Review : Bumi Manusia Bukan Film Cinta Biasa

Jumat, 20 September 2019

Sejak keluar dari pintu teater lepas menonton film Bumi Manusia bersama dua adinda kesayanganku, otak rasanya susah sekali move on. Kata-kata berlompatan tak karuan ingin ditangkap jadi sebuah tulisan. Alhasil sampai di rumah, kucoba coret sana sini menumpahkan semua riang gelisah hati.  Sebelum film ini tayang memang sudah kasak-kusuk dengan diajeng Ririt harus diagendakan nonton dua film Hanung Bramantyo, Bumi Manusia dan Perburuan. Sedihnya, entah kenapa meski tayang dibioskop kesayangan dalam waktu yang bersamaan, film Perburuan harus turun layar lebih awal. Alhasil keinginan nonton film Bumi Manusia pun makin kencang takut kalah start lagi, alhamdulillah akhirnya agenda itu tercapai juga malah nggak cuma berdua tapi Ndan Hessa juga ikut serta. Padahal baru saja mendarat pagi buta di Semarang.  Semua drama pagi hari yang melingkupi kami untuk sampai di XXI seperti bumbu pelengkap nkmat yang kami rasakan hingga sore hari itu. Lupa waktu...lupa alarm...maunya perpanjangan melulu kalau sudah ketemu he..he..he

Aku pikir hari senin siang itu hanya akan ada beberapa gelintir orang yang bakal menduduki barisan kursi merah itu. Namun, sejak di lobby aku sengaja memperhatikan muda-mudi yang antri. Ternyata mereka membeli tiket untuk teater dua, tempat kami nonton film Bumi Manusia. Berasa sudah merinding..deg..deg..serr.. Tiba saat pintu teater dibuka dan kami bergiliran masuk, betul prakiraanku cukup banyak yang berjejer di sana. Kusebar pandanganku mencoba memindai wajah-wajah yang sudah duduk lebih dulu. Bukan tanpa alasan aku melakukannya, hanya ingin memastikan lebih 
banyak angkatanku atau angkatan muda yang jadi penonton siang itu.

Tiket Nonton Bumi Manusia - Foto : Dok. Pribadi

Tim Ga-Lon Waktu Itu - Foto : Dok. Pribadi

Aku memang sudah lama menunggu film ini tayang, sejak tahu kabar bahwa Mas Hanung sedang mulai proses produksi film Bumi Manusia. Ku ikuti jejak-jejaknya di laman instagram pribadinya, aku bukan penggemar fanatik tapi jujur aku suka dan menikmati caranya menerjemahkan kata dalam laku visual. Aku bilang sih tiap karyanya ada aroma “kemerdekaan”, meski memang kalkulasi pasar atau industri juga harus dipertimbangkan. Siapa sih yang mau menanggung rugi? Lepas kemudian ada pro dan kontra dari karya-karyanya, aku anggap itu mah biasa. Susah kali menyenangkan semua pihak, ya kan? Manusia juga kalau nggak ada kritik dan saran kapan majunya? Terbukti pada film ini pada akhirnya upaya gila sutradara muda nusantara ini berhasil menyuguhkan karya yang luar biasa.

Seperti teman kencan nontonku siang itu, aku benar-benar berniat mengosongkan gelasnya. Rekaman satu-satunya tentang Bumi Manusia adalah novel yang tak pernah sempat aku selesaikan. Bagiku Bumi Manusia tak sekedar novel, ada banyak jalan refleksi saat membacanya. Novel Bumi Manusia termasuk dalam ‘Tetralogi Buru’, tiga judul lainnya yaitu Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Aku yang saat itu masih impulsif takut terjebak dalam pemikiran liar khas mahasiswa yang berkobar-kobar. Aku lupa entah aku pinjam buku itu dari mana? Perpustakaan atau dari teman pergerakan waktu itu, yang aku ingat aku berhenti karena tidak menemukan teman diskusi. Hingga aku tak pernah menghabiskan buku itu.

Mengapa Tertralogi Buru? Konon pak Pram menulis “anak-anak rohaninya” ini saat dibuang di kepulauan Maluku, Pulau Buru pada tahun 1969 – 1979. Selama sepuluh tahun itu, beliau terus menulis untuk mencari jejak-jejak jawaban bagaimana terus menjadi Indonesia. Novel Bumi Manusia sudah semacam legenda atau kitab saksi sejarah bangsa ini, dengan semua kontroversinya yang menggiring opini bahwa pak Pramoedya Ananta Toer adalah golongan kiri.

