnya menutupi rasa malu. Hidung dan pipiku menghangat.

"Sekar, aku selalu hargai keputusanmu. Tapi, maaf jika aku pun masih yakin kepada siapapun perasaanmu berlabuh kini. Muaranya tetap akan kembali kepadaku. Aku nggak tahu keyakinan ini datang darimana. Masih sekuat itu. Maafkan aku jika hatiku masih menunggu, sampai seseorang benar-benar telah menghalalkanmu. Saat itu baru aku putuskan, haram bagiku memikirkan kamu.", lagi-lagi ia tutup kalimatnya dengan senyuman yang selalu menawan.

Aku mencoba berani menatapnya kali ini, sorot matanya tampak ia bersungguh-sungguh dengan kalimatnya. 

Kubalas senyuman Bagas, tanda kesepakatan.

***

Andai kamu tahu, Gas. Apa yang berkecamuk dalam batinku saat ini. Aku senang sekaligus takut.

Kenapa kita harus meletakkan perasaan kita pada kasta tertinggi di antara para manusia. Seperti guci keramik antik yang teramat kita cintai, kagumi dan takut sekali jika ia tergores atau rusak. Hingga, akhirnya kita justru takut menyentuhnya. Kita bingkai ia dengan kotak kaca dan hanya bisa merayakan sukacita dengan melihatnya. 

Apakah benar takdir kita hanya sebatas rasa? Perasaan yang terus dikirim Tuhan yang nanti akan jadi penawar luka-luka kita?

Sudahlah, kita serahkan saja pada buku-buku waktu kemana cerita ini sesungguhnya berlabuh.

Rahasia rasa, akankah ia bermetamorfosa?


Read More

Tabir Renjana

Selasa, 24 September 2019

Hujan rintik masih belum berhenti, aroma tanah basah melangit melangutkan jiwanya sore itu. Disudut matanya sinar tampak redup seperti gelap mendung hari itu. Bunga aneka rupa dan wangi menghias selasar rumah, yang tampak bagai taman warna-warni.

Berbagai ekspresi lalu lalang, ada yang duduk terdiam, matanya nanar menatap gentong yang konon berisi air tujuh sumber. Ada pula yang asyik berbincang, tertawa sambil bertepuk tangan hingga seluruh badannya berguncang.

Tampak pula disudut halaman itu, seorang 'Pranatacara' sedang mempersiapkan acara yang sebentar lagi akan digelar.

Mikrofon berulang kali ia ketuk, sembari sesekali beliau berdehem. Matanya menyelidik mencoba membaca situasi. Sesaat kemudian resmi acara dimulai, pembawa acara mempersilahkan semua mempersiapkan diri.

Calon pengantin sore itu menjalani prosesi siraman. Kain 'kemben' jarik warna hijau dikenakan, ronce melati menambah 'moncer' aura ayunya. Seorang lelaki paruh baya menatapnya sedari tadi sembari menyeka mata berulang kali. Napasnya ditarik panjang pendek, sangat jelas terdengar berat. Sesekali menunduk.

Terdengar pembawa acara mempersilahkan orang tua calon mempelai segera bersiap diri mengambil posisi. Lelaki itu pun beranjak menempatkan diri sesuai arahan tim acara. Sore itu serangkaian ritual adat memang harus dilewati. Para sesepuh keluarga tampak pula bersiap, satu per satu berdiri membentuk barisan.  mengguyurkan air dari gentong yang telah dicampur juga dengan bunga mawar. Ditutup dengan sungkeman sebelum berganti busana untuk acara midodareni.

***

"Kau, tahu Nak? Apa yang paling berat? Yaitu harus menyerahkanmu pada laki-laki yang tak benar-benar aku kenal."

"Kau  tahu apa yang paling mengkuatirkan? Mencemaskan  kebahagiaanmu tapi aku tak akan bisa banyak berbuat karena yang bertanggungjawab atas dirimu bukanlah aku lagi."

Itu pertahanan diri yang sulit.

