(Ini) Semesta Nayanika Swastamita!

Rabu, 02 Januari 2019

Hujan sore itu, angkasa tak segelap biasanya. Sekelebat aku melihat semburat cahaya jingga di ufuk barat. Aku tersenyum, "Indah" berseru sendiri dalam hati. Jendela dan pintu belakang kubuka selebar mungkin berharap aroma hujan bisa memenuhi ruangan ini. Ku pandangi langit sekali lagi lebih seksama. Entah apa yang aku cari di kedalaman samudera awan putih diatas sana.

Beruntung sekali keputusan kami untuk tetap mempertahankan ruangan terbuka di halaman belakang rumah. Kami masih  bebas memandang langit dan menghirup aroma wangi udara  bebas. Lamunanku terjeda saat mendengar sebuah lagu lawas favoritku dari Kla Projects diputar. Seketika perhatianku kini beralih ke arah radio tua kesayanganku. Ah, apa penyiarnya punya indera keenam ya..pas sekali jadi latar lagu nuansa sore ini. Aku tersenyum sendiri, pikirku Tuhan memang Maha Asyik. Di saat pikiran enggan bergerak dan akal hati sedang berisik menelisik kesana kemari seperti ini eh tiba-tiba lewat tangan penyiar radio itu dikasih lah backsound macam ini. Macam drama saja kalau skenario dan jalan ceritanya bagus tapi lagu latarnya jelek ya pasti nggak sempurna...nggak greget. 

***
Ayun berayun pikir mengalun
Beterbangan khayal keinginan
Lelah memilih arah terpasti
Jelaga malam halangi

Ooo raga
Masih jauh perjalanan
Kita tempuh
Saujana
Samudra membentang sambut layarku
Saujana
Hidup di seberang gemerlap mimpiku
Mungkinkah merapat ke sana (lalu aku bangun istana)

Awan berarak semakin laju
Riuh taufan ombak keras menderu
Telah mengering seluruh bibirku
Dahaga suka cita

Pandang jauh saja
***

Sembari menikmati lagu, ku raih buku catatan yang ada di meja multifungsi itu. Meja makan yang disulap jadi meja serbaguna termasuk fungsi meja kerja. Buku catatan itu memang sengaja kusiapkan sebab biasanya nuansa seperti ini tiba-tiba ide datang tanpa mengetuk pintu. Nah, kalau tidak segera ditangkap pasti ia akan berlalu hanya jadi angan semu. Benar saja dugaanku tak lama ia datang. Ingatan lama sih tapi dibelakangnya ada ide baru ikut serta. Semesta Nayanika Swastamita. Aku menemukannya!!!


Tak menyangka seriang ini aku menemukan deretan kata yang akan jadi rumah keduaku. Alih-alih memaksa otakku untuk menemukannya, justru malah mampat. Berhari-hari berkontemplasi tidak jua berbuah hasil. Padahal akhir minggu terlanjur sudah buat janji dengan salah satu anak ideologisku untuk belajar membuat dan mengenal apa itu blog. Lepas "merumahkan" diriku dari pekerjaan diranah publik memang salah satu impianku adalah fokus belajar menulis lagi. Nah, media yang disarankan salah satunya melalui website atau blog pribadi. Jujur saja aku sudah lama tertarik tapi belum benar-benar luang untuk berkenalan dengannya. Sampai akhirnya dipertemukan kembali dengan salah satu muridku itu. Ia meminta diagendakan satu sesi konseling untuknya berkonsultasi. Akhirnya setelah diawali percakapan virtual yang cukup intens kami sepakat bertemu dirumah untuk konsultasi tatap muka lebih lengkap.  Agenda tambahannya aku belajar singkat mengenal website dan blog. Ia memberikan aku pekerjaan rumah. Sebelum bertemu diakhir minggu nanti aku harus sudah menemukan alamat rumah mayaku nanti.

Demi menemukannya semua ide, kata-kata dari banyak artikel, buku semua berkelindan dibenakku. Berhari-hari tak menemukan sore ini ia datang tanpa ku undang. Kata pertama yang muncul adalah nayanika kemudian muncul semesta, disusul kata swastamita.

