Jurnal Tahapan Telur-telur Bunda Cekatan #2

Jumat, 20 Desember 2019

Tahapan kedua ini butuh sedikit memaksa pikiran dan perasaan saya terfokus pada resolusi yang akan saya lakukan di tahun 2020 Masehi. Sebenarnya rencana metamorfosa itu sudah dibuat sejak tahun baru Hijriah lalu, namun seperti yang sudah menjadi kebiasaan beberapa saya sesuaikan hingga awal tahun baru Masehi.

Sedikit berbeda prosesnya dengan permainan di tahapan pertama, saya menuliskan dulu aktivitas yang sudah tercetak dalam benak saya. Baru kemudian saya terjemahkan dalam kegiatan yang mungkin bisa membantu saya merancang bahagia yang lebih tinggi levelnya.



Begitulah hasil terjemahan pribadi tentang apa saja yang menjadi fokus kebahagiaan yang ingin saya raih. Intinya sih saya paling ingin meninggikan jam terbang dolan, ngobrol dan bertemu orang dalam "kamar" yang selalu penuh manfaat. Lalu, belanja dan bertukar ide juga gagasan dengan kawan sefrekuensi untuk diwujudkan bersama-sama. 

Semoga Allah memberikan kemampuan untuk mewujudkan dan bermetamorfosis melalui impian-impian tersebut.

#BundaCekatan
#InstitutIbuProfesional

Read More

Jurnal Tahapan Telur-telur Bunda Cekatan #1

Selasa, 17 Desember 2019

Aha! Senangnya berkesempatan lagi untuk belajar di tahapan selanjutnya setelah kelas bunda sayang yang sudah lama purna. 


Masuk di kelas bunda cekatan sebenarnya agak tergopoh-gopoh mengikuti ritmenya. Banyak hal harus disesuaikan termasuk prioritas dan kandang waktunya.

Artinya juga selama beberapa tahapan akan banyak proses yang harus dilalui. Apa saja? Ini nih tahap permainannya :

Materi pertama di kelas bunda cekatan ini membuat sedikit melakukan kipas balik di NHW saat mengikuti kelas sebelumnya. Mulai dari mengenal diri sendiri dan tentu saja kebahagiaan diri ini sebagai manusia yang diciptakan luar biasa. Bukan hanya sekedar perempuan (biasa).

Nah, telur-telur kebahagiaan saya tampaknya belum bergeser dari tempatnya. Masih ada dikuadran yang sama, tidak ada lompatan yang luar biasa dari yang tidak suka menjadi suka atau sebaliknya. Jika ada pergerakan itu karena memang harus mendekat untuk belajar sedikit memahami aktivitas tersebut.
Inilah hasil telur-telur kebahagiaan saya yang terus dicari untuk ditetaskan :


Seperti yang sudah disampaikan di awal tadi bahwa sebetulnya sudah tidak banyak pergeseran passion. 

Penjelasan tentang kebahagiaan yang saya pilih untuk diletakkan pada telur-telur hijau, kurang lebih seperti ini :

1. Ideating

Artinya aktivitas seperti melontarkan gagasan dan ide-ide tentang berbagai hal seringkali muncul. Saya merasa bahagia karena seringkali dengan melihat fenomena atau sedang berada situasi tertentu tiba-tiba saja nanti menemukan ide-ide baru.

2. Visioning

Kegiatan mengantisipasi masa depan, berpikir sebelum melangkah, menimbang dari berbagai sisi merupakan kegiatan yang juga membuat saya bahagia. Pernah untuk tidak melakukannya, malah senewen sendiri he he he... Semacam ada rasa butuh untuk memikirkan rencana masa depan yang bijak, agar semua langkah bisa tepat sasaran. Tentu saja dengan seijin Allah Subhana Wa Ta'alla.

3. Creating

Saya senang menggunakan imajinasi saya untuk menemukan suatu rancangan atau layanan baru buat orang lain. Termasuk saat menulis, atau mengajar saya selalu melibatkan imajinasi saya. Bahkan meski memasak adalah hal yang 'saya bisa dan suka' di level paling rendah, saya juga kadang suka iseng eksperimen membuat menu masakan baru. 


4. Counseling

Memotivasi anak dan remaja adalah hal yang paling membahagiakan untuk saya. Terutama bagi mereka yang memang mengalami masalah dalam tahap perkembangannya itu. Mungkin teman-teman akan menemukan sesuatu yang lain dari diri saya ketika sedang berhadapan dengan mereka. Alih-alih bahagia saya lebih senang sebut ini kerinduan. Betul, kerinduan menjadi rumah untuk mereka yang membutuhkan "alamat pulang".

5. Guiding

Masih berhubungan dengan penjelasan sebelumnya passion saya yang membuat mata saya berbinar-binar adalah ketika memandu orang atau pihak lain agar dapat memilih atau menemukan jalan atau sasaran yang hendak ia tempuh. 

Begitu lah cerita saya sebagai orang dengan kecenderungan otak kiri yang memang memiliki  kecenderungan kebahagiaan dengan kekuatan dalam hal berpikir, menemukan gagasan atau ide-ide baru, lalu mengemukakannya pada orang lain untuk ditindaklanjuti (thinking and reasoning).


Celah kebahagiaan ini harusnya terus dicari untuk senantiasa disesuaikan terus menerus sepanjang hayat. Kenapa? Sebab, metamorfosis diri tidak boleh berhenti di salah satu destinasi saja. Namun, terus dilakukan berulang-ulang dengan memetamorfosiskan rasa yang sepenuhnya sadar akan kebahagiaannya.
Read More

Ulasan Historical Fiction The Madness of Malleus Maleficarum

Rabu, 11 Desember 2019


Cerita pendek bergenre historical fiction yang ditulis oleh Fathin Faridah ini mengangkat tema besar yang terjadi di Eropa pada abad XV-XVII. Saat itu terjadi kehebohan luar biasa di sana, ketukan palu hukum yang paling mengerikan sepanjang sejarah Eropa mungkin juga dunia. The Witches Hammer atau Malleus Maleficarum begitulah cerita mencekam itu dikenal. Dakwaan kepada para penyihir yang membuat penduduk Eropa saat itu sangat ketakutan
Rasa takut ini dikarenakan banyak tersebar penyakit aneh berasal dari sihir atau santet yang dilakukan oleh para penyihir perempuan.

Bila Anda pada saat itu memiliki tetangga yang iri atau Anda bukan orang yang ramah hingga tak mengenal tetangga di lingkungan tempat Anda tinggal. Bisa jadi hukuman itu akan mampir tanpa ada payung hukum yang melindungi.
Hukuman yang diberikan ada berbagai pilihan, tergantung mana yang disepakati atau diminati. Digantung, dibakar hidup-hidup, diikat seluruh tubuhnya dan ditenggelamkan dalam sungai.

Itu sekilas sejarah mengerikan yang menimpa ratusan bahkan ribuan perempuan. Salah satu tragedi kemanusiaan luar biasa yang pernah tercatat dalam sejarah manusia di belahan bumi Eropa, khususnya bagi kaum wanita.

Saya angkat topi untuk mengakui penulis cukup berani mengangkat tema besar ini, bisa dibilang tidak ringan bacaan sejarah seperti ini. Bahkan mungkin fakta sejarah ini tidak banyak yang pernah mendengarnya. 

Mengangkatnya sebagai cerpen historical fiction adalah keputusan yang menandai bahwa penulis memang memiliki tabungan bacaan atau literasi yang mumpuni.

