Memoar Si Jeki

Senin, 13 Mei 2019


"Tanggung nih bentar lagi kelar", fokus pikiran dan matanya terus saja mondar-mandir dari layar monitor, bertumpuk-tumpuk kertas dokumen dihadapannya, lalu ke jam dinding. Sembari jemarinya terus bergerak dari huruf satu ke huruf lainnya. Tagihan laporan dan daftar 'deadline' sudah menunggunya. Ia agak panik, sejak tadi ia berjibaku mengejar semua urusan ini tapi rasanya kenapa tak kunjung usai. Padahal atasan sudah menunggu pekerjaannya. 20 menit menuju bedug maghrib, hatinya makin galau. Perang kata dalam batinnya mulai makin seru.
"Belum sholat asar, tapi ini kurang dikit lagi. Tanggung banget", bisik suara gelap dalam dirinya.
"Hiish, ngawur! Tinggalkan dulu urusan duniamu. Kebutuhanmu menghadap Tuhanmu lebih dulu. Cepatlah!", sergah suara terang menepis bisikan si gelap.
Lantangnya suara terang membuat si Jeki seketika mematung, mungkin saja ia merenung. Lalu, tak lama ia geser kursi, berdiri dan beranjak dari belenggunya. Setengah berlari menuju ke mushola kantornya. Ia lepas sepatu, dan segera ambil wudhu. Hati kecilnya lega, senang si Jeki memilih yang benar.
Belum lama, kurang satu rakaat terdengar sayup suara azan maghrib entah dari surau siapa diluar sana. Menangis hati Jeki. Astaghfirullah, nyaris terlewat dengan hati masygul ia selesaikan sholatnya. Lepas salam ia menunggu sebentar, memeriksa gawainya ia menuju ke salah satu aplikasi. Ia memastikan pendengarannya, dan rupanya memang betul telah masuk waktunya.. Jeki melihat sekeliling tak ada yang bisa ia makan atau minum untuk menyegerakan berbuka. berdiri kembali, segera ia lunasi kewajibannya.
Setelahnya ia bergegas, kembali ke ruangannya. Tampak lengang, beberapa rekannya mungkin telah pulang. Ia berjalan ke arah 'pantry' kecil disudut ruangan, ia buat teh hangat dan mengambil tiga butir kurma. Jeki pun duduk kembali dibangku kerjanya, menyeruput teh dan menikmati kudapannya. Matanya menatap kembali tumpukan berkas dihadapannya.
Pikirnya, kalau ini diteruskan bisa jadi aku melepaskan kesempatan emas lagi.
Sholat isya masih bisa aku temui diluar bulan ini, tapi tarawih? Kapan lagi ada sholat malam yang perkalian pahala-Nya berlimpah ruah macam sekarang?
Perang batin Jeki dimulai lagi, ia menunduk, mendongak, mengangguk, menggelengkan kepalanya sendiri seperti layaknya orang bercakap-cakap. Jeki teringat Ramadan hari pertama ia dengar kabar berpulang seorang koleganya, hari ketiga lalu tetangganya diumumkan melalui pengeras masjid juga telah tutup usia. Bisa jadi aku, berikutnya. Tak ada yang tahu pasti, Allah memanggilku pulang. Tak ada garansi aku bisa menemui Ramadan lagi ditahun depan. Tepat saat Jeki bersepakat dengan imannya, mengalahkan bisikan nafsu yang berusaha mengoyaknya dengan iming-iming dunia. Azan isya berkumandang, kali ini sangat jelas terdengar ditelinganya. Ia melihat ke sekeliling ruangan, semua masih tampak sibuk.
Jeki tersenyum, dalam hatinya bergumam aku pun tadi begitu lagaknya bilang sama "Tuhan, maaf sebentar lagi aku masih sibuk. Mengertilah?". Lalu coba pikirkan bagaimana jika dibalik, saat kita butuh pertolongan-Nya Tuhan jawab, "Urusanku lebih banyak dari kamu, maaf Aku sangat sibuk!".
Jeki menutup percakapan batinnya, sebuah memoar yang menuntunnya kembali jalan pulang yang seharusnya. Bergegas ia mengambil sajadah dan melenggang keluar. Sambil tak lupa ia tetap berusaha mengajak teman-temannya. Soal pilihan? Tentu itu terserah mereka saja.

#RWCODOP2019 #OneDayOnePost #Day5 #deeirum #semestanayanika #memoar
Read More

5 Tips Kegiatan Ngabuburit Biar Puasa Tetap Asyik

Kamis, 09 Mei 2019

"Nanti kita ngabuburit kemana, gaes?". Kalimat itu pasti kerap sekali kita dengar dibulan ini. Orang-orang sekitar kita pasti sering menyebut istilah ini. Belum lagi acara di televisi, jelas punya andil besar membuat kata 'Ngabuburit' jadi begitu familiar. Ngabuburit bisa dikatakan sudah jadi tradisi yang tidak bisa lepas begitu saja dari bulan puasa Ra­ma­dan.

