Ulasan Cerita Pendek dengan Judul yang Panjang Karya Ahmad Ikhtiar (Uncle)

Minggu, 17 November 2019



Cerita pendek yang akan sedikit saya ulas berjudul Cerita Seorang Lelaki yang Sedang Bermimpi tentang Dirinya yang Sedang Bermimpi. Karya Ahmad Ikhtiar ini bisa dibaca di sini.

Bagi saya pribadi tidak cukup jika hanya membaca judulnya sekali atau bahkan hanya sekilas saja. Pasalnya terdapat kata bertumpuk yang dipilih penulis membuat harus mengulang beberapa kali untuk bisa mendapatkan pemahaman yang mungkin mendekati apa yang ingin penulis sampaikan.

Berlanjut pada bagian isi pada cerita pendek ini, saya semakin sering mengernyitkan dahi. Perlu upaya ekstra agar mampu merasuk pada alur cerita dan mencerna kalimat per kalimat.

Unsur Intrinsik 

1. Tema

Bercerita tentang nilai impian dan harapan seseorang yang tidak terbeli. Bahwa setiap  impian itu berharga dan patut diperjuangkan.

2. Alur/Plot

Tahapan urutan cerita mulai dari perkenalan, konflik, klimaks hingga penyelesaian atau juga kesimpulan tampaknya dugaan saya menggunakan alur mundur.
Seorang bayi yang masih di alam idea (istilah psikologi) diperlihatkan potongan impian manusia yang sudah dewasa yang kelak mungkin akan ia hadapi.

3. Setting Tempat / Latar

Berlatar belakang alam mimpi aku, kampung halaman aku dan pemandangan sawah yang ada di sepanjang kanan kiri jalan.

4. Tokoh

Aku (pusat perhatian), Emak, Bapak, dan Narti.

5. Penokohan

Aku : mempunyai sikap peduli dan berkasih sayang pada orang tuanya

Emak : Seorang wanita yang dekat dengan Tuhannya. rajin beribadah

Bapak : Gagah, berkumis tebal, memiliki garis-garis ketegasan pada dahinya.

Narti : Wanita yang disukai aku, sabar, cerdas, dan keibuan.

6. POV

Menggunakan sudut pandang orang pertama yaitu Aku. 

7. Amanah Cerita

Cerita sangat kental pesan moral kebijaksanaan. Meski cenderung berat namun amanah cerita yang berusaha penulis bawakan tersampaikan.

Sungguh ide cerita yang berani dan cerdas menurut saya. Berani karena penulis mampu menyajikan tema cerita yang tidak biasa. Keberanian yang lain adalah pemilihan kata untuk judul yang panjang. Hal ini membuat kesan unik dan menggelitik pembaca untuk mengulik lebih dalam dengan membaca isinya.

Penulis juga cerdas mengemas kata hingga pembaca "dipaksa" untuk ikut larut memahami situasi yang dialami aku yang sedang bermimpi.

Bagi teman-teman pembaca blog ini dan berkenan belajar dari karya-karya fenomenal dari penulis berbakat dari Komunitas ODOP bisa mampir dan membacanya di sini.

Terima kasih.




Read More

Pepesan Peda Daun Singkong (5)

Senin, 04 November 2019


"Apakah kamu khawatir kita tak bisa masak hari ini?" Aku beranikan diri bertanya memastikan apa yang kurasakan.
Benar saja Rumaisha mengangguk lemah. Wajahnya tak mau menatapku.

"Baiklah kalau begitu aku yang akan menggantikan tugas bapak sampai bapak pulih" ujarku penuh kepercayaan diri instan.

Istriku seketika mengangkat wajahnya, menatapku dengan cara melihat yang sulit sekali aku terjemahkan. Begitu pula bapak dan ibu mertua, saat kusampaikan niat tulus bentuk rasa tanggung jawabku tanpa ragu menunjukkan air muka yang sama. Keheranan.

Aku tahu mereka kaget karena sesungguhnya mereka meragukan kemampuanku, namun sekaligus lega ada sebersit harapan untuk hari ini. Berat hati bapak dan ibu mertuaku mengangguk perlahan.