Membaca cerpen ini membawa saya masuk ke situasi pada jaman kelam itu. Situasi yang mencekam, ketakutan yang dirasakan Maria ketika ia melarikan diri. Dialog-dialog Maria dan profesor Cornelius Loos dalam pelariannya begitu mendalam nilai pesan-pesannya. Meski cerita pendek tetap sarat dengan petuah.
Salah satunya kutipan kalimat ini berhasil mencuri perhatian saya :
“Jika kita tidak melawan, suatu saat kita juga pasti mati bukan? Lebih baik mati dalam perlawanan, daripada hidup menangisi nasib tanpa berbuat apa-apa.”

Entah karena saya yang masih kurang jam terbang cerita bergenre historical fiction, di akhir cerita ini nuansa fiksinya jadi berkurang karena paragraf pamungkasnya justru membawa saya pada atmosfer cerita non fiksi (sejarah asli).

Meskipun demikian hampir secara keseluruhan tulisan ini disajikan dengan cukup kuat baik dari penokohannya, plot, latar, gaya penulisan serta konfliknya semua diracik dengan apik. 

Seandainya penulis ingin mengembangkan lagi lebih serius dengan imajinasi yang lebih luas dan mendalam, menurut saya laik sih untuk bisa jadi novel cantik nih...

Bagaimana menurut kalian, setuju dengan saya atau justru punya pendapat lain? 

Read More

Ulasan Cerita Pendek dengan Judul yang Panjang Karya Ahmad Ikhtiar (Uncle)

Minggu, 17 November 2019



Cerita pendek yang akan sedikit saya ulas berjudul Cerita Seorang Lelaki yang Sedang Bermimpi tentang Dirinya yang Sedang Bermimpi. Karya Ahmad Ikhtiar ini bisa dibaca di sini.

Bagi saya pribadi tidak cukup jika hanya membaca judulnya sekali atau bahkan hanya sekilas saja. Pasalnya terdapat kata bertumpuk yang dipilih penulis membuat harus mengulang beberapa kali untuk bisa mendapatkan pemahaman yang mungkin mendekati apa yang ingin penulis sampaikan.

Berlanjut pada bagian isi pada cerita pendek ini, saya semakin sering mengernyitkan dahi. Perlu upaya ekstra agar mampu merasuk pada alur cerita dan mencerna kalimat per kalimat.

Unsur Intrinsik 

1. Tema

Bercerita tentang nilai impian dan harapan seseorang yang tidak terbeli. Bahwa setiap  impian itu berharga dan patut diperjuangkan.

2. Alur/Plot

Tahapan urutan cerita mulai dari perkenalan, konflik, klimaks hingga penyelesaian atau juga kesimpulan tampaknya dugaan saya menggunakan alur mundur.
Seorang bayi yang masih di alam idea (istilah psikologi) diperlihatkan potongan impian manusia yang sudah dewasa yang kelak mungkin akan ia hadapi.

3. Setting Tempat / Latar

Berlatar belakang alam mimpi aku, kampung halaman aku dan pemandangan sawah yang ada di sepanjang kanan kiri jalan.

4. Tokoh

Aku (pusat perhatian), Emak, Bapak, dan Narti.

5. Penokohan

Aku : mempunyai sikap peduli dan berkasih sayang pada orang tuanya

Emak : Seorang wanita yang dekat dengan Tuhannya. rajin beribadah

Bapak : Gagah, berkumis tebal, memiliki garis-garis ketegasan pada dahinya.

Narti : Wanita yang disukai aku, sabar, cerdas, dan keibuan.

6. POV

Menggunakan sudut pandang orang pertama yaitu Aku. 

7. Amanah Cerita

Cerita sangat kental pesan moral kebijaksanaan. Meski cenderung berat namun amanah cerita yang berusaha penulis bawakan tersampaikan.

Sungguh ide cerita yang berani dan cerdas menurut saya. Berani karena penulis mampu menyajikan tema cerita yang tidak biasa. Keberanian yang lain adalah pemilihan kata untuk judul yang panjang. Hal ini membuat kesan unik dan menggelitik pembaca untuk mengulik lebih dalam dengan membaca isinya.

Penulis juga cerdas mengemas kata hingga pembaca "dipaksa" untuk ikut larut memahami situasi yang dialami aku yang sedang bermimpi.

Bagi teman-teman pembaca blog ini dan berkenan belajar dari karya-karya fenomenal dari penulis berbakat dari Komunitas ODOP bisa mampir dan membacanya di sini.

Terima kasih.




Read More

Pepesan Peda Daun Singkong (5)

Senin, 04 November 2019


"Apakah kamu khawatir kita tak bisa masak hari ini?" Aku beranikan diri bertanya memastikan apa yang kurasakan.
Benar saja Rumaisha mengangguk lemah. Wajahnya tak mau menatapku.

"Baiklah kalau begitu aku yang akan menggantikan tugas bapak sampai bapak pulih" ujarku penuh kepercayaan diri instan.

Istriku seketika mengangkat wajahnya, menatapku dengan cara melihat yang sulit sekali aku terjemahkan. Begitu pula bapak dan ibu mertua, saat kusampaikan niat tulus bentuk rasa tanggung jawabku tanpa ragu menunjukkan air muka yang sama. Keheranan.

Aku tahu mereka kaget karena sesungguhnya mereka meragukan kemampuanku, namun sekaligus lega ada sebersit harapan untuk hari ini. Berat hati bapak dan ibu mertuaku mengangguk perlahan.

Keraguan mereka mungkin karena adanya anggapan bahwa aku hanya mampu mengajar mengaji dan sedikit menguasai teknik adzan yang bisa kubagikan bagi anak kampung.

Menggantikan bapak mengurus kebun keluarga Haji Kholidi yang luas bukan perkara mudah. Banyak hal kecil yang harus diperhatikan bukan hanya sekedar bersih-bersih. Tapi melihat pohon-pohon buah mana saja yang siap dipanen.
Siang harinya membuka bengkel sepeda kecil di pinggir jalan hingga lepas sore nanti. Aku sendiri sebenarnya ada ragu apakah aku bisa mengatasi hari ini dengan baik atau justru memalukan.

Benar saja, Haji Kholidi komplain mengayakan aku tak becus membersihkan kebunnya.
" Kamu bisa kerja apa tidak sebenarnya, kebunku masih tak karuan. Sampah daun kering masih berserakan seperti tak diurusi. Nggak ada bedanya dibersihkan atau tidak. Mending bapak mertuamu meski lambat semua pekerjaannya tapi selesai dan memuaskan. Tuntas." Kata Haji Kholidi mengomeliku saat aku pamit pulang sekaligus memberi tahu kalau pekerjaanku yang menggantikan bapak sudah selesai. Pak Haji yang memang sejak semula tak percaya kinerjaku, langsung turun mengecek hasil kerjaku. Rupanya ketidakpercayaannya terbukti. Alhasil Pak Haji hanya mampu memberikan uang ala kadarnya atas jerih payahku hari itu. Dua puluh ribu. Itupun kata beliau sudah ia beri nilai cukup besar karena mengingat jasa-jasa bapak mertuaku, jika tidak mungkin aku hanya akan mendapatkan separuh saja.

Aku tak kembali ke rumah selesai dari pak Haji tadi. Niatku lepas membersihkan diri di langgar, adzan dan salat di sana aku langsung saja membuka bengkel lebih awal. Aku ingin membuktikan bahwa aku mampu.

Malu rasanya aku. Tapi mungkin memang dasar tidak becus. Apapun rasanya tak pernah ada yang benar kulakukan. Di bengkel pun tak berjalan mulus, tiga pelanggan kembali dengan bersungut-sungut. Protes dan ingin meminta ganti rugi karena hasil tambalanku bermasalah semuanya. Kalau saja mereka tak mengingat kemurahhatian bapak mertuaku bisa-bisa mereka benar meminta ongkos ganti rugi. Gusti, mencari nafkah apakah memang seberat ini?