Melalui aplikasi Kamus Besar Bahasa Indonesia (V), coba mencari arti kata 'Ngabuburit'. Disana tertulis menunggu azan maghrib menjelang berbuka puasa pada waktu bulan Ramadan. Merupakan turunan dari kata 'burit' yang artinya sore. Asal serapan kata dari bahasa Sunda. Sumber lain mengatakan bahwa kata ‘ngabuburit’ punya arti 'ngalantung ngadagoan burit'. Artinya bersantai-santai menunggu waktu sore. Waktu 'Burit' ini biasanya antara jam 15.30 - 17.30 atau lepas salat Ashar, sebelum senja tiba dan azan berkumandang.

Nah, kalau mau definisi kekinian mungkin 'ngabuburit' bisa diartikan bersantai menunggu datangnya waktu berbuka puasa sambil mengerjakan sesuatu. Sayangnya makna 'ngabuburit' justru sering bergeser, bisa meluas dan menyempit, jadi positif atau malah negatif. Semua terlepas dari pemahaman, situasi dan kondisi yang melingkupinya. Niat mengisi waktu menunggu berbuka malah jadi mengganggu inti nilai ibadah utamanya.  Sedihnya lagi kalau malah sampai membatalkan puasa. Waktunya bulan untuk taubat cari selamat eh malah pahala hilang nggak bermanfaat.

Apa saja sih alternatif 'Ngabuburit' yang berfaedah?

1. Tidur
Tidur bukan sembarang tidur ya, atau seharian kita tidur mentang-mentang dikatakan bahwa tidurnya orang puasa bernilai ibadah. Istirahat secukupnya sesuai kebutuhan agar tubuh tetap berenergi hingga tarawih nanti.

2. Berolahraga
Puasa bukan halangan untuk tetap berolahraga. Ini membantu menjaga metabolisme tubuh supaya tetap bugar. Nggak perlu olahraga berat, cukup gerakan ringan saja. Seperti bersepeda, senam, ataupun jogging.

3. Berberes Rumah
Membereskan rumah adalah salah satu pilihan yang tepat. Selain berpahala, rumah jadi rapi dan bersih hingga kita siap tiap saat tanpa menunggu lebaran tiba jika ada kunjungan dari tetangga, kerabat, atau sahabat. Tidak lupa juga membongkar dan membereskan isi lemari. Pilah pilih pakaian yang menumpuk, dan salurkan pada yang lebih membutuhkan agar lebih bermanfaat.

4. Membaca Buku atau Tadarus Al Qur'an
Bulan Ramadan juga dikenal sebagai bulannya Al Qur'an hingga sangat sayang jika kita melewatinya tanpa lebih dekat dengan kitab tuntunan kita. Bisa juga dengan baca buku-buku untuk menambah ilmu dan menebalkan iman kita.

5. Kegiatan Sosial
Suasana Ramadan paling tepat untuk berlomba ikut serta atau menyelenggarakan kegiatan-kegiatan  positif bagi masyarakat. Berbagi paket berbuka, takjil, kunjungan ke panti asuhan atau pondok sosial dan kegiatan sosial positif lainnya.

Masih banyak lagi, kegiatan bermanfaat yang bisa kita lakukan untuk mengisi waktu. Intinya nih kegiatan 'Ngabuburit'  sebaiknya gunakan untuk mengisi catatan amal baik waktu jelang buka puasa yaitu dengan perbanyak kegiatan positif dan kalau nggak mau rugi jangan dekati yang berpotensi bisa membatalkan puasa.

Kalau kamu kegiatan favorit 'Ngabuburit'nya apa saja? Boleh dong bisik-bisik nih beri tahu apa tips asyik kamu?

#RWC2019 #OneDayOnePost #Day4

Read More

Nasihat dalam Semangkuk Kolak

Rabu, 08 Mei 2019

Apalagi selain sirop yang bisa membuka laci kenangan tentang bulan puasa? Setuju! Iya benar, Kolak. Rasanya kurang mantap jika takjil andalan ini tak muncul dibulan Ramadan. Saat seperti ini dengan mudahnya kita temukan menu ini diberbagai tempat. Kolak dengan aneka campuran bahan didalamnya. Ada yang sederhana saja hanya ada pisang saja bahkan ada yang lebih menyukai tanpa santan atau biasa disebut 'Kolak Setup'. Namun banyak juga yang lebih suka resep kolak lengkap. Yaitu yang didalamnya ada pisang, ubi/singkong, beberapa orang juga menambah kolang-kaling agar lebih kaya cita rasanya.