Keraguan mereka mungkin karena adanya anggapan bahwa aku hanya mampu mengajar mengaji dan sedikit menguasai teknik adzan yang bisa kubagikan bagi anak kampung.

Menggantikan bapak mengurus kebun keluarga Haji Kholidi yang luas bukan perkara mudah. Banyak hal kecil yang harus diperhatikan bukan hanya sekedar bersih-bersih. Tapi melihat pohon-pohon buah mana saja yang siap dipanen.
Siang harinya membuka bengkel sepeda kecil di pinggir jalan hingga lepas sore nanti. Aku sendiri sebenarnya ada ragu apakah aku bisa mengatasi hari ini dengan baik atau justru memalukan.

Benar saja, Haji Kholidi komplain mengayakan aku tak becus membersihkan kebunnya.
" Kamu bisa kerja apa tidak sebenarnya, kebunku masih tak karuan. Sampah daun kering masih berserakan seperti tak diurusi. Nggak ada bedanya dibersihkan atau tidak. Mending bapak mertuamu meski lambat semua pekerjaannya tapi selesai dan memuaskan. Tuntas." Kata Haji Kholidi mengomeliku saat aku pamit pulang sekaligus memberi tahu kalau pekerjaanku yang menggantikan bapak sudah selesai. Pak Haji yang memang sejak semula tak percaya kinerjaku, langsung turun mengecek hasil kerjaku. Rupanya ketidakpercayaannya terbukti. Alhasil Pak Haji hanya mampu memberikan uang ala kadarnya atas jerih payahku hari itu. Dua puluh ribu. Itupun kata beliau sudah ia beri nilai cukup besar karena mengingat jasa-jasa bapak mertuaku, jika tidak mungkin aku hanya akan mendapatkan separuh saja.

Aku tak kembali ke rumah selesai dari pak Haji tadi. Niatku lepas membersihkan diri di langgar, adzan dan salat di sana aku langsung saja membuka bengkel lebih awal. Aku ingin membuktikan bahwa aku mampu.

Malu rasanya aku. Tapi mungkin memang dasar tidak becus. Apapun rasanya tak pernah ada yang benar kulakukan. Di bengkel pun tak berjalan mulus, tiga pelanggan kembali dengan bersungut-sungut. Protes dan ingin meminta ganti rugi karena hasil tambalanku bermasalah semuanya. Kalau saja mereka tak mengingat kemurahhatian bapak mertuaku bisa-bisa mereka benar meminta ongkos ganti rugi. Gusti, mencari nafkah apakah memang seberat ini?

Pantas saja jika memang hanya bapak yang berhak mendapatkan jatah istimewa, menikmati pepesan ikan peda lengkap. Hari ini aku hanya membawa uang dua puluu ribu. Cukupkah untuk membeli beras dan bahan lauk pauknya? Aku berpikir sepanjang perjalanan menuju ke rumah beliau. Aku semakin malu pada diriku sendiri yang pernah terlampau serakah membayangkan berhak mendapat kesempatan makan daging ikan peda.

Sesampainya di rumah, aku ulurkan tanganku pada istriku yang tampak cemas. Ia melihat uang yang aku berikan.

"Maaf hanya segini, Sha. Mudah-mudahan bisa buat masak besok. Aku sudah berusaha. Semoga besok lebih baik" ucapku dengan rasa bersalah.

Tanpa banyak kata, Rumaisha mengangguk dan menerima apa yang aku berikan. Sekilas aku menangkap matanya berkaca-kaca. Ada aliran rasa bangga dalam diriku untuk pertama kalinya memberikan hasil keringat sendiri. Sebuah perasaan yang seharusnya sudah aku rasakan sejak lama. 

Waktu makan malam telah tiba, seperti sebelumnya menu pepesan selalu ada di meja. Seperti biasa juga kami bertiga telah duduk berkumpul di ruang makan. Rumaisha memulainya lebih dulu diambilnya piring dan meletakkan dua centong nasi disana. Lalu ia mengambil piring ibu untuk mengambilkan beliau beberapa sendok nasi putih hangat.

Mataku terus menatap buntelan daun pisang sambil menahan liur nafsu. Rumaisha mengetahui itu, ia masih ingat janjinya. Tapi tidak mungkin! Batinnya berperang seketika. Ia mematung, setelah mengambilkan suaminya bumbu pepes daun singkong.