Naya adalah kata yang sangat aku suka. Nama pena yang pernah melekat padaku waktu kuliah dulu. Naya, Ranaya begitu biasa aku memakai nama itu. Meski yang mendengar dan mengenal terbatas karena memang tulisanku saat itu hanya untuk kalangan terbatas he-he-he. Aku merasa tak bisa dipisahkan dengan kata itu. Lalu aku berupaya memperbanyak referensiku. Sebagai pengagum bahasa Kawi, Sansekerta aku perbanyak referensi kataku dari sana. Beberapa hari sebelum hujan sore itu kutemukan kata Nayanika yang artinya mata yang indah dan memancarkan daya tarik. Kurekam baik-baik dalam ingatan, dan memastikan berulang kali jika kata ini harus "jadian" sama aku. Mulai dari sana kutarik semua padanan kata yang mungkin saja berjodoh dengannya. Tapi rupanya tak semudah yang kukira.

Hingga sore itu, hujan mengantarkan jodohnya. Semesta, kata ini berarti dunia dan ini mewakili dunia versi sudut pandangku. Swastamita bermakna pemandangan indah saat matahari tenggelam. Kata terakhir ini mungkin datang karena aku adalah pengagum senja. Betul selain hujan dan aromanya, senja adalah salah satu lukisan keindahan Maha Karya Tuhan yang diberikan untuk manusia.

Jadi kalau dirangkai ala ilmu cocokologi nih makna dan harapan keseluruhannya bisa lah dipahami seperti ini; memandang dunia dengan sudut pandang mata yang indah agar mampu memancarkan daya tarik dan keindahan bagi sesama. Seindah pemandangan lukisan Tuhan saat matahari tenggelam. Tiap orang memiliki sudut pandang dan cerita yang beragam. Semua memiliki hak untuk berbagi kisahnya. Mungkin sejarah terbentuk salah satunya dari cerita, bukan?

Susah payah amat cari nama sih? Kan ada yang bilang apalah arti sebuah nama? Kayak kata William Shakespeare, "What's in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet". (26 April 1564-23 April 1616).
Tapi sesuai keyakinanku nama adalah simbolisasi doa, impian dan harapan kelak harus dipertanggungjawabkan. Meski prakteknya demi efisiensi hanya dua dari tiga kosakata saja yang sering dipakai. Tapi sungguh itu tidak mengurangi makna dan harapannya.
Seperti sekarang setelah sekian lama nama itu aku adopsi, ada harapan lain yang ikut bertumbuh. Beban kerinduan yang semakin hari makin meminta dipertemukan dengan hilir tujuan yang lebih besar. Semoga ... 

#30haribercerita #30HBC19 #30HBC1902
Read More

Hujan, Cerita dan Semesta (Epilog : Dibalik Nama Semesta Nayanika)

Selasa, 01 Januari 2019


Ada yang tak bisa ku pungkiri saat memasuki tiga bulan terakhir sebelum tutup tahun. Mulai memasuki bulan Oktober bagiku atmosfer semestaku seolah berubah.  Hujan memang mulai kerap muncul, ada yang hanya sekedar lewat gerimis namun ada yang tanpa kabar ia datang bersama kilat dan halilintar. Aku sebenarnya tak begitu menghiraukan perubahan musim pancaroba yang kadang ekstrim. Sebentar panas menyengat, namun tiba-tiba udara menyelinap begitu dinginnya. Tak mengapa sebab bagiku tiga bulan dipenghujung tahun Masehi ini selalu menjadi penghangat diriku. Berturut-turut dari bulan Oktober dimulai dengan milad papa, adik iparku, keponakanku dari suamiku, bapak mertua lalu adik bungsuku, selanjutnya aku dan anak adik lelakiku. Kemudian penutupnya dibulan Januari milad jagoannya papa, si anak tengah.

Kami memang tidak dibiasakan merayakannya dengan hura-hura tiup lilin atau ritual pesta lainnya, sama sekali tak ada. Hari kelahiran anggota keluarga kami ini selalu digunakan untuk kumpul, doa, berbagi saran, nasihat sekaligus curhat lalu makan bareng. Satu hal lagi sebagai ajang temu kangen sebab selepas menikah, kami semua sudah tinggal terpisah kota. Susah sekali ketemu kalau tidak benar-benar diagendakan. Nah, momentum hari lahir ini lah jadi sarana pengikatnya.