Dibalik nikmat semangkuk kolak, ternyata terkandung nasihat yang sangat dalam maknanya. Kolak merupakan salah satu kearifan lokal warisan dari para ulama terdahulu. Sajian sedap yang jadi media penyebaran Islam di tanah Jawa. Cara syiar yang cepat dan sederhana agar mudah diterima oleh masyarakat yang belum mengenal Islam dengan baik.

Penamaan kolak juga tidak sembarangan, para pendakwah (Wali Sanga) tampaknya telah memikirkan tiap elemen yang ada pada kolak memiliki nilai filosofisnya masing-masing. Dahulu kolak disajikan dibulan Syaban atau Ruwah sebagai penanda persiapan menyambut datangnya Ramadan . Namun, kini berlanjut hingga jadi sajian khas bulan puasa.

Kolak merujuk pada kata 'Khala' atau kosong, artinya bahwa manusia harus menyambut kematian dengan berusaha bertaubat, mengosongkan dosa-dosa agar kita mendapatkan sebaik-baik akhir usia. Menurut cerita lainnya dikatakan kolak berasal dari kata bahasa Arab, 'Kholaqo'. Kata ini merujuk pada arti Khalik, yang artinya dalam KBBI V adalah pencipta, yaitu Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Ini menyiratkan makna bahwa kita harus senantiasa mendekatkan diri pada yang menciptakan kita dan selalu bertakwa kepada-Nya.

Bahan-bahan dasarnya juga tak kalah dalam maknanya. Pisang yang dipilih biasanya dari jenis kepok. Mengacu pada kata 'kapok' (bahasa Jawa) artinya adalah jera atau menyesal. Kita manusia diharapkan menyadari kesalahan yang telah kita perbuat dan jera tidak akan melakukannya kembali. Lalu, bahan lain yang sering digunakan ubi/singkong. Keduanya termasuk 'Pala Pendem' artinya yang tumbuh dalam tanah. Ini mengisyaratkan bahwa suatu saat kita pasti akan menghadapi kematian, dikubur dalam tanah, karena itu kita harus segera bertaubat mengubur dosa-dosa yang pernah kita perbuat dan hanya menempuh jalan ridho-Nya. Lalu, elemen yang paling penting kuah santan atau dalam bahasa Jawa disebut 'santen'. Dimaknai sebagai kependekan dari 'Pangapunten'; permintaan maaf. Artinya jangan pernah lupa kesalahan yang pernah kita perbuat jika itu kepada Allah maka segera bertaubat. Bila kesalahan itu antar sesama manusia maka segeralah meminta maaf.

Sepertinya semua filosofi diatas, cocok dengan situasi negeri kita belakangan ini. Sebelum dan selama masa menyambut pemilu 2019, saling lempar kata-kata yang tak sepantasnya, rasanya tak henti terpampang caci maki dari sana sini.

***
Kini saatnya sudahi adu urat
Kata-kata sarat isyarat
Jangan lagi berdebat
Siapa yang paling hebat
.
Kemarin kita saling tuding tuduh
Berebutan memadamkan suluh
Sungguh padahal kita saling butuh
Agar terus berbangsa utuh
.
Kembalikan saja pinta pada kuasa-Nya
Diujung doa tentang pemimpin yang bijaksana
Jangan sampai kita terus terkotak-kotak
Lebih baik sekarang kita berbagi bermangkuk-mangkuk kolak
***

Hampir delapan bulan banyak sekali yang saling bersitegang, karena pilihan sikap politik yang berbeda. Bukankah setiap orang punya kesempatan dan kecenderungan pilihan masing-masing? Tak bisa kah kita saling menghormati, tetap bersanding bersama dan terus berbesar hati mencintai negeri ini.

#RWC2019 #OneDayOnePost #Day3

Read More

Narasi Isi Hati di Hari Kartini : Emansipasi Bukan Ambisi

"Tiada awan di langit yang tetap selamanya. Tiada mungkin akan terus menerus terang cuaca. Sehabis malam gelap gulita lahir pagi membawa keindahan. Kehidupan manusia serupa alam."

Kutipan diatas adalah salah satu dari sekian banyak kutipan inspiratif R. A Kartini. Tepatnya 140 tahun yang lalu beliau lahir, kemudian sejarah bangsa ini mencatat tiap tanggal 21 April selalu diperingati sebagai momentum penting kebangkitan para perempuan Indonesia. Lalu, apa sih yang patut kita renungkan dari semangat perubahan beliau untuk para perempuan pribumi?