"Nak, ikannya buat bapak ya?" Ibu tampaknya juga mengetahui gelagat aneh yang ada padaku. Namun, ibu kalah cepat dengan keegoisanku. Masa bodoh, toh sudah pernah ada perjanjian jika aku mampu membawa hasil keringatnya sendiri maka aku berhak paling tidak sedikit mencicip sedapnya daging ikan pernah yang dipepes itu.

" Mas, berhenti...aku mohon jangan!" Istriku setengah berteriak menahanku dengan air muka sedih dan kecewa. Ia menggelengkan kepala. Aku melihat ibuku tertunduk dan napas yang dihelanya cukup keras terdengar ditelingaku.

Tanggung tanganku terlanjur sudah ada di atas pepesan itu, berusaha memotong isinya menjadi dua bagian. Tentu saja aku masih ingat bagian bapak mertuaku, aku hanya mau melunasi rasa penasaranku. Sempat terdiam sejenak tapi aku lanjutkan saja.

"Tunggu! Ada yang aneh, kenapa daging ikan peda ini terasa lebih keras?Apa ada jenis peda seperti ini?" Kataku sibuk berbincang sendiri dalam batin.

"Hhhgggg...eehhhggg...arghh." 

Aku masih mencoba sekuat tenaga yang kusangka telah habis karena aku bekerja kerasa hari ini.

Akhirnya kutarik semua bungkusannya, saking penasarannya. Aku lihat disisi lain tampak warna yang berbeda mungkin itu dagingnya dan aku pun mencuilnya. Mengangkat sendok dan mendorongnya ke mulut.

"Baah ... baah ... Rasa apa ini? Bu?... Sha? Ii...ini bukan ikan peda?," tanyaku pada ibu yang entah kenapa pipi beliau basah karena linangan air mata. Ibu hanya mampu melihatku. Sinarnya masih hangat penuh kasih sayang, tanpa amarah yang seharusnya pantas aku terima. Beliau melihat ke arah istriku, mengangguk dan sesaat kemudian bangkit dari duduknya. Setelah sebelumnya mengelus pundakku lembut. Aku semakin tak mengerti dengan semua situasi ini.

"Maafkan Ibu ya, Farras", ucap ibu persis sama dengan sinar bulan yang sedang muram.

Sepeninggal ibu, kami saling terdiam di ruang makan. Rumaisha masih belum memulai penjelasan apapun. Hingga, sekitar lima menit berselang ia menggeser kursi. Tangannya meraih pepesan itu, mendekatkan piringnya ke arah kami, dan membongkarnya dihadapanku.

"Mas, sejujurnya tak pernah ada ikan peda dalam pepesan ini. Betul rasanya memang sedikit aneh sebab yang Mas Farras rasakan tadi adalah batang pisang yang sudah diolah ibu dan diikatkan pada batang kayu asem kecil. Inilah yang dimasak ibu berulang-ulang, bertahun-tahun sejak aku masih kecil hingga aku remaja." istriku berusaha menjelaskan dengan gamblang.

"Bapak sengaja selalu makan paling belakangan karena tak ingin makin terluka, menyadari ketidakberdayaannya merawat orang-orang yang dikasihinya. Hingga ibu punya ide untuk menghidupkan kisah ini. Mas masih ingat kisah seorang ibu yang memasak batu pada jaman Khalifah Umar bin Khattab, bukan? Begitulah awalnya." Rumaisha melanjutkan penuturannya. Ia juga mengaku mengetahui kebenaran ini serupa dengan kejadian hari ini, ketika kayu itu sudah lelah terus berpura-pura menjadi ikan peda.

Aku mendengar samar bapak terbatuk-batuk. Pikiranku kosong. Suara istriku yang masih terus bercerita semakin lama makin kabur. Jiwaku menjauh pergi karena tak sanggup merasakan pedihnya dadaku sekarang.

Andai bisa kini aku ingin menangis sesuka hati, tapi tradisi terlanjur mengajarkanku tentang lelaki sejati tak boleh sembarang mengeluarkan air mata. Sesak. Nyeri.