Melihat kesedihanmu saat sesekali kau tersandung dan terluka dalam proses hidupmu yang baru tapi aku tak bisa lagi banyak berbuat. Itu luka terperih seumur hidupku.

Jika saja kau bisa ku jaga dalam lemari kaca, kusimpan untuk hanya bisa dilihat tanpa orang harus menyentuh dan melukaimu.

"Kamu dan adik-adikmu adalah separuh jiwaku. Hidup adalah tentang memilih, jadi pilihanmu menggapai bahagia tetap jadi akan selalu jadi prioritasku", tutur ayah terbata-bata ditengah isaknya.


Di sebelah ayah tertunduk ibu dengan tangan saling kuat berkait. Punggungnya tampak jelas dalam kesedihan yang sama.

Hening.

Mereka beradu tatapan saling menguatkan, meski dalam diam.

***

Calon pengantin perempuan berjalan setengah berjongkok menuju kedua orang tua terkasihnya. Ia sudah berganti kebaya sederhana, kerudung warna coklat susu sudah menghias mahkotanya.

Suasana haru mulai menguat saat ia mendekat, ia satukan tangannya didepan dada membungkuk dengan ketakziman.

Kesadarannya seketika bak proyektor yang tiba-tiba memutarkan film dokumenter tentang dirinya. Kata-kata pun menguap berganti derai air mata yang semakin deras. Hanya kata maaf, dan terima kasih. Tak sanggup lagi tegak kepalanya, ia tenggelamkan wajahnya dipangkuan sang ayah.

Pecahlah tangisanmereka, ayahnya mengusap pelan kepala anak perempuannya lalu berakhir dengan saling memeluk.

Ayah berbisik, "Besok pagi, putri ayah berpindah tanggung jawabnya. Bahagia sama pilihanmu, maka ayah pun akan selalu memilih bahagia melihat itu. Dijaga rumah tanggamu. Jadi pakaian yang selalu layak bagi satu sama lainnya," bisik ayah ditelinga putrinya.

Ia mengangguk sangat perlahan, setelah itu ia cium tangan ayahnya bergeser ke arah kanan dihadapan ibunda. Tak banyak kata dari sang ibu, mungkin tak ingin keharuan sore itu semakin larut. Segenap kekuatan ia kerahkan agar tak memecahkannya. Ia cium kening anak yang dilahirkannya dengan bertaruh nyawa.

Lekat dipandang amanah yang ia pinta segera hadirnya, ia ketuk pintu-pintu keheningan lewat doa-doa. Sebelum gemuruh itu datang, seketika ia dekap erat perhiasan hatinya bersama milyaran bahasa yang tak bisa diterjemahkan kata-kata.

***

Cerpen di atas sebenarnya merupakan tulisan lama. Sebuah kisah yang aku ikut sertakan dalam tantangan menulis beberapa bulan yang lalu. Ide cerita muncul saat kami keluarga besar berkumpul. Saat seperti itu papa dan mama selalu saja ada obrolan hangat yang kita pakai untuk berdebat. Ujungnya pasti beliau berdua mewariskan nasihat, padaku, suamiku, dan juga adik-adikku. Kami yang duduk lesehan selalu antusias dengan ritual itu. Meski kami tiga bersaudara ini sudah berkeluarga semua dan tinggal di luar kota. Rumah mungil dan kenangan yang ditabung orang  tua kami. Buat selalu rindu pulang.

Ya, pulang dalam arti yang sebenarnya. Tempat melepaskan penat, berbagi pelukan dan mengumpulkan lagi kekuatan.

