9 Alasan Ayah Tidak Dekat dengan Anak

Senin, 23 September 2019

Setelah tulisan tentang "ayah agar pulang ke rumah" dan "dampak  ketiadaan peran ayah" beberapa waktu lalu, banyak yang menanyakan perihal apa  sih sebab ayah nggak bisa dekat anaknya sendiri?

Maka tulisan hari ini obrolannya kembali ke ayah lagi. Sebab rasanya kok nggak adil jika aku nggak berusaha sedikit memberi jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu.

Memang menjadi orang tua itu tidak mudah, tak ada sekolah yang secara khusus memberikan pelajaran untuk jadi orang tua yang baik. Ayah dan ibu yang baik.

Terdapat banyak kemungkinan yang menyebabkan ayah cepat memutuskan berbalik arah, alih-alih pasrah ia menyerah. Merasa tak sanggup mencoba lagi apalagi dekat dengan anak sebagaimana yang dilakukan oleh ibu. Padahal, jika saja mau terus memupuk semangat pantang menyerah untuk terus berinteraksi dengan anak, nggak kok sama sekali nggak ada yang sulit.


Yuk kenali 9 alasan yang membuat ayah merasa takut, ragu dan enggan dekat dengan anak :

1. Urusan istri

Ayah masih dirundung pikiran yang salah kaprah, mitos bahwa ibu yang paling tahu anaknya karena telah mengandung dan melahirkannya. Ibu yang seharusnya lebih dekat dengan anak, sebab anak pasti lebih nyaman dengan ibunya. 

Keyakinan ini secara tidak sadar membuat ayah akhirnya menjaga jarak dengan anak. Belum lagi seringkali ayah juga berpikir jika dekat dengan anak akan melemahkan posisinya sebagai pemimpin keluarga. Anak jadi berkurang rasa segan dan hormatnya. Takut jika maskulinitasnya berkurang karena "ikut campur" melakukan urusan perempuan (baca: ibu).

2. Anak lebih suka ibunya

Mungkin pernah saat ayah berusaha mengajak anak bermain atau bercanda dengan kepolosannya anak menjawab, "Nggak mau sama Ayah ah, enak sama Ibu saja. Ayah nggak asyik."

Lantas ayah jadi ngambek, buru-buru menyimpulkan bahwa anak lebih suka ibu.

Eiitss, tunggu dulu! Jangan terlalu cepat kabur. Coba introspeksi kembali, seberapa tulus hati Anda saat mengajaknya bermain. Kalau ayah raut mukanya kusut, nada bicara diseret ogah-ogahan. Kira-kira sikap anak akan bagaimana? Anak mampu "membaca" suasana hati dan ekspresi yang ayah bawa, lho.

Bisa jadi Ibu jauh lebih diterima karena tampak lebih antusias, apresiatif, dan menunjukkan perhatian penuh saat berinteraksi dengan anak. Cobalah berbesar hati dan berlatih lagi bagaimana menata perasaan kita sebelum menghadapi si buah hati.

3. Konflik dengan pasangan

Tak ada rumah tangga yang bebas riak gelombang ujian. Perbedaan pasti ada, karena memang suami istri adalah dua orang yang diasuh dan besarkan dari lingkungan yang tidak sama. Ayah dan ibu yang "belum selesai" dengan dirinya. Cara pandang berbeda tentang kepengasuhan anak, atau cara terbaik memberikan nilai-nilai dasar pada anak seringkali jadi pemicu perdebatan.

Ayah biasanya lebih memilih sikap pasif untuk menghindari konflik lebih lanjut. Lalu, membiarkan istrinya mengambil alih semua hal yang berhubungan dengan cara mendidik anak. Akhirnya ayah semakin menjauh.

Suami dan istri adalah tim. Bekerjasama adalah pilihan mutlak untuk membangun keluarga yang kokoh. Belajar berkomunikasi efektif dengan pasangan. Komunikasi yang sehat dalam rumah tangga terutama dalam pemecahan masalah akan ikut mengembang empati di antara pasangan. Jika orang tua bahagia, maka ini anak juga merasakan hal yang sama.

4. Nggak gampang

Ayah merasa cemas dan karena tanggung jawab jadi ayah itu berlangsung terus hingga anak jadi dewasa. Banyak hal harus dipikirkan dan diputuskan dengan bijaksana oleh ayah yang bisa kemungkinan akan berdampak pada hidup anaknya kelak. Hampir semua ayah pada akhirnya bilang, "Ternyata jadi ayah itu nggak gampang, ya. Pusing."

Bukan rahasia jika banyak calon ayah yang kerap kali berpikir tentang betapa asyiknya jika ia nanti sudah memiliki putra atau putri. Membayangkan bermain, bercanda dan sebagainya. Namun, terlupa ada kejutan-kejutan yang luput dari bayangan. Satu hal yang pasti jadi ayah memang tidak gampang, karena mustahil tiba-tiba sifat kebapakan muncul. Tapi, semua bisa dipelajari.

5. Tidak mencoba dari awal

Ayah terlambat mendekat. Alasan tidak ingin dituduh mengintervensi kedekatan ibu dan anak saat masih bayi. Ditambah lagi perasaan takut memegang tubuh mungil bayi membuatnya takut terlibat mengurus anak sejak awal.