Pantas saja jika memang hanya bapak yang berhak mendapatkan jatah istimewa, menikmati pepesan ikan peda lengkap. Hari ini aku hanya membawa uang dua puluu ribu. Cukupkah untuk membeli beras dan bahan lauk pauknya? Aku berpikir sepanjang perjalanan menuju ke rumah beliau. Aku semakin malu pada diriku sendiri yang pernah terlampau serakah membayangkan berhak mendapat kesempatan makan daging ikan peda.

Sesampainya di rumah, aku ulurkan tanganku pada istriku yang tampak cemas. Ia melihat uang yang aku berikan.

"Maaf hanya segini, Sha. Mudah-mudahan bisa buat masak besok. Aku sudah berusaha. Semoga besok lebih baik" ucapku dengan rasa bersalah.

Tanpa banyak kata, Rumaisha mengangguk dan menerima apa yang aku berikan. Sekilas aku menangkap matanya berkaca-kaca. Ada aliran rasa bangga dalam diriku untuk pertama kalinya memberikan hasil keringat sendiri. Sebuah perasaan yang seharusnya sudah aku rasakan sejak lama. 

Waktu makan malam telah tiba, seperti sebelumnya menu pepesan selalu ada di meja. Seperti biasa juga kami bertiga telah duduk berkumpul di ruang makan. Rumaisha memulainya lebih dulu diambilnya piring dan meletakkan dua centong nasi disana. Lalu ia mengambil piring ibu untuk mengambilkan beliau beberapa sendok nasi putih hangat.

Mataku terus menatap buntelan daun pisang sambil menahan liur nafsu. Rumaisha mengetahui itu, ia masih ingat janjinya. Tapi tidak mungkin! Batinnya berperang seketika. Ia mematung, setelah mengambilkan suaminya bumbu pepes daun singkong.

"Nak, ikannya buat bapak ya?" Ibu tampaknya juga mengetahui gelagat aneh yang ada padaku. Namun, ibu kalah cepat dengan keegoisanku. Masa bodoh, toh sudah pernah ada perjanjian jika aku mampu membawa hasil keringatnya sendiri maka aku berhak paling tidak sedikit mencicip sedapnya daging ikan pernah yang dipepes itu.

" Mas, berhenti...aku mohon jangan!" Istriku setengah berteriak menahanku dengan air muka sedih dan kecewa. Ia menggelengkan kepala. Aku melihat ibuku tertunduk dan napas yang dihelanya cukup keras terdengar ditelingaku.

Tanggung tanganku terlanjur sudah ada di atas pepesan itu, berusaha memotong isinya menjadi dua bagian. Tentu saja aku masih ingat bagian bapak mertuaku, aku hanya mau melunasi rasa penasaranku. Sempat terdiam sejenak tapi aku lanjutkan saja.

"Tunggu! Ada yang aneh, kenapa daging ikan peda ini terasa lebih keras?Apa ada jenis peda seperti ini?" Kataku sibuk berbincang sendiri dalam batin.

"Hhhgggg...eehhhggg...arghh." 

Aku masih mencoba sekuat tenaga yang kusangka telah habis karena aku bekerja kerasa hari ini.

Akhirnya kutarik semua bungkusannya, saking penasarannya. Aku lihat disisi lain tampak warna yang berbeda mungkin itu dagingnya dan aku pun mencuilnya. Mengangkat sendok dan mendorongnya ke mulut.

"Baah ... baah ... Rasa apa ini? Bu?... Sha? Ii...ini bukan ikan peda?," tanyaku pada ibu yang entah kenapa pipi beliau basah karena linangan air mata. Ibu hanya mampu melihatku. Sinarnya masih hangat penuh kasih sayang, tanpa amarah yang seharusnya pantas aku terima. Beliau melihat ke arah istriku, mengangguk dan sesaat kemudian bangkit dari duduknya. Setelah sebelumnya mengelus pundakku lembut. Aku semakin tak mengerti dengan semua situasi ini.

"Maafkan Ibu ya, Farras", ucap ibu persis sama dengan sinar bulan yang sedang muram.

Sepeninggal ibu, kami saling terdiam di ruang makan. Rumaisha masih belum memulai penjelasan apapun. Hingga, sekitar lima menit berselang ia menggeser kursi. Tangannya meraih pepesan itu, mendekatkan piringnya ke arah kami, dan membongkarnya dihadapanku.

"Mas, sejujurnya tak pernah ada ikan peda dalam pepesan ini. Betul rasanya memang sedikit aneh sebab yang Mas Farras rasakan tadi adalah batang pisang yang sudah diolah ibu dan diikatkan pada batang kayu asem kecil. Inilah yang dimasak ibu berulang-ulang, bertahun-tahun sejak aku masih kecil hingga aku remaja." istriku berusaha menjelaskan dengan gamblang.

"Bapak sengaja selalu makan paling belakangan karena tak ingin makin terluka, menyadari ketidakberdayaannya merawat orang-orang yang dikasihinya. Hingga ibu punya ide untuk menghidupkan kisah ini. Mas masih ingat kisah seorang ibu yang memasak batu pada jaman Khalifah Umar bin Khattab, bukan? Begitulah awalnya." Rumaisha melanjutkan penuturannya. Ia juga mengaku mengetahui kebenaran ini serupa dengan kejadian hari ini, ketika kayu itu sudah lelah terus berpura-pura menjadi ikan peda.

Aku mendengar samar bapak terbatuk-batuk. Pikiranku kosong. Suara istriku yang masih terus bercerita semakin lama makin kabur. Jiwaku menjauh pergi karena tak sanggup merasakan pedihnya dadaku sekarang.

Andai bisa kini aku ingin menangis sesuka hati, tapi tradisi terlanjur mengajarkanku tentang lelaki sejati tak boleh sembarang mengeluarkan air mata. Sesak. Nyeri.

Bayangan almarhum ibu, bapakku bergantian dengan wajah bapak dan ibu mertuaku muncul dihadapanku. Aku bersyukur Tuhan menamparku hari ini. Sebab aku jadi mampu memahami kasih sayang mereka. 

Hikmahnya lagi aku makin berusaha mendorong diriku lebih keras lagi untuk menghidupkan kisah bahagia lain dikeluarga ini.

Pepesan oh pepesan nyatanya kau tak sekedar pepesan, hadirmu sarat pesan.

Tamat
Read More

Fathin Faridah dan Gerbong Impiannya

Sabtu, 02 November 2019


Fathin Faridah, seorang perempuan yang aku kenal sejak bulan Ramadan lalu tepatnya ditantangan Ramadan Writing Challenge One Day One Post tahun 2019. Ia muncul menjadi salah seorang penanggung jawab yang cukup aktif muncul dan memberikan semangat dikelompokku saat itu.

Bulan telah berlalu, tak ada lagi tegur sapa melalui cerita di dunia maya tempat kami biasa bertegur sapa. Lalu, tak lama dipertemukan lagi dengan perempuan berzodiak scorpio ini. Ia yang lahir di Solo tanggal 23 Oktober 1992 menjadi penanggung jawab kelasku lagi. Kali ini bertemu ditantangan menulis 60 hari atau kurang lebih delapan pekan yang diselenggarakan oleh Komunitas ODOP. Tantangan ini telah berjalan cukup lama dan kini telah memasuki gelombang atau biasa disebut dengan batch ketujuh.

Sebuah kehormatan mendapatkan si dara manis yang mengaku masih on going status pernikahannya ini jadi penanggung jawab. Pasalnya ia cukup teliti dalam tatanan dan ejaan Bahasa Indonesia, jadi kelemahanku pun bisa terkoreksi. Pilihan kata dan kalimatnya ceria, cerdas dan kadang tak biasa membuat segar suasana.