Alhamdulillah tulisan yang sponsor  idenya dari orang tua tadi, akhirnya "diadopsi" masuk jadi salah satu kontributor diproyek buku antologi. Nggak pernah menyangka sama sekali jika lolos seleksi. Bulan lalu, buku antologi perdanaku akhirnya "dilahirkan" bersanding dengan tulisan-tulisan lain yang lebih luar biasa (oh ya masih bisa dipesan lho...eh malah iklan, maaf he he)


Masih jauh panggang dari api, begitu selalu aku meyakinkan diri ini. Banyak hal yang masih perlu diperbaiki dan dipelajari. Sudilah kiranya para pembaca yang berbudi, mau menemani proses ini.
Read More

9 Alasan Ayah Tidak Dekat dengan Anak

Senin, 23 September 2019

Setelah tulisan tentang "ayah agar pulang ke rumah" dan "dampak  ketiadaan peran ayah" beberapa waktu lalu, banyak yang menanyakan perihal apa  sih sebab ayah nggak bisa dekat anaknya sendiri?

Maka tulisan hari ini obrolannya kembali ke ayah lagi. Sebab rasanya kok nggak adil jika aku nggak berusaha sedikit memberi jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu.

Memang menjadi orang tua itu tidak mudah, tak ada sekolah yang secara khusus memberikan pelajaran untuk jadi orang tua yang baik. Ayah dan ibu yang baik.

Terdapat banyak kemungkinan yang menyebabkan ayah cepat memutuskan berbalik arah, alih-alih pasrah ia menyerah. Merasa tak sanggup mencoba lagi apalagi dekat dengan anak sebagaimana yang dilakukan oleh ibu. Padahal, jika saja mau terus memupuk semangat pantang menyerah untuk terus berinteraksi dengan anak, nggak kok sama sekali nggak ada yang sulit.


Yuk kenali 9 alasan yang membuat ayah merasa takut, ragu dan enggan dekat dengan anak :

1. Urusan istri

Ayah masih dirundung pikiran yang salah kaprah, mitos bahwa ibu yang paling tahu anaknya karena telah mengandung dan melahirkannya. Ibu yang seharusnya lebih dekat dengan anak, sebab anak pasti lebih nyaman dengan ibunya. 

Keyakinan ini secara tidak sadar membuat ayah akhirnya menjaga jarak dengan anak. Belum lagi seringkali ayah juga berpikir jika dekat dengan anak akan melemahkan posisinya sebagai pemimpin keluarga. Anak jadi berkurang rasa segan dan hormatnya. Takut jika maskulinitasnya berkurang karena "ikut campur" melakukan urusan perempuan (baca: ibu).

2. Anak lebih suka ibunya

Mungkin pernah saat ayah berusaha mengajak anak bermain atau bercanda dengan kepolosannya anak menjawab, "Nggak mau sama Ayah ah, enak sama Ibu saja. Ayah nggak asyik."

Lantas ayah jadi ngambek, buru-buru menyimpulkan bahwa anak lebih suka ibu.

Eiitss, tunggu dulu! Jangan terlalu cepat kabur. Coba introspeksi kembali, seberapa tulus hati Anda saat mengajaknya bermain. Kalau ayah raut mukanya kusut, nada bicara diseret ogah-ogahan. Kira-kira sikap anak akan bagaimana? Anak mampu "membaca" suasana hati dan ekspresi yang ayah bawa, lho.

Bisa jadi Ibu jauh lebih diterima karena tampak lebih antusias, apresiatif, dan menunjukkan perhatian penuh saat berinteraksi dengan anak. Cobalah berbesar hati dan berlatih lagi bagaimana menata perasaan kita sebelum menghadapi si buah hati.

3. Konflik dengan pasangan

Tak ada rumah tangga yang bebas riak gelombang ujian. Perbedaan pasti ada, karena memang suami istri adalah dua orang yang diasuh dan besarkan dari lingkungan yang tidak sama. Ayah dan ibu yang "belum selesai" dengan dirinya. Cara pandang berbeda tentang kepengasuhan anak, atau cara terbaik memberikan nilai-nilai dasar pada anak seringkali jadi pemicu perdebatan.

Ayah biasanya lebih memilih sikap pasif untuk menghindari konflik lebih lanjut. Lalu, membiarkan istrinya mengambil alih semua hal yang berhubungan dengan cara mendidik anak. Akhirnya ayah semakin menjauh.