Poster Bumi Manusia - Foto : Falcon Picture
Inilah review sederhanaku, sudut pandang dan perasaanku. Mungkin tak selengkap, ulasan teman-teman lain yang juga sudah lebih dulu menulis tentang film Bumi Manusia.

Pemutaran film dimulai, sebuah awal yang buat aku takjub.  Kulihat dan kubaca narasi dilayar besar didepanku. Semua penonton diharapkan berdiri untuk bersama menyanyikan lagu kebangsaan kita Indonesia Raya. Ragu, takut dibilang sok nasionalis sontak aku tengok dua rekanku kami saling bertukar pandang.  Pemuda didepan kami tampak tak ragu berdiri, kemudian lantang menyanyi dengan suara bulat juga berat, tangan kanannya tampak memegang dada sebelah kiri tepat dijantungnya. Aku tak bisa menahan haru, Tuhan masih begitu banyak cinta untuk Indonesia meski berulang kali cinta kami diuji dan porak poranda. Semua kusyuk menyanyi, meresapi magisnya tiap lirik lagu kebanggaan negeri.

Selesai kami bernyanyi, dan duduk kembali.  Mulailah kami dibawa ke lorong waktu semasa Minke hidup. Masa penjajahan, tayangan hitam putih memandu imajinasi kami ke masa itu dan diiringi suara Minke menjadi pembukanya. Minke adalah nama hinaan yang berasal dari kata monkey alias monyet. Raden Mas Tirto Adhi Soerjo, itulah nama sebenarnya. Seorang anak bupati, priyayi pribumi, bangsawan, karenanya ia bisa bersekolah di H.B.S seperti anak Belanda lainnya. Itu juga yang membuatnya fasih berbahasa Belanda dan akrab dengan Robert Suurhof. Minke adalah pemuda yang memiliki kepintaran diatas rata-rata, cakap, punya wawasan yang luas,  dan suka menulis. Modern dimasanya begitulah kira-kira jika diterjemahkan sederhana. Ia sering mengirim tulisan pemikirannya pada media.Cita-citanya menajdi manusia merdeka, tidak diperintah dan juga tidak memerintah.

Kisah percintaan Minke  berawal dari ajakan Suurhof untuk datang ke rumah keluarga Herman Mellema. Orang Belanda yang kaya raya pemilik berhektar-hektar lahan pertanian dan juga peternakan. Di ‘istana’ keluarga Mellema ini Minke bertemu dengan perempuan-perempuan yang mengubah cerita hidupnya. Annelies Mellema dan ibunya, Nyai Ontosoroh yang merupakan perempuan asli Jawa, gundik Herman Mellema. Perempuan Jawa tulen yang dikenal tak mengenyam pendidikan formal namun memiliki tekad perlawanan. Sebuah simbolisasi  kondisi perlawanan kaum perempuan saat itu yang menginginkan perubahan dan kesetaraan. 

Salah satu mantra yang bisa didapat di Bumi Manusia - Suumber Foto : Falcon

Sepanjang 181 menit berjalan, penonton bak menemukan harta karun berupa mantra-mantra kata bijaksana. Nyaris semua kata-kata layak dikutip. Seperti menemukan ladang emas yang siap ditambang. Kekuatan lain dari film ini adalah chemistry yang dibangun dan diperankan cukup apik oleh para pemain. Pemeran Minke (Iqbaal Ramadhan) , Ibundanya (Ayu Laksmi), Annelies Mellema (Mawar Eva De Jongh), Nyai Ontosoroh (Sha Ine Febriyanti), Jean Marais (Hans de Kraker), Robert Suurhof (Jerome Kurnia) dan Darsam (Whani Darmawan).  Semua terasa sudah totalitas dalam memerankan karakternya, meski ya tetap ada catatan-catatan kecil yang nggak luput dari penglihatanku. Seperti akting Iqbaal Ramadhan yang masih terasa “setengah matang” memasukkan emosi dan ‘ruh’ sebagai Minke dan yang paling menggangguku sekaligus bertanya-tanya adalah  peran Christian Sugiono sebagai Kommer. Terasa nggak ada gregetnya, padahal sebenarnya dalam cerita dia lihai berorasi dan cakap menulis.

Beruntung sekali, dan memang andalanku sejak awal datang menonton film ini adalah ingin dimanja dengan akting Sha Ine Febriyanti. Sesuai ekspektasi, mataku terbelalak dadaku detaknya bergelegak tiap kali ia bersuara dan mengekpresikan sebagai wanita yang harus kuat meski terinjak-injak. Melawan dengan segala kekuatan untuk menyelamatkan harga diri yang tersisa sebagai perempuan Jawa,  manusia.  Dua peran lain yang menjadi perhatianku dan patur diapresiasi dalah Ayu Laksmi yang berperan sebagai ibu Minke dan pemeran Darsam yaitu Whani Darmawan. Beliau sukses melahap perannya. Suara ibu yang berwibawa, logat Jawa yang kental namun memancarkan aura yang begitu besar. Begitu juga dengan Darsam,  pria kepercayaan Nyai Ontosoroh berperawakan sangar dan aksen logat Madura yang kental.