Setelah berhasil meraih gelar sarjananya di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro Semarang, ia tak berhenti mengejar impian dan passionnya yang lain. Ia kemudian mengikuti Fashion Design Course, dan minat inilah yang membuka jalur profesional yang ia cintai selain dunia literasi tentunya. Kini rasanya aku semakin bangga mengenal pemudi anak bangsa yang dengan bangga mengenalkan diri sebagai Produsen Busana dan Creativepreneur. Keren ya?

Penyuka buku Trilogi Lord of The Rings, Tetralogi Bumi Manusia. serta penggemar grup musik legendaris Queen ini kalau sedang tidak banyak kegiatan, malas atau sedang bosan mengaku justru memilih untuk mendesain. Wah, luar biasa 'gabut' saja bisa jadi produktif perlu dicontoh nih!

Gadis berkerudung ini mengaku aktif pula di organisasi, tak hanya di kampus. Namun, dahulu bersyukur mendapatkan kesempatan mengikuti beberapa program PBB via online delegates. Ia mengatakan,
bisa "bertemu" orang-orang dari berbagai penjuru negara dan beranekaragam latar belakang itu ... It was so precious!
Terkait dengan dunia literasi dan dunia kepenulisan, ia mulai tertarik sejak masih kanak-kanak. Jika orang tua menyuruhnya membersihkan rumah atau membantu masak dan menemukan kertas pembungkus seperti bungkus tempe atau sejenisnya secara tak sadar langsung diambil dan dibacanya. Entah mungkin karena masih kecil dan memiliki rasa penasaran yang cukup tinggi jadi terus saja bereksplorasi dengan lingkungannya.

Ketertarikan pada dunia kata dan bahasa terlihat juga pada nilai raport untuk pelajaran bahasa Indonesia selalu meraih nilai maksimum. Apalagi jika tugas pelajarannya adalah mengarang, sudah pasti hatinya riang gembira mengerjakannya.

Kebanggaan hati terbesar yang tak pernah ia lupakan adalah pernah mengekspor busana muslim ke Singapura untuk sebuah brand milik temannya.

Tidak berhenti di sana prestasi di dunia literasi, Fathin telah memiliki kurang lebih 8 karya berupa buku fiksi yang telah ber-ISBN. Jalur non fiksi ia raih pengalamannya saat jaman masih jadi  mahasiswa. Pernah lolos dua kali pendanaan Dikti. Tapi batal ikut karena harus bertanggung jawab memegang program Pusat Kreativitas Mahasiswa di  fakultas. Karya non fiksi lain tentu saja skripsi yang ditulisnya, bahkan tulisannya sempat dijadikan penelitian dosen.

Saat masih berstatus mahasiswa PJ Fathin aktif dalam organisasi riset, bertanggung jawab pada pelaksanaan program PKM (semacam karya tulis) dari Dikti. Alhamdulillah, berkat dukungan banyak pihak yang submit makin banyak dari tahun sebelumnya. Tim yang lolos pendanaan juga makin banyak, ditambah lagi pecah telur bisa ada yang masuk PIMNAS dan mendapatkan gold medal. Wow, prestasi yang luar biasa membanggakan.

PJ Fathin begitu kami sering menyapanya di grup, mengaku pernah mengalami kegagalan yang tak pernah bisa ia lupakan. 

Kenangan yang paling "berkesan" terjadi saat harus melepaskan impian bekerja di luar pulau dan melanjutkan sekolah lagi ke luar negeri menuntut ilmu jenjang pendidikan lebih tinggi dengan beasiswa.

Sebagai anak muda tentu saja ia memiliki impian ingin mandiri dan mendapat gaji yang besar. Ditambah lagi program ini resmi dari salah satu Kementerian, maka ia makin bermimpi ingin bergabung di dalamnya. Tapi apa dayanya orang tua tidak memberikan ijin. Kesempatan untuk bisa go abroad  dengan berupaya mendapatkan beasiswa full untuk jenjang S2-S3 juga harus ia relakan. Sebab, tetap saja orang tua juga tidak memperolehkan.

Bahkan ia mengaku pernah meminta ijin  bisa kerja di NGO yang punya akses ke PBB, juga tak diperbolehkan. Katanya,

It was so heart breaking. Aku gagal meyakinkan orang tuaku bahwa aku bisa menghadapi masa depan dengan pilihanku sendiri, meski aku perempuan.


Fathin melihat hambatan terbesar yang ia alami di dunia literasi ini lebih mengarah pada kemampuan manajemen waktunya. Sebab sekarang ini fokusnya sedang mengembangkan usaha sendiri. Apalagi ia yang masih pemula dan ada sisa perasaan belum ikhlas melepas kegagalan di masa lalu. Kegagalan yang mana ya kira-kira hingga masa sekarang masih saja sulit melepasnya?

Apapun jalannya pasti ada ujian dan hambatan, oleh karena itu pasti ada solusi yang bisa dilakukan. Begitu pula bagi PJ Fathin, ia memiliki dua solusi untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Pertama, saat ini melakukan job description PJ di ODOP sebaik mungkin. Setidaknya ini bisa melatih manajemen waktu. Membagi ranah antara ego (pribadi) dan kewajiban kelompok.

Kedua, menyusun ulang target-target yang hendak dicapai. Mulai dari target harian sampai lima tahun mendatang. Biar tidak kehilangan arah lagi.

Bagi penulis pemula ada beberapa tips yang diberikan PJ Fathin agar mampu menulis yang sesuai kaidah tapi tetap enak dibaca. Paling utama katanya,

Mau menulis ya menulislah, mulai saja dulu!

ODOP bisa menjadi salah satu alternatif media latihan yang cukup ampuh. Step by step, challenge by challenge, materi per materi, dan terus praktekkan.

Nanti saat sudah menemukan ritmenya pasti akan mengalir dengan sendirinya. Lalu jangan segan mencoba ikut berbagai macam perlombaan menulis, pilih fokusnya sesuai passion. Atau buat suatu tulisan yg menantang sesuatu yang berbeda.

Sejauh ini PJ Fathin merasa masih belum banyak memiliki sumbangsih yang telah ia perbuat di dunia literasi. Belum banyak dampak manfaat yang luas bagi masyarakat. Hanya terbatas berbagi informasi untuk membangun opini masyarakat yang lebih positif. Berbeda saat masih menjadi mahasiswa, justru merasa bisa berbuat lebih banyak. Seperti bergabung di Badan Ekseskutif Mahasiswa, masuk di divisi Sospol (Sosial Politik) kemudian membuat program utk artikel-artikel pencerdasan masyarakat. Ada juga program yang melatih mahasiswa terutama yang ikut BEM agar lebih berani menulis.


Harapan utama perempuan  yang penuh kreativitas ini pada dunia literasi adalah 
Meningkatnya minat baca khusus anak-anak di negeri ini.

Utamanya minat baca pada buku yang berisikan amanah cerita yang kaya. Mungkin maksudnya agar anak-anak muda bisa mengambil inspirasi dari sana. Serta, berharap semoga novel cerdas milik Pak Pramoedya Ananta Toer bisa mendapatkan Nobel di bidang sastra.

Itulah biografi singkat dari PJ khFathin. Meskipun telah cukup banyak memiliki prestasi, ia berkata masih merasa harus terus 'on going' berkarya.

Bagi yang ingin lebih mengenalnya, bertanya dan berbincang apa saja silahkan  langsung berseluncur ke blog pribadinya yaitu : fathinfar.blogspot.com untuk mengetahui karya-karya yang diabadikannya.

Nah jika teman-teman  ingin berkunjung ke Instagramnya  @frodifar , di sana kita akan melihat beberapa gambar hasil desain dan menggambar PJ Fathin. Silahkan dibuktikan sendiri bagaimana rekam jejak kehidupannya yang luar biasa keren. Semoga gerbong impiannya yang panjang sampai selamat menuju tujuannya dan membawa memanfaatkan yang luas.