Mengapa nggak dirayakan sekalian sih pakai perayaan meriah kan hari spesial? Tadinya juga pikirannya kayak begitu tapi lambat laun seiring waktu mulai paham tentang pesan moral dari petuah beliau.
Sebagai orang berdarah kental Jawa ya tentunya beliau berdua kerap menggunakan filosofi para leluhur saat mendidik kami. Ada dua pesan yang sering papa ulang-ulang adalah "Ojo Gumunan, Ojo Getunan, Ojo Kagetan, Ojo Aleman" artinya Jangan mudah kagum, Jangan mudah menyesal, Jangan Kagetan atau mudah terkejut, Jangan manja. Belakangan baru ku ketahui jika itu filosofi Jawa yang diwariskan oleh Sunan Kalijaga. 
Lalu satu lagi nih...yang cukup sering dipesankan beliau pada anak dan mantunya. 'Lamun sira banter aja nglancangi, Lamun sira pinter aja ngguroni, Lamun sira landep aja natuni'. Artinya secara singkat bahwa ketika kita punya kecepatan maka sebaiknya menahan diri jangan sampai mendahului, tatkala kita pintar maka janganlah sok menggurui, dan saat kita memiliki "ketajaman" maka seyogyanya jangan sampai melukai'. 
Intinya sih beliau berdua selalu berpesan untuk kami mampu menahan diri dan peka membaca situasi untuk lebih peduli hingga tidak banyak yang tersakiti. Meskipun bukan jaminan saat kita sudah berhati-hati lalu kita bebas tanpa melukai. 
Lho terus untuk apa kita menahan diri kalau tetap saja ada yang tersakiti? Coba tanyakan saja lah pada hati kecil kita untuk apa kita berhati-hati? Aku sendiri ragu ada orang yang sengaja pasang hati untuk uji nyali dilukai dan makan hati. Aku sih, No! Kamu?! He he he

Begitulah kisah mengapa tiga bulan terakhir dipenghujung tahun selalu aku nanti dengan segenap hati. Selain salah satunya termasuk 'bulan' ku, ada hal lain yang aku suka. Aku suka wangi aroma hujan. Aroma tanah basah sudah mulai sering tercium, burung-burung mulai kerap terdengar riuh riangnya menyambut titik-titik air yang terkumpul diawan. Mentari yang mulai sering tertawan sinarnya menambah nuansa magis musim penghujan. Tak hanya aroma dan suasananya namun keseluruhan fenomena saat hujan turun memang membalut rasa yang berbeda. Seolah ia sedang merangkum semua rahasia langit yang didapat dari milyaran sedu sedan, keluh kesah makhluk bumi dan pada saat tiba dititik kulminasi ia tumpahkan lah beban itu ke bumi. Entah berupa rahmat kebaikan atau sebaliknya cobaan buruk sebagai pengingat kita kembali pada kemanusiaan kita.

Aku ingat seseorang pernah menasihatiku, "Berdoalah sesaat hujan turun, sebelum begitu lebat itu, Rahmat!". Entahlah aku dulu tak begitu peduli karena yang aku tahu kala itu bermain mandi hujan di tanah lapang begitu membahagiakan. 
Berlarian saling mengejar, tertawa, berguling di tanah lapang, saling berteriak begitu lepas tak ada sekat kesedihan yang tersisa. Ya, pada akhirnya ku tahu saat rintik hujan mulai berjatuhan itu adalah salah satu waktu utama yang dianjurkan untuk berdoa. 

“Dua doa yang tidak akan ditolak : Doa ketika azan dan doa ketika ketika hujan turun.” (HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqi; dan dihasankan al-Albani; lihat Shahihul Jami’, no. 3078).

Itu mungkin mengapa kadang kala Dia menghadiahkan bianglala saat diujung hujan terhenti. Bianglala membuat garis busur nan indah dicakrawala. Meski tak lama  hadirnya warna 'mejikuhibiniu' menghias angkasa bagai pesan pelipur lara. Tiap warnanya punya sudut makna dan cerita. Bak cerita manusia yang memiliki proses pengalaman hidup yang berbeda-beda hal itu akan mempengaruhi cara pandang, pola berpikir dan perasaannya. Kita tidak perlu terlalu cepat menjadi juri dan hakim bagi kisah orang lain. 
Itulah mengapa atas ijin-Nya 'wangsit' muncul di kepalaku. Kala hujan turun  itu ku sibuk tenggelamkan diri dalam labirin perenungan dan "AHA!" deretan kata 'Semesta Nayanika-Swastamita' muncul kembali dan seketika merebut hatiku (sekali lagi). Hmm... Ini harus jadi "rumahku", gumamku berulang kali.

#30haribercerita #30HBC1901
Read More