Suami dan istri adalah tim. Bekerjasama adalah pilihan mutlak untuk membangun keluarga yang kokoh. Belajar berkomunikasi efektif dengan pasangan. Komunikasi yang sehat dalam rumah tangga terutama dalam pemecahan masalah akan ikut mengembang empati di antara pasangan. Jika orang tua bahagia, maka ini anak juga merasakan hal yang sama.

4. Nggak gampang

Ayah merasa cemas dan karena tanggung jawab jadi ayah itu berlangsung terus hingga anak jadi dewasa. Banyak hal harus dipikirkan dan diputuskan dengan bijaksana oleh ayah yang bisa kemungkinan akan berdampak pada hidup anaknya kelak. Hampir semua ayah pada akhirnya bilang, "Ternyata jadi ayah itu nggak gampang, ya. Pusing."

Bukan rahasia jika banyak calon ayah yang kerap kali berpikir tentang betapa asyiknya jika ia nanti sudah memiliki putra atau putri. Membayangkan bermain, bercanda dan sebagainya. Namun, terlupa ada kejutan-kejutan yang luput dari bayangan. Satu hal yang pasti jadi ayah memang tidak gampang, karena mustahil tiba-tiba sifat kebapakan muncul. Tapi, semua bisa dipelajari.

5. Tidak mencoba dari awal

Ayah terlambat mendekat. Alasan tidak ingin dituduh mengintervensi kedekatan ibu dan anak saat masih bayi. Ditambah lagi perasaan takut memegang tubuh mungil bayi membuatnya takut terlibat mengurus anak sejak awal.

Padahal, semakin awal mendekat dengan anak akan semakin terasa kuat ikatannya. Sejak dalam kandungan seharusnya ayah sudah belajar berinteraksi dengan anak. Meletakkan tangan pada perut ibu dan berkomunikasi dengan anak. Menempelkan telinga alih-alih berbicara dengan janin yang semakin hari semakin menggunung dalam perut ibunda.

Ketika anak sudah dilahirkan ibu juga jangan sungkan mendekatkan bayi pada ayahnya. Minta dan libatkan saat harus mengganti popok, memakaikan baju, menyendawakan bayi, ikut menenangkan bayi yang menangis.

Saling belajar agar bersama-sama terampil mengasuh anak. Semakin banyak waktu yang dihabiskan ayah untuk membangun kedekatan akan semakin menguntungkan.

Sebab, saat nanti hidupnya bergejolak dan anak membutuhkan nasihat, ayah akan jadi orang pertama yang dipercaya dan dicari anak untuk berkeluh kesah.

6. Menganggap anak beban

Anak dipandang menyenangkan jika ia tidak banyak ulah atau dianggap "pengganggu" saat beberapa kesenangan ayah jadi terhambat karenanya.

Misalnya, ingin sesekali kencan nonton dengan istri tapi kemudian ditolak karena alasan kasihan anak-anak kalau ditinggal di rumah. Atau ayah gagal mengikuti gathering klub sepedanya di luar kota, karena harus menghadiri acara anak di sekolah.

Sekali lagi menjadi ayah memang tidak mudah, ada banyak konsekuensi yang timbul jadi bersiaplah untuk terus mengendalikan ego demi kesenangan pribadi. Meski bisa dimengerti jika sesekali Ayah juga ibu butuh rekreasi agar bisa rileks menghadapi kenyataan hidup dari hari ke hari.

7. Tekanan ekonomi

Tiap keluarga butuh materi untuk menjalankan roda kehidupan sehari-hari. Kebutuhan silih berganti dan kadang sulit sekali diprediksi. Hal ini membutuhkan kekuatan finansial yang selalu diupayakan oleh ayah untuk memastikan keluarganya tercukupi. Ini membawa dampak berkurangnya waktu ayah dengan anak-anaknya.

Akan tetapi berpikirlah lebih realistis, temukan jalan tengahnya agar antara kepentingan anak kekuatan finansial tidak tumbukan.