Bayangan almarhum ibu, bapakku bergantian dengan wajah bapak dan ibu mertuaku muncul dihadapanku. Aku bersyukur Tuhan menamparku hari ini. Sebab aku jadi mampu memahami kasih sayang mereka. 

Hikmahnya lagi aku makin berusaha mendorong diriku lebih keras lagi untuk menghidupkan kisah bahagia lain dikeluarga ini.

Pepesan oh pepesan nyatanya kau tak sekedar pepesan, hadirmu sarat pesan.

Tamat
Read More

Fathin Faridah dan Gerbong Impiannya

Sabtu, 02 November 2019


Fathin Faridah, seorang perempuan yang aku kenal sejak bulan Ramadan lalu tepatnya ditantangan Ramadan Writing Challenge One Day One Post tahun 2019. Ia muncul menjadi salah seorang penanggung jawab yang cukup aktif muncul dan memberikan semangat dikelompokku saat itu.

Bulan telah berlalu, tak ada lagi tegur sapa melalui cerita di dunia maya tempat kami biasa bertegur sapa. Lalu, tak lama dipertemukan lagi dengan perempuan berzodiak scorpio ini. Ia yang lahir di Solo tanggal 23 Oktober 1992 menjadi penanggung jawab kelasku lagi. Kali ini bertemu ditantangan menulis 60 hari atau kurang lebih delapan pekan yang diselenggarakan oleh Komunitas ODOP. Tantangan ini telah berjalan cukup lama dan kini telah memasuki gelombang atau biasa disebut dengan batch ketujuh.

Sebuah kehormatan mendapatkan si dara manis yang mengaku masih on going status pernikahannya ini jadi penanggung jawab. Pasalnya ia cukup teliti dalam tatanan dan ejaan Bahasa Indonesia, jadi kelemahanku pun bisa terkoreksi. Pilihan kata dan kalimatnya ceria, cerdas dan kadang tak biasa membuat segar suasana.

Setelah berhasil meraih gelar sarjananya di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro Semarang, ia tak berhenti mengejar impian dan passionnya yang lain. Ia kemudian mengikuti Fashion Design Course, dan minat inilah yang membuka jalur profesional yang ia cintai selain dunia literasi tentunya. Kini rasanya aku semakin bangga mengenal pemudi anak bangsa yang dengan bangga mengenalkan diri sebagai Produsen Busana dan Creativepreneur. Keren ya?

Penyuka buku Trilogi Lord of The Rings, Tetralogi Bumi Manusia. serta penggemar grup musik legendaris Queen ini kalau sedang tidak banyak kegiatan, malas atau sedang bosan mengaku justru memilih untuk mendesain. Wah, luar biasa 'gabut' saja bisa jadi produktif perlu dicontoh nih!

Gadis berkerudung ini mengaku aktif pula di organisasi, tak hanya di kampus. Namun, dahulu bersyukur mendapatkan kesempatan mengikuti beberapa program PBB via online delegates. Ia mengatakan,
bisa "bertemu" orang-orang dari berbagai penjuru negara dan beranekaragam latar belakang itu ... It was so precious!
Terkait dengan dunia literasi dan dunia kepenulisan, ia mulai tertarik sejak masih kanak-kanak. Jika orang tua menyuruhnya membersihkan rumah atau membantu masak dan menemukan kertas pembungkus seperti bungkus tempe atau sejenisnya secara tak sadar langsung diambil dan dibacanya. Entah mungkin karena masih kecil dan memiliki rasa penasaran yang cukup tinggi jadi terus saja bereksplorasi dengan lingkungannya.

Ketertarikan pada dunia kata dan bahasa terlihat juga pada nilai raport untuk pelajaran bahasa Indonesia selalu meraih nilai maksimum. Apalagi jika tugas pelajarannya adalah mengarang, sudah pasti hatinya riang gembira mengerjakannya.

Kebanggaan hati terbesar yang tak pernah ia lupakan adalah pernah mengekspor busana muslim ke Singapura untuk sebuah brand milik temannya.

