Tabir Renjana

Selasa, 24 September 2019

Hujan rintik masih belum berhenti, aroma tanah basah melangit melangutkan jiwanya sore itu. Disudut matanya sinar tampak redup seperti gelap mendung hari itu. Bunga aneka rupa dan wangi menghias selasar rumah, yang tampak bagai taman warna-warni.

Berbagai ekspresi lalu lalang, ada yang duduk terdiam, matanya nanar menatap gentong yang konon berisi air tujuh sumber. Ada pula yang asyik berbincang, tertawa sambil bertepuk tangan hingga seluruh badannya berguncang.

Tampak pula disudut halaman itu, seorang 'Pranatacara' sedang mempersiapkan acara yang sebentar lagi akan digelar.

Mikrofon berulang kali ia ketuk, sembari sesekali beliau berdehem. Matanya menyelidik mencoba membaca situasi. Sesaat kemudian resmi acara dimulai, pembawa acara mempersilahkan semua mempersiapkan diri.

Calon pengantin sore itu menjalani prosesi siraman. Kain 'kemben' jarik warna hijau dikenakan, ronce melati menambah 'moncer' aura ayunya. Seorang lelaki paruh baya menatapnya sedari tadi sembari menyeka mata berulang kali. Napasnya ditarik panjang pendek, sangat jelas terdengar berat. Sesekali menunduk.

Terdengar pembawa acara mempersilahkan orang tua calon mempelai segera bersiap diri mengambil posisi. Lelaki itu pun beranjak menempatkan diri sesuai arahan tim acara. Sore itu serangkaian ritual adat memang harus dilewati. Para sesepuh keluarga tampak pula bersiap, satu per satu berdiri membentuk barisan.  mengguyurkan air dari gentong yang telah dicampur juga dengan bunga mawar. Ditutup dengan sungkeman sebelum berganti busana untuk acara midodareni.

***

"Kau, tahu Nak? Apa yang paling berat? Yaitu harus menyerahkanmu pada laki-laki yang tak benar-benar aku kenal."

"Kau  tahu apa yang paling mengkuatirkan? Mencemaskan  kebahagiaanmu tapi aku tak akan bisa banyak berbuat karena yang bertanggungjawab atas dirimu bukanlah aku lagi."

Itu pertahanan diri yang sulit.

Melihat kesedihanmu saat sesekali kau tersandung dan terluka dalam proses hidupmu yang baru tapi aku tak bisa lagi banyak berbuat. Itu luka terperih seumur hidupku.

Jika saja kau bisa ku jaga dalam lemari kaca, kusimpan untuk hanya bisa dilihat tanpa orang harus menyentuh dan melukaimu.

"Kamu dan adik-adikmu adalah separuh jiwaku. Hidup adalah tentang memilih, jadi pilihanmu menggapai bahagia tetap jadi akan selalu jadi prioritasku", tutur ayah terbata-bata ditengah isaknya.


Di sebelah ayah tertunduk ibu dengan tangan saling kuat berkait. Punggungnya tampak jelas dalam kesedihan yang sama.

Hening.

Mereka beradu tatapan saling menguatkan, meski dalam diam.

***

Calon pengantin perempuan berjalan setengah berjongkok menuju kedua orang tua terkasihnya. Ia sudah berganti kebaya sederhana, kerudung warna coklat susu sudah menghias mahkotanya.

Suasana haru mulai menguat saat ia mendekat, ia satukan tangannya didepan dada membungkuk dengan ketakziman.

Kesadarannya seketika bak proyektor yang tiba-tiba memutarkan film dokumenter tentang dirinya. Kata-kata pun menguap berganti derai air mata yang semakin deras. Hanya kata maaf, dan terima kasih. Tak sanggup lagi tegak kepalanya, ia tenggelamkan wajahnya dipangkuan sang ayah.