Akting Sha Ine Febriyanti yang luar biasa - Foto : Falcon

Hanung sebagai sutradara dan Salman Aristo boleh dibilang sukses menerjemahkan alam kata-kata yang sedemikian indah ditulis oleh pak Pram dan mengantarkan kepada dunia visual dengan segala macam ekspektasinya. Meski telah diupayakan menyajikan dalam fragmen-fragmen, tetap saja Hanung tampak kesulitan menerjemahkannya dalam bahasa gambar. Banyak hal yang tidak dijelaskan di dalam film ini.

Banyak yang bilang karya-karya pak Pram tak layak divisualisasikam, bukan karena buruk namun takut mengurangi kebesaran novel fenomenalnya. Namun, alangkah egois jika kita tak berusaha mendekatkan para pemuda yang mulai lengah  pada kearifan budaya dan pengetahuan tentang sastra besar Indonesia.  Sebagai sutradara, Hanung Bramantyo sangat memperhatikan segala detail yang dibutuhkan dalam menghidupkan film ini. Memang ada beberapa yang kurang karena harus mereduksi beberapa hal disana sini namun tetap harus kita rayakan. Boleh aku bilang ini karya besar  dalam sejarah dunia perfilman Indonesia.
Menonton film ini harus dengan pikiran dewasa dan hati terbuka, tak sebanding memang jika kita membandingkan dengan kepuasan membaca novelnya. Tataran media imajinasinya saja sudah beda.
Sebagai penutup ada satu kutipan diakhir scene fim ini yang bikin pecah! Kalimat ini menurutku sukses mengantar penonton menuju klimaks.

“Kita sudah melawan, Nak, Nyo. Sebaik-baiknya. Sehormat-hormatnya”

Lalu lagu  Ibu Pertiwi menggema sebagai latar suara penutup. Rasanya khidmat yang tidak bisa lagi kuungkap. Hanya rasa haru yang tiba-tiba pecah dan berhamburan menuju sebuah negeri antah berantah. Sebuah negeri yang sebenarnya begitu dirindukan.

Terakhir aku ingin titipkan, pesan lain yang kurajut dari menonton film Bumi Manusia ini.
Apapun yang telah kita upayakan ataupun menolak hanya diam dan puas menerima adalah sebuah kesederhanaan yang megah. Terus berusaha merdeka adalah sebuah kemewahan bagi jiwa.

18 komentar

  1. aku juga sudah nonton waktu itu tapi urung membuat ulasan karena satu lain hal. tapi, kalo boleh jujur ini filmnya lebih baik daripada omongan miring netijen. untuk kacamata aku yang belum pernah baca novelnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waktu nonton ini juga berusaha abai sama itu tim nyinyir ..gas aja gitu nonton.. alhamdulillaah gak nyesel meski tetabaca novel tetap lebih asyik sih..hehe

      Hapus
  2. Hwaa aku gak sempat nonton film ini, durasinya lama.. untung ada ulasan dari kakak... Hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tiga jam yg nggak sia-sia deh...kalau aku siih hehe

      Hapus
  3. Selalu suka dengan karya Pramudya 💖

    BalasHapus
  4. suka kutipan yang terakhirnya
    btw yuli jarang nonton flm indonesia hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah..kalau yang berkualitas kudu ditonton kak... support film kece Indonesia hehe

      Hapus
  5. coba baca novelnya juga kak.. terus ikut direview juga...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ahsiyyaaap...Iya masuk dalam agenda nih harus berani selesaikan hehee...eh mulai dari awal lagi klo skrg biar greget

      Hapus
  6. Akhirnya jadi juga review ala mbak Dee.. hehe. Nobar apalagi ya habis ini... tunggu film Habibie 3 yaaa.. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalender mana kalender... kosongkan gelasnya hehe

      Hapus
  7. Lihat ada golongan kiri, jadi keinget pembicaraan di salah satu matkul seputar buku kanan dan kiri. Keren bgt Kak reviewnya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Seru yaaa matkulnya bedah buku gitu... btw jurusan apa kak?

      Hapus
  8. Banyak juga ya ternyata yang berbakat review seperti ini, keren

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkunjung. Tiada kesan tanpa kata dan saran darimu :)



Salam kenal,


Dee.Irum