Sebab, anak-anak selalu membutuhkan kehadiran ayahnya dan berhak mendapatkan kasih sayang, pelukan, sentuhan, dorongan semangat dan nilai-nilai lain yang bisa dipelajari dari ayahnya.

8. Merasa nggak "nyambung"

Merasa tidak mampu memahami bahasa anak, menganggap anak menggunakan bahasa-bahasa yang ayah anggap aneh dan sulit dipahami. Apalagi ketika anak sedang belajar bicara, hingga ayah berpikir susah "nyambung" jika berkomunikasi dengan anak.

9. Ayah harus lebih dekat dengan anak laki-laki

Sekali lagi hati-hati dengan jebakan mitos berpikir, bahwa ayah harus dekat anak laki-laki. Ayah harus dekat dengan semua anaknya, baik laki-laki ataupun perempuan.

Jangan takut jika ayah akan kehilangan sikap tegas dan "kelelakiannya" jika dekat dengan putrinya. Bahkan jika ayah dekat dengan putrinya ini akan lebih banyak menguntungkan dari sisi psikologisnya, ia akan mampu mengembangkan empati, kepekaan dan hubungan interpersonal dengan lebih baik.

Ayah, tidak perlu meniru Ibu saat berhadapan dengan putrinya. Perbedaan gender justru malah menambah wawasan bagi gadis kecil yang sedang bertumbuh kepribadiannya. Kelak akan berguna saat ia menjalin hubungan dengan lawan jenisnya. Dekat dengan ayahnya akan membuat ia tumbuh jadi wanita yang tangguh, memaknai sifat kelembutan dari sisi yang berlawanan, mampu mengelola perasaan dengan baik, belajar menghitung langkahnya sebelum mengambil keputusan karena ia mempertimbangkan perasaan dan logikanya.

Sosok pribadi ayah yang baik, tidak datang dengan tiba-tiba. Semua melalui serangkaian proses belajar terus menerus. Tidak selalu lancar, tidak ada jaminan kemudahan, dan seringkali dipertemukan dengan kegagalan.

Nah, itulah sembilan alasan yang biasanya menjadi kendala ayah tidak bisa dekat dengan anak. Bisa jadi ada alasan lain yang belum dituliskan di sini. Buat yang memiliki masukan tambahan, aku tunggu yang jejaknya dikolom komentar. 
Read More

Fiksi, Non Fiksi atau Faksi? Aku Memilih Menulis

Minggu, 22 September 2019

Keajaiban Diam

Kala Jiwa Butuh Tandu
Ketika dersik meninggalkan gurat sembilu
Saat sepi tiba, imajiku bernyanyi
Demi sebuah janji

Sunyi lantang berteriak
Buat telinga pekak
Nyali mereka terserak
Tapi hendak kemana mengelak

Suara hati terus saja berorasi
Mengibarkan panji-panji
Disatu titik kulminasi pekikan terhenti
Merdekalah dan Jangan Mati!
(Semarang, 23 Muharram 1441 H)

Ku letakkan penaku. Tak mampu lagi aku merangkai kata indah, untuk menyelamatkan kemarahan ini. Rabb-ku ijinkan ruhku berbagi kelelahan. Ragaku terkadang ingin tirah. Kini kekuatanku hanya diam. Satu-satunya yang kudengar hanya suara sedu sedan. Pedih ini mungkin tak sama. Sebab bukan kehilangan yang kutangisi, namun penyesalan karena puncak kemarahan yang serasa tak bertuan ini terus bergentayangan menjadi beban. Matahari dan senja sudah tak lagi berbalas senyuman, aku ditinggalkan bersama malam. Kelam. 

Jiwaku mengendap-endap  dalam diam. Kelindan senyuman. Seruan manja panggilan saling bersahutan dalam angan. Aku makin tenggelam ke dalam isakan. Kemarahan merisak jiwaku. Entah disudut mana aku termangu. Udara membeku. Langit membatu. Merapulah aku bersama semesta yang membisu.