Padahal, semakin awal mendekat dengan anak akan semakin terasa kuat ikatannya. Sejak dalam kandungan seharusnya ayah sudah belajar berinteraksi dengan anak. Meletakkan tangan pada perut ibu dan berkomunikasi dengan anak. Menempelkan telinga alih-alih berbicara dengan janin yang semakin hari semakin menggunung dalam perut ibunda.

Ketika anak sudah dilahirkan ibu juga jangan sungkan mendekatkan bayi pada ayahnya. Minta dan libatkan saat harus mengganti popok, memakaikan baju, menyendawakan bayi, ikut menenangkan bayi yang menangis.

Saling belajar agar bersama-sama terampil mengasuh anak. Semakin banyak waktu yang dihabiskan ayah untuk membangun kedekatan akan semakin menguntungkan.

Sebab, saat nanti hidupnya bergejolak dan anak membutuhkan nasihat, ayah akan jadi orang pertama yang dipercaya dan dicari anak untuk berkeluh kesah.

6. Menganggap anak beban

Anak dipandang menyenangkan jika ia tidak banyak ulah atau dianggap "pengganggu" saat beberapa kesenangan ayah jadi terhambat karenanya.

Misalnya, ingin sesekali kencan nonton dengan istri tapi kemudian ditolak karena alasan kasihan anak-anak kalau ditinggal di rumah. Atau ayah gagal mengikuti gathering klub sepedanya di luar kota, karena harus menghadiri acara anak di sekolah.

Sekali lagi menjadi ayah memang tidak mudah, ada banyak konsekuensi yang timbul jadi bersiaplah untuk terus mengendalikan ego demi kesenangan pribadi. Meski bisa dimengerti jika sesekali Ayah juga ibu butuh rekreasi agar bisa rileks menghadapi kenyataan hidup dari hari ke hari.

7. Tekanan ekonomi

Tiap keluarga butuh materi untuk menjalankan roda kehidupan sehari-hari. Kebutuhan silih berganti dan kadang sulit sekali diprediksi. Hal ini membutuhkan kekuatan finansial yang selalu diupayakan oleh ayah untuk memastikan keluarganya tercukupi. Ini membawa dampak berkurangnya waktu ayah dengan anak-anaknya.

Akan tetapi berpikirlah lebih realistis, temukan jalan tengahnya agar antara kepentingan anak kekuatan finansial tidak tumbukan.

Sebab, anak-anak selalu membutuhkan kehadiran ayahnya dan berhak mendapatkan kasih sayang, pelukan, sentuhan, dorongan semangat dan nilai-nilai lain yang bisa dipelajari dari ayahnya.

8. Merasa nggak "nyambung"

Merasa tidak mampu memahami bahasa anak, menganggap anak menggunakan bahasa-bahasa yang ayah anggap aneh dan sulit dipahami. Apalagi ketika anak sedang belajar bicara, hingga ayah berpikir susah "nyambung" jika berkomunikasi dengan anak.

9. Ayah harus lebih dekat dengan anak laki-laki

Sekali lagi hati-hati dengan jebakan mitos berpikir, bahwa ayah harus dekat anak laki-laki. Ayah harus dekat dengan semua anaknya, baik laki-laki ataupun perempuan.

Jangan takut jika ayah akan kehilangan sikap tegas dan "kelelakiannya" jika dekat dengan putrinya. Bahkan jika ayah dekat dengan putrinya ini akan lebih banyak menguntungkan dari sisi psikologisnya, ia akan mampu mengembangkan empati, kepekaan dan hubungan interpersonal dengan lebih baik.

Ayah, tidak perlu meniru Ibu saat berhadapan dengan putrinya. Perbedaan gender justru malah menambah wawasan bagi gadis kecil yang sedang bertumbuh kepribadiannya. Kelak akan berguna saat ia menjalin hubungan dengan lawan jenisnya. Dekat dengan ayahnya akan membuat ia tumbuh jadi wanita yang tangguh, memaknai sifat kelembutan dari sisi yang berlawanan, mampu mengelola perasaan dengan baik, belajar menghitung langkahnya sebelum mengambil keputusan karena ia mempertimbangkan perasaan dan logikanya.

Sosok pribadi ayah yang baik, tidak datang dengan tiba-tiba. Semua melalui serangkaian proses belajar terus menerus. Tidak selalu lancar, tidak ada jaminan kemudahan, dan seringkali dipertemukan dengan kegagalan.

Nah, itulah sembilan alasan yang biasanya menjadi kendala ayah tidak bisa dekat dengan anak. Bisa jadi ada alasan lain yang belum dituliskan di sini. Buat yang memiliki masukan tambahan, aku tunggu yang jejaknya dikolom komentar. 

5 komentar

  1. Betul, suami-istri merupakan tim, yang harus sama-sama menjaga keutuhan keluarga. Termasuk pengasuhan anak.

    BalasHapus
  2. Yee dapat ilmu yang bermanfaat. Terima kasii, terutama untuk calon para ayah dan ayah

    BalasHapus
  3. Aku Lebih dekat ke ayahku daripada ibuku Kak 😁😉😉

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkunjung. Tiada kesan tanpa kata dan saran darimu :)



Salam kenal,


Dee.Irum