Aamiin
Read More

Pepesan Peda Daun Singkong (4)

Jumat, 01 November 2019


Sekelebat bayangan wajah istriku lewat, ia melihat dengan sorot mata layu. Maafkan aku, Sha. Pasti berat untukmu mengiyakan rengekanku. Kejemawaan yang merasuki memaksamu memberi anggukan setengah hati. Aku menangkapnya dengan jelas tapi acuh tak acuh. Kepalaku hanya berisi keinginan yang sudah membuncah untuk bisa menikmati pepesan peda daun singkong siang ini. Penanda kemenangan sebagai perayaan, pikirku esok tadi.

"Jangan lupa ya, hari ini aku pasti akan diterima kerja di pabrik pipa itu. Artinya, siang ini separuh pepesan peda ini harus kamu sisihkan untukku, Sha. Jangan lupa," kataku berpesan padanya. 

Aku merasa di atas angin karena Rudi yang memberikan informasi lowongan ini sudah lama kerja disana. Ia punya pengaruh cukup besar untuk memberikan referensi penerimaan karyawan baru. Rudi adalah salah satu teman dekat yang sampai sekarang masih terus saling berkirim kabar.

"I..i...ya...nanti kalau sudah pulang Isha sisihkan, Mas" istriku memang baik seperti bapak dan ibu mertuaku. Ia sangat patuh padaku meski aku belum mampu memberikan apapun untuk menyenangkannya.

Kini semua sirna, pekerjaan yang digadang-gadang olehku sudah ada yang mengisi per-hari ini. Ia datang kemarin, sehari lebih cepat dariku. Niatnya sama untuk melamar posisi administrasi. Tampaknya ia lebih muda dariku. Pihak pabrik menyampaikan permintaan maafnya karena belum sempat memberikan pengumuman lowongan ditutup.

Akhirnya aku pulang dengan membawa kegagalan. Tak ada gairah rasanya, hampa. Belum lagi lima puluh ribu yang niatnya kupinjam dari ibu juga ikut ludes tanpa bekas. Gara-gara tak mampu menahan godaan es Gempol Plered. Tak sengaja matanya terpeleset melihat gerobak penjual es di pojokan halaman samping pasar, tempat aku turun dari angkutan kota. Uang sakuku sudah berkurang untuk membayar angkutan tadi pagi, ojek dari gerbang kawasan sampai ke dalam lokasi yang aku tuju dan beberapa pengeluaran kecil lainnya. Beruntung saat kembali ada satpam pabrik yang baik hati menawarkan untuk memberikan tumpangan hingga ke depan. Sekalian ada perlu begitu katanya.

Lumayanlah kalau bisa berhemat lima belas ribu hari ini, bisa aku tabung nanti. Nyatanya panas terik siang ini tak mampu membendung arus nafsuku menikmati segarnya semangkuk es Gempol Plered.
"Es Gempo sama tiga gorengan ya? Jadi semuanya lima belas ribu ," ujar si ibu penjual es.

Meski aku terkejut tetap aku bayarkan, sudah terlanjur. Aku segera pamit. Takut kepanikanku terbaca olehnya. Malu. Artinya kalau tidak salah berhitung tak ada lagi sisa uang ditanganku. Aku merogoh saku celanaku berharap menemukan keajaiban. Kosong. Beralih ke tas ransel, kutelusuri dengan teliti tiap sakunya. Alhamdulillah, keberuntunganku belum habis hari ini. Tanganku merasakan menemukan lembaran lecek didasar salah satu saku tas. Kutarik dengan cepat saking penasarannya. Kurapikan lipatan tak beraturan itu. Lima ribu rupiah. Baiklah, tetap aku bersyukur. Lembaran ini telah menolongku memangkas separuh perjalanan yang harus kutempuh dengan kaki.

Gontai langkahku menuntaskan perjalanan pulang. Akhirnya sampai juga dipinggir jalan utama kampung, dan jujur sungguh aku tak sanggup masuk ke gang menuju rumah. Matahari juga sudah mulai bergegas pulang. Entah tepatnya pukul berapa saat itu yang jelas aku sudah tenang karena telah salat dhuhur dan sengaja ku laksanakan dengan jamak takdim. Takut kalau ada halangan lain ketika aku berjalan jauh.

Aku melihat diseberang sana, bengkel kecil bapak mertuaku. Letaknya tepat dibibir jalan desa hampir berjejeran dengan masjid desa yang letaknya lebih menjorok ke dalam.  Bengkel kecil prasasti kebanggaannya. Hampir tak pernah sepi dikunjungi terutama oleh anak-anak kampung. Aku tetap berdiri disini tanpa keinginan mendekat. Aku tak sanggup mengangkat wajahku dihadapannya. Wajah dan tangannya sudah penuh kerutan keriputnya. 

Tampak beliau sore itu sedang mengecek keadaan ban sepeda anak yang baru selesai ia kerjakan. Masih ada tiga anak yang mengantri. Bapak sangat fokus. Ia memukulkan kunci pas ke ban tersebut berulang kali. Seragam kebanggaannya terlihat lusuh juga compang-camping. Ibu mertua sudah pernah meminta beliau untuk memensiunkan seragam kebanggaannya itu, tapi tetap saja pilihan selera tak akan bisa dibohongi. Kembali lagi dan lagi.

Aku sudah berjalan hingga pertigaan kedua menuju rumah mertuaku. Lalu, belok kiri dan berjalan lurus sekitar dua puluh satu langkah. Tibalah di halaman rumah beliau yang mungil namun resik juga asri. 

Rumaisha menyambutku di depan pintu. Aku menatapnya, dan ia tahu hari ini tak akan ada daging ikan peda untukku. Hanya ada pepesan daun singkong berbumbu.

Azan subuh sayup-sayup terdengar. Aku terbangun dan mendapati istriku tampaknya sudah terjaga lebih dulu. Bergegas aku turun dari ranjang hendak menuju langgar, hari ini giliranku jadi imam.

Belum sampai ke sumur, kudengar isak pelan dari area sekitar dapur. Kukenali betul suara ini. Kudapati istriku menangis sendirian di meja makan.

"Hei..hei..Ada apa, Sha?" bisikku sambil mengusap punggungnya.

"Ba...bapak sakit. Hari ini bapak harus beristirahat. Sesak dan batuknya kambuh. Kita harus apa, Mas?" jawabnya terus dalam isakan.

Batuk bapak mertuaku memang tak kunjung henti. Sejak semalam sampai rumah hingga baru saja aku dengar. Badannya yang renta tak kuat lagi menahan kelelahan fisik yang mendera.

Aku mengerti, isakan itu bermakna ganda rupanya.

<bersambung>
Read More

Pepesan Peda Daun Singkong (3)

Kamis, 31 Oktober 2019

"Kalau saja apa, Sha?", Kataku memotong kalimatnya yang tanggung. Aku pandanginya lagi lebih seksama.

"Andai saja kamu sudah bekerja, Mas. Tentu kamu bisa makan pepes sebenarnya, bukan hanya daun singkong dan bumbunya saja. Setidaknya di meja makan kita tak hanya ada satu pepesan peda. Satu untukmu dan satu lagi untuk bapak", akhirnya istriku menjawab dengan takzim. Rumaisha duduk bersila di lantai, kepalanya terus menunduk dan tangannya terus melipat cucian yang telah kering untuk besok diseterika.

Aku terkesiap mendengar jawabannya. Nadanya lirih tapi jelas itu ungkapan dari hatinya. Mukaku memanas menahan malu. Apa yang dikatakan istriku adalah fakta. Tak seharusnya harga diriku terluka.

Keluarga bersahaja ini memang sangat menjunjung tinggi kehormatan lelaki pencari nafkah. Selain karena lelaki adalah pemimpin. Ia akan makin dihormati dan dilayani segenap hati. Alasannya agar selalu mampu mencari rejeki yang halal dengan tenang. 

