Pepesan Peda Daun Singkong (4)

Jumat, 01 November 2019


Sekelebat bayangan wajah istriku lewat, ia melihat dengan sorot mata layu. Maafkan aku, Sha. Pasti berat untukmu mengiyakan rengekanku. Kejemawaan yang merasuki memaksamu memberi anggukan setengah hati. Aku menangkapnya dengan jelas tapi acuh tak acuh. Kepalaku hanya berisi keinginan yang sudah membuncah untuk bisa menikmati pepesan peda daun singkong siang ini. Penanda kemenangan sebagai perayaan, pikirku esok tadi.

"Jangan lupa ya, hari ini aku pasti akan diterima kerja di pabrik pipa itu. Artinya, siang ini separuh pepesan peda ini harus kamu sisihkan untukku, Sha. Jangan lupa," kataku berpesan padanya. 

Aku merasa di atas angin karena Rudi yang memberikan informasi lowongan ini sudah lama kerja disana. Ia punya pengaruh cukup besar untuk memberikan referensi penerimaan karyawan baru. Rudi adalah salah satu teman dekat yang sampai sekarang masih terus saling berkirim kabar.

"I..i...ya...nanti kalau sudah pulang Isha sisihkan, Mas" istriku memang baik seperti bapak dan ibu mertuaku. Ia sangat patuh padaku meski aku belum mampu memberikan apapun untuk menyenangkannya.

Kini semua sirna, pekerjaan yang digadang-gadang olehku sudah ada yang mengisi per-hari ini. Ia datang kemarin, sehari lebih cepat dariku. Niatnya sama untuk melamar posisi administrasi. Tampaknya ia lebih muda dariku. Pihak pabrik menyampaikan permintaan maafnya karena belum sempat memberikan pengumuman lowongan ditutup.

Akhirnya aku pulang dengan membawa kegagalan. Tak ada gairah rasanya, hampa. Belum lagi lima puluh ribu yang niatnya kupinjam dari ibu juga ikut ludes tanpa bekas. Gara-gara tak mampu menahan godaan es Gempol Plered. Tak sengaja matanya terpeleset melihat gerobak penjual es di pojokan halaman samping pasar, tempat aku turun dari angkutan kota. Uang sakuku sudah berkurang untuk membayar angkutan tadi pagi, ojek dari gerbang kawasan sampai ke dalam lokasi yang aku tuju dan beberapa pengeluaran kecil lainnya. Beruntung saat kembali ada satpam pabrik yang baik hati menawarkan untuk memberikan tumpangan hingga ke depan. Sekalian ada perlu begitu katanya.

Lumayanlah kalau bisa berhemat lima belas ribu hari ini, bisa aku tabung nanti. Nyatanya panas terik siang ini tak mampu membendung arus nafsuku menikmati segarnya semangkuk es Gempol Plered.
"Es Gempo sama tiga gorengan ya? Jadi semuanya lima belas ribu ," ujar si ibu penjual es.

Meski aku terkejut tetap aku bayarkan, sudah terlanjur. Aku segera pamit. Takut kepanikanku terbaca olehnya. Malu. Artinya kalau tidak salah berhitung tak ada lagi sisa uang ditanganku. Aku merogoh saku celanaku berharap menemukan keajaiban. Kosong. Beralih ke tas ransel, kutelusuri dengan teliti tiap sakunya. Alhamdulillah, keberuntunganku belum habis hari ini. Tanganku merasakan menemukan lembaran lecek didasar salah satu saku tas. Kutarik dengan cepat saking penasarannya. Kurapikan lipatan tak beraturan itu. Lima ribu rupiah. Baiklah, tetap aku bersyukur. Lembaran ini telah menolongku memangkas separuh perjalanan yang harus kutempuh dengan kaki.

Gontai langkahku menuntaskan perjalanan pulang. Akhirnya sampai juga dipinggir jalan utama kampung, dan jujur sungguh aku tak sanggup masuk ke gang menuju rumah. Matahari juga sudah mulai bergegas pulang. Entah tepatnya pukul berapa saat itu yang jelas aku sudah tenang karena telah salat dhuhur dan sengaja ku laksanakan dengan jamak takdim. Takut kalau ada halangan lain ketika aku berjalan jauh.

Aku melihat diseberang sana, bengkel kecil bapak mertuaku. Letaknya tepat dibibir jalan desa hampir berjejeran dengan masjid desa yang letaknya lebih menjorok ke dalam.  Bengkel kecil prasasti kebanggaannya. Hampir tak pernah sepi dikunjungi terutama oleh anak-anak kampung. Aku tetap berdiri disini tanpa keinginan mendekat. Aku tak sanggup mengangkat wajahku dihadapannya. Wajah dan tangannya sudah penuh kerutan keriputnya. 

Tampak beliau sore itu sedang mengecek keadaan ban sepeda anak yang baru selesai ia kerjakan. Masih ada tiga anak yang mengantri. Bapak sangat fokus. Ia memukulkan kunci pas ke ban tersebut berulang kali. Seragam kebanggaannya terlihat lusuh juga compang-camping. Ibu mertua sudah pernah meminta beliau untuk memensiunkan seragam kebanggaannya itu, tapi tetap saja pilihan selera tak akan bisa dibohongi. Kembali lagi dan lagi.

Aku sudah berjalan hingga pertigaan kedua menuju rumah mertuaku. Lalu, belok kiri dan berjalan lurus sekitar dua puluh satu langkah. Tibalah di halaman rumah beliau yang mungil namun resik juga asri. 

Rumaisha menyambutku di depan pintu. Aku menatapnya, dan ia tahu hari ini tak akan ada daging ikan peda untukku. Hanya ada pepesan daun singkong berbumbu.

Azan subuh sayup-sayup terdengar. Aku terbangun dan mendapati istriku tampaknya sudah terjaga lebih dulu. Bergegas aku turun dari ranjang hendak menuju langgar, hari ini giliranku jadi imam.

Belum sampai ke sumur, kudengar isak pelan dari area sekitar dapur. Kukenali betul suara ini. Kudapati istriku menangis sendirian di meja makan.

"Hei..hei..Ada apa, Sha?" bisikku sambil mengusap punggungnya.

"Ba...bapak sakit. Hari ini bapak harus beristirahat. Sesak dan batuknya kambuh. Kita harus apa, Mas?" jawabnya terus dalam isakan.

Batuk bapak mertuaku memang tak kunjung henti. Sejak semalam sampai rumah hingga baru saja aku dengar. Badannya yang renta tak kuat lagi menahan kelelahan fisik yang mendera.

Aku mengerti, isakan itu bermakna ganda rupanya.

<bersambung>

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Tiada kesan tanpa kata dan saran darimu :)



Salam kenal,


Dee.Irum