Tidak berhenti di sana prestasi di dunia literasi, Fathin telah memiliki kurang lebih 8 karya berupa buku fiksi yang telah ber-ISBN. Jalur non fiksi ia raih pengalamannya saat jaman masih jadi  mahasiswa. Pernah lolos dua kali pendanaan Dikti. Tapi batal ikut karena harus bertanggung jawab memegang program Pusat Kreativitas Mahasiswa di  fakultas. Karya non fiksi lain tentu saja skripsi yang ditulisnya, bahkan tulisannya sempat dijadikan penelitian dosen.

Saat masih berstatus mahasiswa PJ Fathin aktif dalam organisasi riset, bertanggung jawab pada pelaksanaan program PKM (semacam karya tulis) dari Dikti. Alhamdulillah, berkat dukungan banyak pihak yang submit makin banyak dari tahun sebelumnya. Tim yang lolos pendanaan juga makin banyak, ditambah lagi pecah telur bisa ada yang masuk PIMNAS dan mendapatkan gold medal. Wow, prestasi yang luar biasa membanggakan.

PJ Fathin begitu kami sering menyapanya di grup, mengaku pernah mengalami kegagalan yang tak pernah bisa ia lupakan. 

Kenangan yang paling "berkesan" terjadi saat harus melepaskan impian bekerja di luar pulau dan melanjutkan sekolah lagi ke luar negeri menuntut ilmu jenjang pendidikan lebih tinggi dengan beasiswa.

Sebagai anak muda tentu saja ia memiliki impian ingin mandiri dan mendapat gaji yang besar. Ditambah lagi program ini resmi dari salah satu Kementerian, maka ia makin bermimpi ingin bergabung di dalamnya. Tapi apa dayanya orang tua tidak memberikan ijin. Kesempatan untuk bisa go abroad  dengan berupaya mendapatkan beasiswa full untuk jenjang S2-S3 juga harus ia relakan. Sebab, tetap saja orang tua juga tidak memperolehkan.

Bahkan ia mengaku pernah meminta ijin  bisa kerja di NGO yang punya akses ke PBB, juga tak diperbolehkan. Katanya,

It was so heart breaking. Aku gagal meyakinkan orang tuaku bahwa aku bisa menghadapi masa depan dengan pilihanku sendiri, meski aku perempuan.


Fathin melihat hambatan terbesar yang ia alami di dunia literasi ini lebih mengarah pada kemampuan manajemen waktunya. Sebab sekarang ini fokusnya sedang mengembangkan usaha sendiri. Apalagi ia yang masih pemula dan ada sisa perasaan belum ikhlas melepas kegagalan di masa lalu. Kegagalan yang mana ya kira-kira hingga masa sekarang masih saja sulit melepasnya?

Apapun jalannya pasti ada ujian dan hambatan, oleh karena itu pasti ada solusi yang bisa dilakukan. Begitu pula bagi PJ Fathin, ia memiliki dua solusi untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Pertama, saat ini melakukan job description PJ di ODOP sebaik mungkin. Setidaknya ini bisa melatih manajemen waktu. Membagi ranah antara ego (pribadi) dan kewajiban kelompok.

Kedua, menyusun ulang target-target yang hendak dicapai. Mulai dari target harian sampai lima tahun mendatang. Biar tidak kehilangan arah lagi.

Bagi penulis pemula ada beberapa tips yang diberikan PJ Fathin agar mampu menulis yang sesuai kaidah tapi tetap enak dibaca. Paling utama katanya,

Mau menulis ya menulislah, mulai saja dulu!

ODOP bisa menjadi salah satu alternatif media latihan yang cukup ampuh. Step by step, challenge by challenge, materi per materi, dan terus praktekkan.

Nanti saat sudah menemukan ritmenya pasti akan mengalir dengan sendirinya. Lalu jangan segan mencoba ikut berbagai macam perlombaan menulis, pilih fokusnya sesuai passion. Atau buat suatu tulisan yg menantang sesuatu yang berbeda.