Begitu penuturan ibu mertuaku, saat satu hari mendengar rumor tak sedap tentang rumah tangga tetangga. Beliau bercerita dari balik dinding dapur, sambil menyiangi daun singkong yang sudah dibawakan bapak. Maksudnya mungkin menasihati aku dan istriku yang sedang duduk serius membaca koran, mencari lowongan kerja tepatnya. 

Ibu mertuaku menekankan pesannya berkali-kali, jangan sampai lalai menjaga kebutuhan pokok ini. Lelaki bisa mudah tergoda menggali di ladang rejeki yang tidak berkah untuk dibawa pulang ke rumah. Seluruh keluarga nanti yang rugi. Kami saling melirik dan hanya manggut-manggut.

Bapak dan ibu mertuaku memang dikenal sebagai orang yang baik dan taat beribadah. Kehidupan sehari-hari mereka cukup religius dan berakhlak baik. Tidak pernah neka-neka. Oleh karena itu tidak heran kalau akhirnya aku mendengar wejangannya, jika makanan halal lebih utama dibandingkan makanan enak apalagi mewah.

Kebaikan hati mereka pula yang membuat aku diterima jadi menantunya. Mereka pernah menyampaikan alasan mengapa aku diterima, tapi sukar sekali kupercaya. 

"Farras, maukah kamu jadi menantu bapak dan ibu? Lalu, tinggal bersama kami. Kamu nggak perlu bingung, Nak. Ini semua Allah yang menggerakkan, karena kepandaianmu mengaji. Kamu sukarela merawat langgar kami juga kamu jadi imam andalan warga," suara Bapak yang berat saat menyampaikan niatnya.

Namun, aku yakin pasti ada alasan lain. Benar saja, tak sengaja aku dengar kasak kusuk saudara-saudara saat walimah kecil-kecilan dihelat di rumah mertua. Apalagi kalau bukan karena aku ini pemuda papa, dan yatim piatu. 

Itu alasan utama bapak dan ibu mertuaku meminta secara khusus untuk jadi menantu mereka. Ibuku meninggal sejak aku belum bisa bicara. Ayahku baru saja meninggal kurang dari dua bulan yang lalu. Kanker kelenjar getah bening telah menyebar dan merusak organ vital tubuhnya.

Beliau sebenarnya sangat optimis untuk sembuh dan ingin melihat aku dan adikku meraih kesuksesan. Namun, baru kemoterapi ketiga yang seharusnya terjadwal tujuh kali. Takdir sudah mengirimkan kereta penjemputan. Ayah menghembuskan nafas terakhirnya seminggu sebelum sidang skripsiku. Aku harus menabahkan diri demi adikku.

Rumah dan semua barang-barang peninggalan beliau telah habis kujual. Menutup semua biaya pengobatan ayah selama di rumah sakit. Sisanya aku pakai menyelesaikan administrasi kampus agar aku bisa tetap wisuda dan meraih gelar sarjana. Seperti harapan almarhum ayah yang terus menerus berkata ingin anak-anak bisa jadi sarjana. Sedangkan, adikku yang baru kelas 5 terpaksa harus mau dipindahkan ke kampung halaman keluarga ayah. Kami memang bukan warga asli desa ini. Pakde meminta secara khusus kepadaku, dan ini juga keputusan keluarga besar jadi aku tak boleh menolak.

Sejak selesai diwisuda, aku memutuskan tinggal di kota ini. Aku tinggal di masjid desa, menjadi marbutnya Mengamalkan ilmu yang aku punya dan bisa. Sore hari aku menjadi guru mengaji anak-anak desa. Pagi hingga siang aku tetap pergi berusaha melamar pekerjaan ke kantor atau perusahaan yang katanya sedang membutuhkan karyawan. Tapi, teka-teki hidup tak semudah itu, hingga sebelum tepat sebulan aku tinggal di masjid itu. Bapak mertua datang memintaku jadi menantunya.

Jarang sekali ada orang tua yang mau menikahkan anaknya dengan pengangguran. Memberi tempat berteduh dengan cuma-cuma, memberikanku makan  dan menyerahkan anak gadis satu-satunya menjadi milikku, makmum hidupku. Aku memang terlalu banyak menuntut, tak tahu diri. Bukannya berusaha lebih keras untuk membalas budi. Malah sibuk menginginkan daging ikan peda milik bapak mertua.

Aku yang tadi tak sabar ingin sampai di rumah. Kini tak tahu lagi apakah aku harus berhenti atau justru tetap berlari saja. Tiba-tiba aku dilanda kegundahan hebat, antara perasaan ingin pulang dan memperlambat langkah kakiku karena malu.

Kusesali kebebalanku, tak seharusnya aku berkata seperti itu tadi pagi pada Rumaisha. Mengapa pula harus terbawa kepongahan sesat macam itu. Dasar keblinger!

Ah, aku dikepung rasa bersalah. Kakiku mondar-mandir dan hanya kalimat istighfar yang mampu ku ucapkan berulang kali.

"Astaghfirullah...astaghfirullah...Ya, Allah..."

<bersambung>





Read More

Pepesan Peda Daun Singkong (2)

Rabu, 30 Oktober 2019



Andai kata...ah...andai saja tidak ada andai, hatiku terus saja mengomel sendiri. Semua gara-gara pepesan peda daun singkong yang sudah tak sabar aku nikmati. Tentunya aku tak akan turun gunung, hingga ke kawasan industri ini. Berada di sini tampak seperti negeri antah berantah bagiku. Luas, gersang dan berdebu. Hanya ada gudang, pabrik- pabrik, truk yang sedang bongkar muat.

Lintasan bayangan tentangnya tadi membuatku bangkit. Menegakkan punggung, meluruskan tulang-tulang kaki yang masih terasa kaku bak balok kayu. Pemanasan kecil kuamalkan sebelum memulai perjalananku lagi.

Enam kilo meter sudah aku cicil tadi sebelum akhirnya menyerah. Paling tidak lima setengah kilometer lagi aku harus menyusuri jalan menuju rumah mertua. Lalu, aku bisa menyantap nikmatnya pepesan peda daun singkong kegemaranku.

Pepesan peda daun singkong buatan ibu mertua memang lezatnya tiada tanding. Daun singkong segar yang diambil langsung dari kebun milik Haji Kholidi. Tiap hari bapak selalu membawa buah tangan ini untuk diolah bersama ikan peda.

Bapak mertua merupakan generasi kedua yang jadi orang kepercayaan keluarga Haji Kholidi. Bertugas mengawasi dan membersihkan kebun yang ditanami aneka buah itu. Tiap pagi hingga sebelum zuhur beliau "dinas" di kebun itu.

Lepas itu dengan segenggam daun singkong ditangannya beliau pulang, membersihkan badan, salat dan makan. Jika memungkinkan beliau pasti beristirahat sebentar, sebelum mengganti seragam dan segera membuka bengkel sepeda kecil di pinggir jalan masuk kampung.

Seingatku selama sebulan ini tak pernah sekalipun pepesan peda daun singkong ini luput hadir. Menu wajib yang harus ada di meja makan. Khususnya saat makan siang. Berbalut daun pisang yang digulung rapi, diselipkan lidi pengait di sisi atas dan bawahnya. Lauk lain hanya sebagai pelengkap, tempe atau tahu goreng. Sesekali ada kejutan telur dadar gulung yang diiris tipis-tipis.

Keherananku saat pertama kali diterima tinggal di rumah ini. Mengapa bisa ibu mertuaku sudah mengetahui hidangan kegemaranku? Pepesan ikan peda daun singkong berbumbu pedas dan sepiring nasi hangat yang ditanak manual. Asapnya mengepul di udara. Aroma harum mereka saling bergelut di indera penciumanku.