“Bun...bun...”, panggil Eka lirih disudut ruang sempit itu.
“Iya, Nak. Kenapa? Sebentar lagi ada jadwal konseling lho. Kita belum buat janji, kan? Atau Bu Dewi lupa tulis ya?”, sahutku sambil tersenyum.
“Nggak, Bun. Enggak janjian...aku cuma mau disini aja lihat Ibun ngomong. Anggap aja aku nggak ada hehehe..Nggak apa-apa ya?”, selorohnya manja.

Aku hanya mengangguk, demi melihat binar mata bening yang selalu penuh harap dan selalu sigap menungguku. Hanya sebuah laku sederhana, secuil pengakuan yang ia harapkan.

***
Aku tahu ini bukan salahku. Tak ada kentalnya darah yang mengikat kami. Tak mengapa jika saja aku memilih tak peduli. Tapi sisi batinku tak mampu memungkiri jika ada sesak tanya salahkah jika aku kecewa? Kecewa saat gagal meminjam “tangan-Mu” untuk melebarkan jangkauan pelukanku. Merengkuh dalam dekapanku. Jiwa-jiwa kosong yang menyusuri jalan sunyi yang kadang hanya mengenal caci maki hingga hilang nyali percaya diri.

Tuhan ijinkan aku memilih percaya pada keajaiban ‘diam’. Meramu logika, perasaan dan iman bersamaan.

Kadang diam adalah seribu bahasa yang tak pernah kita ketahui ujung maknanya. Sebab kembali ditangan nurani yang akan memilih frekuensi. Mengantarkan harap ke puncak tertinggi.

Diamku ini terus kuselimuti harap. Aku masih percaya , “diam”ku tak akan pernah mati. Seperti kisah penantian Nabi Zakaria hingga dipertemukan dengan Nabi Yahya, Engkau buktikan ajaibnya diam. Tiga hari beliau tak bisa bertutur kata, hanya ada dzikir dan doa.

Sebab, puncak tertinggi dari rasa peduli dan kasih sayang seseorang adalah ketika diam sudah menjadi hilir pilihan. Hanya akan ada ribuan asa dalam doa-doa yang senantiasa diterbangkan sebagai penyambung menuju pangkuan-Nya.

***

Tulisan di atas terinpirasi dan aku dedikasikan untuk almarhum muridku yang telah mendahuluiku berpulang. Kejadian di atas terinsiprasi oleh kisah nyata yang beberapa waktu lalu aku alami. Lalu apakah tulisanku itu adalah non fiksi, aku bisa bilang tidak murni. Sebab nama dan beberapa situasi aku tambahkan sesuai imajinasiku sendiri. Merunut tulisan-tulisan yang telah aku buat memang banyak sekali aku menulis dengan model begini. Berbasis fakta namun beberapa informasi aku sisipi dengan maksud dan tujuan sebagai privasi ataupun alasan lainnya seperti kalau kita masak kasihlah penyedap rasa sedikit, supaya lebih gurih dan renyah.



FIKSI, NON FIKSI ATAU FAKSI?

Jika ditanya lebih nyaman yang mana apakah menulis fiksi atau non-fiksi? Aku bisa jawab kecenderungannya memang non-fiksi, seperti artikel dan semacamnya. Tapi jujur aku lebih nyaman dan menikmati ketika aku menulis dengan genre faksi alias fakta fiksi seperti contoh cerita yang aku buat di atas. Impian yang terbayangkan memang suatu saat nanti aku akan membuat sebuah novel inspiratif atau buku psikologi self improvement, parenting atau semacamnya. Sebuah kisah klasik yang bisa menjadi hiburan sekaligus tuntunan.