Dulu hingga kini, perayaan Hari Kartini selalu identik dengan kebaya, jarik, karnaval, ataupun lomba-lomba lainnya yang sayang sekali sering lepas dari esensi perjuangan pada awalnya. Bukan tidak boleh, karena perayaan yang beranekaragam hanyalah simbolisasi penghargaan atas nilai-nilai inspiratif beliau. Seperti kutipan diawal tulisan ini yang menyiratkan harapan bahwa kehidupan akan senantiasa mengalami perubahan. Oleh karena itu kita jangan pernah berhenti berjuang mengupayakan perubahan untuk kebaikan. Tentu bukan hal yang mudah, namun pasti ada celahnya. Jadi jangan mudah menyerah.

Ada lagi kutipan beliau yang jadi favoritku, sederhana namun sarat maknanya. “Kita dapat menjadi manusia sepenuhnya, tanpa berhenti menjadi wanita sepenuhnya”. Hal ini aku pahami begini, 'Kita dapat menjadi manusia seutuhnya'; sebagai perempuan, kita layak memperoleh hak-haknya. Tanpa harus ada batasan gender ataupun hal lainnya. Perempuan yang pintar, berbudi pekerti baik dan berdikari.

'Tanpa berhenti menjadi wanita sepenuhnya', artinya. Ibu Kartini mengisyaratkan untuk mendapatkan hak-haknya tersebut  perempuan tidak perlu jadi menyerupai pria. Tetap jadi sosok sesuai kodrat keperempuanan-nya. Figur kasih sayang, kelemahlembutan, sigap bertanggung jawab pada rumah tangganya kelak. Yaitu jadi sosok ibu untuk anak-anaknya, dan juga sebagai belahan jiwa, teman seperjalanan bagi suaminya. Ibu yang ADA DI DUNIA dan juga ADA DI AKHIRAT. Bukan ibu semu apalagi palsu.

Perempuan berhak berekspresi dan mengeksplorasi dirinya baik diranah domestik maupun publik sesuai dengan kemampuan, minat, bakat atau passionnya. Menghasilkan karya, tanpa melepaskan tanggung jawab sebagai sosok ibu di dalam rumah tangganya. Sekali lagi, bagi saya pribadi inilah emansipasi sesungguhnya. Sebab saya yakin, ibu Kartini dulu berjuang bukan untuk melawan kodratnya. Jangan terjebak pada definisi emansipasi yang salah kaprah. Emansipasi bukanlah ambisi kebebasan semata. Emansipasi adalah aksi. Semangat yang mendamba perempuan mampu bersikap sesuai porsi. Beraksi dengan tetap menempatkan posisi fitrahnya sebagai perempuan.

Ditegaskan kembali oleh beliau pada kutipan berikut :
“Alangkah bahagianya laki-laki, bila isterinya bukan hanya menjadi pengurus rumah tangganya dan ibu anak-anaknya saja, melainkan juga jadi sahabatnya, yang menaruh minat akan pekerjaannya, menghayatinya bersama suaminya.” (Kartini, 4 Oktober 1902).

Perempuan memiliki kesempatan, kedudukan, dan derajat yang sama dengan lelaki. Perbedaan hanya pada peranannya. Keduanya saling melengkapi dan menyeimbangkan. Tidak ada yang lebih unggul apalagi lebih rendah.

Semuanya predikat tertingginya hanyalah Makhluk 'Hamba' Allah yang sempurna kekurangannya.
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al Taubah [9]: 71).

Sayangnya seringkali orang salah, ketika perempuan lebih memilih di rumah dianggap kiprahnya tidak berdampak bagi masyarakat. Padahal tentu saja itu tidak benar, jika perempuan bersungguh-sungguh dari dalam rumah. Melakukan hal-hal produktif seperti jadi pendidik utama anak, mengajarinya adab, dasar agama pada anak, akhlak dan budi pekerti yang baik, bersama suaminya bahu membahu mengelola rumah tangga, menjaga keseimbangan, keharmonisan serta keutuhan unit terkecil masyarakat yaitu keluarga. Maka, pasti akan berdampak pada lingkungan yang lebih besar dan luas lagi.

Begitu juga bagi perempuan yang memilih berkiprah diranah publik, maka ia hendaknya selalu berkomitmen bersungguh-sungguh didalam dan diluar rumahnya. Setiap pilihan selalu ada resikonya, bukan?

Perempuan boleh berkarir dan menggapai cita-cita setinggi apapun itu tapi jangan pernah meninggalkan perannya dalam keluarga. Perlu kemauan dan kerja keras untuk menyeimbangkan hal ini. Ketentuan ini juga berlaku bagi para lelaki, meskipun ia menyandang predikat kepala keluarga yang tugas utamanya mencari nafkah.

Ayah sebagai pemimpin keluarga tetap tidak diperkenankan meninggalkan kewajibannya untuk terlibat dan berperan aktif dalam mendidik keluarganya.

Read More