Mataku berbinar saat pertama tanganku ingin mengambil sejumput ikan peda yang ada dihadapanku. Belum sampai tanganku bergerak, ibu mertua sudah membaca gelagatku. Beliau segera mengatakan sebuah kalimat yang akhirnya aku hapal di luar kepala, sebab selama sebulan ini kalimat ini selalu beliau ulang.

"Nak, maaf ambillah daun singkong dan bumbunya ya? Ikannya nanti buat bapak."


Aku tak punya pilihan lain hanya menurut saja sembari menelan liur. Aku heran sebagai menantu satu-satunya, kenapa ibu begitu tega mengatakan itu. Toh, aku tak akan mungkin sampai hati menghabiskan pepesan yang juga hanya satu-satunya itu.

Kala itu meski sesungguhnya aku masih bersungut-sungut, tetap kulanjutkan makanku. Mula-mula sekali aku maklum, sebab mertua dan istriku melakukan hal yang sama. Setiap hari selama sebulan kuamati, mereka hanya makan sejumput pepesan daun singkong dan bumbunya.

Namun, kalau dipikir-pikir memang aku harus lebih menaruh hormat pada bapak mertuaku. Beliau yang menafkahi keluarga ini dengan sisa tenaga rentanya. Pagi hingga petang terus menggali sumber kehidupan untuk keluarganya.

Menantu semata wayangnya ini masih pengangguran. Tak selayaknya menggerutu. Aku harus mampu menahan diri serta mensyukuri nikmatnya bumbu pepesan daun singkong yang diaduk dengan nasi hangat.
Pernah satu waktu, aku tak kuasa menahannya. Saat sedang berdua saja dengan Rumaisha, istriku, aku memberanikan diri mengajukan keluhan atas perlakuan " tidak adil" ini. Ia hanya menundukkan kepalanya.

Sesaat kemudian Rumaisha menatapku dengan pandangannya yang sulit sekali aku artikan. Tampaknya ia ragu mengatakannya. Mulutnya bergerak-gerak tapi tak kunjung terdengar suara.

"Mas, coba kalau..."

(bersambung)



Read More

Tradisi Saparan Kecamatan Getasan : Indahnya Silaturahmi, Berbagi dan Toleransi



Kesempatan yang luar biasa bagiku bisa bergabung di acara 'One Day Trip' yang diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata Kabupaten Semarang pada hari Senin, 28 Oktober 2019 bertepatan dengan peringatan hari Sumpah Pemuda.

Pengarahan oleh Panitia
Sambutan Kepala Dinas Pariwisata Kab. Semarang


Menurut jadwal tertera rombongan akan menuju satu destinasi untuk melakukan eksplorasi. Desa wisata Dusun Sumogawe, Desa Sumogawe, Kecamatan Getasan atau lebih dikenal dengan Kampung Susu.

Rundown Kegiatan 'One Day Trip'


Pagi itu seluruh blogger yang sudah terdaftar berkumpul di Dinas Pariwisata Kabupaten Semarang yang terletak di Jalan Diponegoro No.202, Mijen, Gedanganak, Kecamatan Ungaran Timur. Letaknya tak jauh dari gerbang selamat datang kota Ungaran. Seperti biasa aku yang selalu bermasalah dengan peta, harus merasakan pagi berbumbu drama. Jika sesuai estimasi waktu yang tertera di google map, aku hanya akan berkendara sekitar 30 menit sampai ke kantor dinas menggunakan motor via Gunung Pati. Rute yang sebenarnya sudah lazim aku lewati.

Tagline Pariwisata Kab. Semarang dan Kampung Susu


Sesepuh desa


Ya, memang dasar nasib atau aku yang belum bisa bersahabat dengan peta maka tetap panik dan tersesat. Bingung saat tak kunjung menemukan gerbang Selamat Datang. Bertambah lagi peta digital yang dadakan ikut menggodaku karena tiba-tiba beberapa kali offline dan tidak bisa mendeteksi lokasi. Daaar!! Putus asa aku coba putar balik di SPBU yang ternyata tak jauh dari lokasi yang aku cari. Aku susuri lagi jalanan tadi, memulai lagi dari terminal Sisemut.

Padahal aku sudah berada di dekat lokasi sebelum jam setengah delapan. Bertekad mencari sekali, dengan niat dalam hati jika memang nggak ketemu ya sudah pulang atau main ke tempat lain. Kubaca peta berulang kali dan lebih seksama memperhatikannya tandanya. Kubuka juga grup 'Trip Blogger' dan seorang teman membalas pertanyaanku yang bertanya penanda yang bisa aku pakai untuk mengenali titik lokasi. Di samping kampus Ngudi Waluyo, setelah pusat oleh-oleh Tahu Bakso Bu Puji.

Aku lanjutkan perjalanan dengan harap-harap cemas. Alhasil aku mengendarai motor sangat pelan karena takut ada yang terlewat.  Alhamdulillah, ditengah-tengah hati yang putus asa, Diajengku Maritaningtyas, menelepon. Mungkin ikut panik kenapa belum sampai juga, karena sebelum berangkat aku memang berkabar dengannya. Ternyata malah dia sudah sampai dulu dibandingkan aku.

Aku tak bisa mendengar suaranya dengan jelas sebab jalanan propinsi terlalu bising pagi itu. Kututup teleponnya dan kukirim foto lokasi mutakhirku.
Ternyata sebelum telepon ia sudah memberikan informasi yang memang belum sempat terbaca olehku. Ia mengatakan jika lokasi Dinas Pariwisata Kabupaten Semarang ada di dekat papan petunjuk masuk jalan ke Pondok Pesantren Gintungan. Satu lokasi yang pernah kami berdua kunjungi saat melakukan kampanye anti bullying bersama squad KLiK dari komunitas Ibu Profesional Semarang. AHA! Tak sampai satu menit sampai juga di sana.

Motor aku titipkan di area parkir kantor, lalu bergegas masuk menuju ruang tempat pengarahan sekaligus registrasi ulang peserta. Lega sekaligus malu. Aku langsung bergabung diantara mereka. Mendengarkan pengarahan dari Bu Hedrastuti Ikasari selaku Seksi Pengembangan Pasar Wisata dan dilanjutkan sambutan oleh Kepala Dinas Ibu Dewi Pramuningsih.

Struktur organisasi Dinas Pariwisata Kab. Semarang

Inti yang disampaikan oleh beliau berdua bahwa Pariwisata Indonesia telah menjadi andalan, selain minyak bumi dan gas. Maka perlu strategi pemasaran yang handal. Tidak lagi hanya bisa mengandalkan leaflet atau brosur namun juga lewat teknologi digital. Memanfaatkan sosial media sebagai alternatif pemasaran.

Tercatat dalam data bahwa belum banyak wisatawan nusantara yang tinggal untuk berwisata hanya sekitar 0.9 % artinya nggak tidak ada sehari berada di kabupaten Semarang. Wisatawan asing tercatat sekitar 1.9 % artinya mereka tidak terlalu lama tinggal hanya sekitar dua hari.

Menurut data, kunjungan wisatawan di Kabupaten Semarang pada tahun 2018 sejumlah 3.300.00 wisatawan nusantara, dan mancanegara sekitar 800.000 jumlah yang masih harus terus ditingkatkan. Kabupaten Semarang memiliki 35 Desa wisata, 13 hotel berbintang, 195 non bintang.

Tidak lama kemudian kami berangkat menuju lokasi menggunakan armada yang telah disediakan oleh panitia. Selama perjalanan dipandu oleh Duta Wisata Kabupaten Semarang, Mas Nanang begitu kami mengenalnya. Ia adalah Duta Wisata Kabupaten Semarang tahun 2018.