Faksi adalah semacam hasil perkawinan silang antara fiksi dan non fiksi. Artinya tulisan yang dibuat tidak bisa sepenuhnya disebut fiksi yang berbasis imajinasi, namun tidak pula bisa murni disebut nonfiksi. Faksi atau fakta fiksi hadir diantaranya. Fakta yang dikisahkan seperti tulisan bergenre fiksi. Kalau di dunia kepenulisan suami sebagai jurnalis saya sering mendengar istilah feature. Isi tulisannya semacam tulisan khas namun “berbumbu” sebagaimana ciri tulisan faksi.

Kalau dulu kita belajar bahasa Indonesia di bab tulis menulis, kita mengenal genre utama atau induk, yaitu argumentasi, deskripsi, eksposisi, narasi dan persuasi. Dikembangkan lagi menjadi lebih luas jadi genre fiksi dan non-fiksi. Tulisan fiksi melahirkan cabangnya yakni puisi dan prosa. Prosa menurunkan lagi cabang seperti cerpen, novel, dan drama.

Tulisan nonfiksi berkembang ranting akademis, jurnalistik, dan bisnis. Lalu ranting-ranting ini akan melahirkan lagi cabang-cabang baru yang jumlahnya tak sedikit. Misalnya dalam tulisan non fiksi ilmiah akademis menurunkan jenis tulisan seperti  modul, diktat, handout, buku pegangan sebagai bahan ajar.

BERPROSES DAN BERSENANG-SENANGLAH

Apapun pilihannya fiksi, non fiksi ataupun faksi, menulis itu adalah proses yang terus tumbuh. Menulislah dengan penuh kesenangan, mana yang lebih membuatmu nyaman mendefinisikan dirimu sebagai seseorang yang bercengkerama dengan aksara.Tidak ada kasta mana yang akan lebih jaya diantara ketiganya.

Menentukan genre tulisan memang penting, namun lebih penting daripada teknik adalah tetap menulis. Menjaga konsistensi proses menulis itu yang utama, ketimbang menghabiskan waktu galau mau pilih "jurusan" apa. Terus baca, baca dan tulis. Ini akan membuat kita terlatih dan kaya amunisi sebelum kita memang ingin mengambil spesialisasi.

Apapun pilihannya tetaplah menulis dan terus berkisah. Tak hanya akan menghilangkan gundah, siapa sangka jika entah diujung mana ada satu jiwa yang membaca tulisan kita merasa cerah tergugah. Bukankah ini indah dan menambah muruah?






Read More

Come On, Time To Move On!

Sabtu, 21 September 2019

Move On
Come On, Time To Move On 
"Please, kamu belum bisa move on?"
"Ayo dong, nunggu apa kapan kamu move on?"
"Susah banget mau move on, nggak ngerti mau apa lagi?"

Sering dengar kalimat kayak gitu? Mungkin sih jawabannya bakalan banyak yang bilang sering. Kasih nasihat ke teman atau malah justru jadi yang sering baper karena masalah move on?

Apa sih Move On?

Move on adalah serapan dari bahasa Inggris yang berarti pindah, namun entah darimana awalnya kata ini kemudian dikaitkan dengan makna yang berbeda. Contohnya, pindah kelain hati, pindah rumah baru, lingkungan baru, sekolah baru atau melupakan kenangan buruk dan menyedihkan di masa silam. Bisa berbeda-beda tergantung sudut pandang orang yang mengatakannya.

Biasanya yang mengasumsikan kata move on ini terhubung dengan masalah percintaan adalah kalangan muda-mudi, yaitu kelompok usia remaja mulai dari remaja awal hingga akhir atau kisaran 13 hingga 22 tahun. Apa sebabnya? Betul sekali karena usia itu kepribadiannya masih sangat impulsif, meledak-ledak, mengalami masa-masa “badai” emosional.

Paling sering dibahas waktu putus cinta lalu belum bisa melupakan mantan. Si teman curhat akan bilang, “Sudahlah bray, move on! Nggak perlu sedih terus, nggak capek apa?”. Kasus lainnya, misal ada anak pindah sekolah atau mahasiswa yang belum bisa beradaptasi dengan lingkungan barunya. Kata move on juga sering dilekatkan pada situasi mereka.