Sejauh ini PJ Fathin merasa masih belum banyak memiliki sumbangsih yang telah ia perbuat di dunia literasi. Belum banyak dampak manfaat yang luas bagi masyarakat. Hanya terbatas berbagi informasi untuk membangun opini masyarakat yang lebih positif. Berbeda saat masih menjadi mahasiswa, justru merasa bisa berbuat lebih banyak. Seperti bergabung di Badan Ekseskutif Mahasiswa, masuk di divisi Sospol (Sosial Politik) kemudian membuat program utk artikel-artikel pencerdasan masyarakat. Ada juga program yang melatih mahasiswa terutama yang ikut BEM agar lebih berani menulis.


Harapan utama perempuan  yang penuh kreativitas ini pada dunia literasi adalah 
Meningkatnya minat baca khusus anak-anak di negeri ini.

Utamanya minat baca pada buku yang berisikan amanah cerita yang kaya. Mungkin maksudnya agar anak-anak muda bisa mengambil inspirasi dari sana. Serta, berharap semoga novel cerdas milik Pak Pramoedya Ananta Toer bisa mendapatkan Nobel di bidang sastra.

Itulah biografi singkat dari PJ khFathin. Meskipun telah cukup banyak memiliki prestasi, ia berkata masih merasa harus terus 'on going' berkarya.

Bagi yang ingin lebih mengenalnya, bertanya dan berbincang apa saja silahkan  langsung berseluncur ke blog pribadinya yaitu : fathinfar.blogspot.com untuk mengetahui karya-karya yang diabadikannya.

Nah jika teman-teman  ingin berkunjung ke Instagramnya  @frodifar , di sana kita akan melihat beberapa gambar hasil desain dan menggambar PJ Fathin. Silahkan dibuktikan sendiri bagaimana rekam jejak kehidupannya yang luar biasa keren. Semoga gerbong impiannya yang panjang sampai selamat menuju tujuannya dan membawa memanfaatkan yang luas.

Aamiin
Read More

Pepesan Peda Daun Singkong (4)

Jumat, 01 November 2019


Sekelebat bayangan wajah istriku lewat, ia melihat dengan sorot mata layu. Maafkan aku, Sha. Pasti berat untukmu mengiyakan rengekanku. Kejemawaan yang merasuki memaksamu memberi anggukan setengah hati. Aku menangkapnya dengan jelas tapi acuh tak acuh. Kepalaku hanya berisi keinginan yang sudah membuncah untuk bisa menikmati pepesan peda daun singkong siang ini. Penanda kemenangan sebagai perayaan, pikirku esok tadi.

"Jangan lupa ya, hari ini aku pasti akan diterima kerja di pabrik pipa itu. Artinya, siang ini separuh pepesan peda ini harus kamu sisihkan untukku, Sha. Jangan lupa," kataku berpesan padanya. 

Aku merasa di atas angin karena Rudi yang memberikan informasi lowongan ini sudah lama kerja disana. Ia punya pengaruh cukup besar untuk memberikan referensi penerimaan karyawan baru. Rudi adalah salah satu teman dekat yang sampai sekarang masih terus saling berkirim kabar.

"I..i...ya...nanti kalau sudah pulang Isha sisihkan, Mas" istriku memang baik seperti bapak dan ibu mertuaku. Ia sangat patuh padaku meski aku belum mampu memberikan apapun untuk menyenangkannya.

Kini semua sirna, pekerjaan yang digadang-gadang olehku sudah ada yang mengisi per-hari ini. Ia datang kemarin, sehari lebih cepat dariku. Niatnya sama untuk melamar posisi administrasi. Tampaknya ia lebih muda dariku. Pihak pabrik menyampaikan permintaan maafnya karena belum sempat memberikan pengumuman lowongan ditutup.

Akhirnya aku pulang dengan membawa kegagalan. Tak ada gairah rasanya, hampa. Belum lagi lima puluh ribu yang niatnya kupinjam dari ibu juga ikut ludes tanpa bekas. Gara-gara tak mampu menahan godaan es Gempol Plered. Tak sengaja matanya terpeleset melihat gerobak penjual es di pojokan halaman samping pasar, tempat aku turun dari angkutan kota. Uang sakuku sudah berkurang untuk membayar angkutan tadi pagi, ojek dari gerbang kawasan sampai ke dalam lokasi yang aku tuju dan beberapa pengeluaran kecil lainnya. Beruntung saat kembali ada satpam pabrik yang baik hati menawarkan untuk memberikan tumpangan hingga ke depan. Sekalian ada perlu begitu katanya.