Destinasi pertama adalah ke Dusun Sumogawe Desa Sumogawe, kita akan mengenal salah satu kekayaan dan kearifan budaya lokal di kabupaten Semarang yaitu tradisi Saparan.

Gapura Dusun Sumogawe


Aneka Jajan Pasar 

Kurang lebih satu jam perjalanan menuju kecamatan Getasan. Kecamatan ini berbatasan langsung dengan kecamatan Ngablak kabupaten Magelang di sebelah barat, kecamatan Banyubiru di sebelah utara, kecamatan Tengaran di sebelah selatan, dan kota Salatiga di sebelah timurnya.

Produk andalan Desa Sumogawe

Labu kuning, Tiwul, Pisang Rebus


Sampai di lokasi, rombongan kami disambut dengan begitu hangat oleh warga setempat. Terlihat juga para pemuda dari Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata) menggunakan seragam khusus berwarna biru tua ikut mendekat menyapa kami dengan hangat. Sebuah panggung besar telah berdiri megah, terlihat para penyanyi dan pemusiknya sudah mulai menyemarakkan suasana pagi itu. Kami dipersilahkan untuk mengambil 'welcome drink' yang telah disediakan.

Ubi manis

Minuman yang disuguhkan ada air mineral, teh hangat, dan tak ketinggalan susu murni yang sudah dikemas dan didinginkan. Wow, ternyata susu murni Nasional yang terkenal jingle-nya itu hasil produksi kabupaten Semarang lho! Bahkan kami juga menerima informasi bahwa desa ini merupakan salah satu supplier bagi sebuah merek susu kemasan yang sudah masyhur di Indonesia. Kalau sudah begitu jelas dong kualitasnya nggak main-main. Selain itu aneka penganan ala desa juga tersaji hangat di meja. Ada jagung manis, labu kuning kukus, pisang rebus, kacang rebus, tape ketan dan banyak lagi lainnya. 
Hawa yang sejuk khas pegunungan dengan makanan autentik macam ini. Mana mungkin bisa menolaknya.

Setelah beramah-tamah sebentar dengan penduduk setempat, kami diberitahu bahwa tak lama lagi rombongan Kirab Budaya Saparan akan disampai. Ya, warga desa wisata Sumogawe yang menjadi peserta kirab telah berkeliling desa bersyukur merayakan hari jadi dusun mereka.

Kirab Desa

Menikmati  nasi tumpeng

Ada yang sudah tahu apa itu tradisi Saparan? Jujur nih ya, aku baru pertama kali ini mendengar dan sekaligus merasakan langsung kemeriahannya. Semua warga dusun tumpah ruah ikut menyemarakkan acaranya.

Ketua Pokdarwis Ds. Sumogawe dan Koordinator Pemandu


Nah, sekarang mari kita berkenalan dengan tradisi Saparan. Tiap dusun di desa Sumogawe yang berjumlah 15 dusun memiliki hari pasaran berbeda-beda untuk merayakan tradisi Saparan. Oleh karena itu peringatan hari jadi atau Saparan di desa ini tidak bersamaan alias bergiliran.

Gunungan hasil bumi

Pasukan Penari Tari Prajuritan

Bergantung pada kapan hari jadi dusun itu tentu saja menurut perhitungan penanggalan Jawa. Sapar menurut kalender Jawa adalah bulan kedua setelah bulam Suro atau jika dalam penanggalan Hijriyah dikenal dengan Muharam.

Warga berkumpul setelah kirab

Simbolis Pembukaan Perayaan Merti Desa


Serunya makan bersama


Saparan diperingati sebagai wujud rasa syukur atas segala nikmat Tuhan Yang Maha Esa atas rejeki air, jalan, panen hasil bumi yang melimpah juga ketentraman warga desanya. Berbagai hasil bumi, aneka jajanan, dan yang harus ada yaitu tumpeng. Gunungan-gunungan ini yang diarak keliling desa. Setelah itu dibawa ke titik kumpul dan dilakukan ritual doa bersama-sama seluruh warga yang dipimpin oleh para sesepuh desa.

Anak-anak juga tak ketinggalan ikut berpartisipasi


Uniknya tradisi Saparan ini menurut pendamping kami dan juga warga desa lebih ramai dari lebaran. Awalnya memang sempat aku berceloteh kok suasananya mirip lebaran, ya? Banyak toples makanan dan minuman yang terhidang di rumah-rumah penduduk. Nyaris tak ada pintu yang tertutup di desa itu. Semua terbuka lebar dan penghuninya tampak siap menerima tamu. Termasuk menyiapkan lahan parkir untuk para tamu yang datang.

Deretan jajanan lengkap


Supaya tetap rapi dan tertib


Rekan kerja, tetangga, sanak keluarga semua datang berkunjung

Teras juga penuh dengan tamu

Benar saja, ketika sampai dijadwal berkeliling desa dan berkunjung ke rumah warga. Terjawab semuanya. Pemandu kami sampai berulang kali terkekeh karena keheranan kami. Satu lagi keunikan menakjubkan yang aku temui, tiap kami singgah ke rumah pantang bagi tamu untuk menolak makanan yang disediakan tuan rumah. Sebab dipercaya jika menolaknya, maka kita dengan sengaja menghalangi rejeki yang diberikan pada kita.

Pantang pulang sebelum makan!




Makanan yang aku maksudkan bukan kudapan ya? Makanan besar, nasi dan segala macam lauk pauk lengkap dengan buahnya. Bayangkan saja jika lebih dari lima rumah atau seluruh kampung harus kalian kunjungi. Menakjubkan, bukan?

Menurut pemandu kami dan narasumber warga yang dikunjungi, perayaan Saparan ini berlangsung tiga hari sejak dimulai nyadran di hari Jumat. Setelah itu kenduri khusus, ritual ini hanya untuk sesepuh atau pejabat desa. Baru kemudian puncaknya Saparan, yang kebetulan di dusun yang kami kunjungi dusun Sumogawe desa Sumogawe ini jatuh di Senin legi.

Alas kaki berjejeran tanda tamu yang tak sedikit

Tamu silih berganti datang, semua berbondong-bondong berkunjung ke sanak saudara, famili, tetangga, teman sekolah, juga teman kerja. Hebatnya lagi tidak hanya melulu orang tua yang berkumpul merayakan Saparan ini, aku lihat anak-anak kecil juga remaja lelaki hal yang sama. Mereka berkumpul di satu rumah masih menggunakan seragam sekolah. Setelah satu rumah selesai mereka berjalan lain ke rumah teman yang lain. 

Sebuah tradisi kearifan lokal yang dibeberapa tempat sudah mati. Namun, di desa ini mungkin aku harus sepakat dengan si Mas Pemandu kelompok kami bahwa tradisi ini akan tetap lestari.

Ia berkata, "Di Sumogawe itu ada tiga agama besar. Islam, Nasrani, dan Budha. Saat Saparan kami semua saling mengunjungi. Berbeda dengan Lebaran, Natal atau Waisak. Tradisi ini tidak akan pernah berhenti karena kami (generasi muda) tahu dan sudah merasakan kebahagiaannya berkumpul dengan keluarga, teman jadi semangat Saparan ini pasti akan terus diwariskan."

Remaja pun asyik bercengkrama saat Saparan

Betul saja, pemandangan yang aku lihat sepanjang perjalanan menuju titik kumpul tidak berbeda dengan yang disampaikan pemandu kami. Anak-anak dan remaja yang masih berseragam tampak berkumpul di satu rumah. Bercanda dan bercengkrama dengan leluasa, sedangkan orang tua juga tampak sibuk menerima tamu-tamunya sendiri. 

Silahkan buat kalian yang penasaran dibuktikan sendiri deh! Pemandangan indah  tentang silaturahmi, berbagi dan toleransi khas negeri yang  sudah semakin mahal saat ini.
Read More