Pecahlah tangisanmereka, ayahnya mengusap pelan kepala anak perempuannya lalu berakhir dengan saling memeluk.

Ayah berbisik, "Besok pagi, putri ayah berpindah tanggung jawabnya. Bahagia sama pilihanmu, maka ayah pun akan selalu memilih bahagia melihat itu. Dijaga rumah tanggamu. Jadi pakaian yang selalu layak bagi satu sama lainnya," bisik ayah ditelinga putrinya.

Ia mengangguk sangat perlahan, setelah itu ia cium tangan ayahnya bergeser ke arah kanan dihadapan ibunda. Tak banyak kata dari sang ibu, mungkin tak ingin keharuan sore itu semakin larut. Segenap kekuatan ia kerahkan agar tak memecahkannya. Ia cium kening anak yang dilahirkannya dengan bertaruh nyawa.

Lekat dipandang amanah yang ia pinta segera hadirnya, ia ketuk pintu-pintu keheningan lewat doa-doa. Sebelum gemuruh itu datang, seketika ia dekap erat perhiasan hatinya bersama milyaran bahasa yang tak bisa diterjemahkan kata-kata.

***

Cerpen di atas sebenarnya merupakan tulisan lama. Sebuah kisah yang aku ikut sertakan dalam tantangan menulis beberapa bulan yang lalu. Ide cerita muncul saat kami keluarga besar berkumpul. Saat seperti itu papa dan mama selalu saja ada obrolan hangat yang kita pakai untuk berdebat. Ujungnya pasti beliau berdua mewariskan nasihat, padaku, suamiku, dan juga adik-adikku. Kami yang duduk lesehan selalu antusias dengan ritual itu. Meski kami tiga bersaudara ini sudah berkeluarga semua dan tinggal di luar kota. Rumah mungil dan kenangan yang ditabung orang  tua kami. Buat selalu rindu pulang.

Ya, pulang dalam arti yang sebenarnya. Tempat melepaskan penat, berbagi pelukan dan mengumpulkan lagi kekuatan.

Alhamdulillah tulisan yang sponsor  idenya dari orang tua tadi, akhirnya "diadopsi" masuk jadi salah satu kontributor diproyek buku antologi. Nggak pernah menyangka sama sekali jika lolos seleksi. Bulan lalu, buku antologi perdanaku akhirnya "dilahirkan" bersanding dengan tulisan-tulisan lain yang lebih luar biasa (oh ya masih bisa dipesan lho...eh malah iklan, maaf he he)


Masih jauh panggang dari api, begitu selalu aku meyakinkan diri ini. Banyak hal yang masih perlu diperbaiki dan dipelajari. Sudilah kiranya para pembaca yang berbudi, mau menemani proses ini.

14 komentar

  1. Aku baca ceritanya jadi terharu :'), mungkin kalau aku nikah ayahku sedih kayak gitu kali ya? Hehehe lanjutkn kaak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tiap ayah mungkin begitu nano-nano rasanya hehe

      Hapus
  2. Kok aku nangis yaaa, pas dialog ayah diakhir cerita.. hihi..

    Dari awal.baca aku udah suka diksinya, kak.. keren

    Selamat untuk prestasinya,, salam hangat untuk keluarga💐

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makaciiih kakak sayang, salam hangat dan peluk virtual dari kami ya ^_^

      Hapus
  3. Ceritanya seperti membawaku ke sana.mantaap👍

    BalasHapus
  4. wah hari ini diajak masuk ke dalam isi kepala seorang ayah pengantin wanita :')

    BalasHapus
  5. Kata-kata yang diucapkan sang ayah, sangat menyentuh. Nice, Kak .

    BalasHapus
  6. Perlu ini dibaca sama calon Bpk" biar faham haha

    BalasHapus
  7. Semoga bisa menelurkan karya2 selanjutnya...😍

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkunjung. Tiada kesan tanpa kata dan saran darimu :)



Salam kenal,


Dee.Irum