Lumayanlah kalau bisa berhemat lima belas ribu hari ini, bisa aku tabung nanti. Nyatanya panas terik siang ini tak mampu membendung arus nafsuku menikmati segarnya semangkuk es Gempol Plered.
"Es Gempo sama tiga gorengan ya? Jadi semuanya lima belas ribu ," ujar si ibu penjual es.

Meski aku terkejut tetap aku bayarkan, sudah terlanjur. Aku segera pamit. Takut kepanikanku terbaca olehnya. Malu. Artinya kalau tidak salah berhitung tak ada lagi sisa uang ditanganku. Aku merogoh saku celanaku berharap menemukan keajaiban. Kosong. Beralih ke tas ransel, kutelusuri dengan teliti tiap sakunya. Alhamdulillah, keberuntunganku belum habis hari ini. Tanganku merasakan menemukan lembaran lecek didasar salah satu saku tas. Kutarik dengan cepat saking penasarannya. Kurapikan lipatan tak beraturan itu. Lima ribu rupiah. Baiklah, tetap aku bersyukur. Lembaran ini telah menolongku memangkas separuh perjalanan yang harus kutempuh dengan kaki.

Gontai langkahku menuntaskan perjalanan pulang. Akhirnya sampai juga dipinggir jalan utama kampung, dan jujur sungguh aku tak sanggup masuk ke gang menuju rumah. Matahari juga sudah mulai bergegas pulang. Entah tepatnya pukul berapa saat itu yang jelas aku sudah tenang karena telah salat dhuhur dan sengaja ku laksanakan dengan jamak takdim. Takut kalau ada halangan lain ketika aku berjalan jauh.

Aku melihat diseberang sana, bengkel kecil bapak mertuaku. Letaknya tepat dibibir jalan desa hampir berjejeran dengan masjid desa yang letaknya lebih menjorok ke dalam.  Bengkel kecil prasasti kebanggaannya. Hampir tak pernah sepi dikunjungi terutama oleh anak-anak kampung. Aku tetap berdiri disini tanpa keinginan mendekat. Aku tak sanggup mengangkat wajahku dihadapannya. Wajah dan tangannya sudah penuh kerutan keriputnya. 

Tampak beliau sore itu sedang mengecek keadaan ban sepeda anak yang baru selesai ia kerjakan. Masih ada tiga anak yang mengantri. Bapak sangat fokus. Ia memukulkan kunci pas ke ban tersebut berulang kali. Seragam kebanggaannya terlihat lusuh juga compang-camping. Ibu mertua sudah pernah meminta beliau untuk memensiunkan seragam kebanggaannya itu, tapi tetap saja pilihan selera tak akan bisa dibohongi. Kembali lagi dan lagi.

Aku sudah berjalan hingga pertigaan kedua menuju rumah mertuaku. Lalu, belok kiri dan berjalan lurus sekitar dua puluh satu langkah. Tibalah di halaman rumah beliau yang mungil namun resik juga asri. 

Rumaisha menyambutku di depan pintu. Aku menatapnya, dan ia tahu hari ini tak akan ada daging ikan peda untukku. Hanya ada pepesan daun singkong berbumbu.

Azan subuh sayup-sayup terdengar. Aku terbangun dan mendapati istriku tampaknya sudah terjaga lebih dulu. Bergegas aku turun dari ranjang hendak menuju langgar, hari ini giliranku jadi imam.

Belum sampai ke sumur, kudengar isak pelan dari area sekitar dapur. Kukenali betul suara ini. Kudapati istriku menangis sendirian di meja makan.

"Hei..hei..Ada apa, Sha?" bisikku sambil mengusap punggungnya.

"Ba...bapak sakit. Hari ini bapak harus beristirahat. Sesak dan batuknya kambuh. Kita harus apa, Mas?" jawabnya terus dalam isakan.

Batuk bapak mertuaku memang tak kunjung henti. Sejak semalam sampai rumah hingga baru saja aku dengar. Badannya yang renta tak kuat lagi menahan kelelahan fisik yang mendera.

Aku mengerti, isakan itu bermakna ganda rupanya.

<bersambung>
Read More