Apapun maknanya move on, terpenting adalah kenapa kita harus move dan bagaimana caranya?

Kenapa harus move on?

Ada banyak cara kita bisa mengatasi semua permasalahan hidup, dan memang terkadang nggak mudah melakukan move on. Ada yang sekejap, ada pula yang butuh waktu lama. 
Namun, sesungguhnya dorongan untuk move on itu berasal dari dalam diri kita sendiri. Sebab kitalah aktor pemeran utama dalam kehidupan kita. 

Sebesar apapun usaha orang–orang terdekat kita menyemangati kita pasti akan bergeming jika kita tak memiliki upaya yang sama besarnya. Begitu juga kenangan buruk yang terlanjur terekam hidup bersama kita tak mungkin serta merta kita hapus begitu saja. Kita perlu waktu, perlu jeda dan merenungkan kembali dan membuat pengakuan paling jujur pada diri sendiri. Sejauh apa kita terdampak kenangan buruk itu. 
Tak ada cara yang paling ampuh selain terus mengelola keyakinan diri kita untuk selalu berpikir positif  bahwa tiap kejadian yang datang kepada kita selalu ada hikmah pelajaran yang bisa kita ambil sarinya.

Bagaimanakah cara kita move on?

1.  Kosongkan Wadah Kesedihan.

Habiskan kesedihanmu. Minggirlah dari keramaian, menyendiri. Berkontemplasi. Lakukan introspeksi hingga sudut terdalam dalam diri. Me Time. Kalau ingin menangis ya menangislah. Nikmati rasa sedih dan luka itu dengan kapasitas maksimum. Jangan ditahan! Jika sulit melupakan, jangan berusaha melupakan. Sebab jejak upayamu justru akan membuatmu makin terluka. Perlu diingat selama masa “semedi” ini tetap makan minum ya, karena kita tetap butuh energi. Berdoa dan tetaplah beribadah juga jangan lupa mandi!

2.  Ikhlas dan Berusaha Menerima Kenyataan. 

Setelah habis-habisan kamu kosongkan wadah kesedihan. Pasrahkan pada Yang Maha Kuasa. Semua berjalan karena kehendak dan ijin-Nya. Menyalahkan diri atau orang lain bisa saja kita lakukan, tapi itu bukan jawaban.
Hurts
Try To Let Go

3.  Membuka Diri dengan Hal-hal Baru. 

Manusia adalah makhluk sosial nggak mungkin hidup sendiri. Oleh karena itu saat bersemedi, tetapkan batas waktunya. Jangan terlalu lama. Tiga hari hingga maksimum satu minggu kira cukup untuk merefleksikan semua kisah sedih itu. Berkumpul bersama teman, orang-orang baru dengan suasana baru yang lebih bisa mendorong kita jadi lebih positif.

4.  Curahkan Perasaan. 

Ceritakan permasalahanmu kepada teman yang bisa kamu percaya. Tidak perlu semua kamu jabarkan. Cukuplah garis besarnya yang terpenting setidaknya beban yang dirasakan akan berkurang saat kamu mampu berbagi kisah. Siapa tahu dari sana kita dapatkan jalan keluar dari semua kegundahan hati. Tetap berhati-hat memilih teman dan atau media untuk curhat. Salah pilih malah tambah masalah.

5.  Enjoy Our Life. 

Ikuti alur dan ritme hidup. Hidup ini singkat, tak perlu berlama-lama meratapi kenangan sedih itu. Yakinlah bahwa kita terlalu berharga jika terpuruk lebih lama. Alihkan semua kesedihan itu pada hal yang bermanfaat. Sibukkan diri untuk melakukan kegiatan baik. Sebab pasti energi positif saat menebar kebaikan itu akan terasa kedalam diri.

 Nggak percaya? Coba saja buktikan sendiri, daripada waktu diputar-putar dalam kenangan bersama "mantan" berujung kepedihan kan? Mending melipatgandakan kebahagiaan.









Read More