Rahasia Rasa

Rabu, 25 September 2019


Dua puluh menit lebih kami duduk dibangku itu. Saling berhadapan bertatapan namun tak sepatah katapun terucap. Canggung rasanya setelah sekian lama tak bersua. Entah mulai darimana percakapan ini akan dibuka. Mungkin hanya rindu kami yang bahasanya sama.

Itulah mengapa hanya senyuman yang sejak tadi menyapa. "Apa kabar?," akhirnya kau memulainya.

"Kabar baik. Kamu?," jawabku setengah gugup.

"Baik juga," jawabnya tak kalah formal dariku.

Akhirnya waktu beku kembali. Entah kemana hilangnya semua kosakata.

"Sampai kapan disini? Betah ya pasti disana jarang pulang?", tanyaku memberanikan diri.

"Betah nggak betah sih tapi ya bagaimana lagi, kalau nggak begitu, nggak ada pengalamannya. Maunya sih di Jogja aja tapi kayaknya Bandung lebih punya janji", ia terkekeh sambil  terus memberikan penjelasannya yang panjang. 

Tembok tak kasat mata itu akhirnya runtuh seketika. Kalimat demi kalimat akhirnya saling bersahutan. Rindu itu akhirnya terejawantahkan.

Hingga sampai disatu babak kami duduk membeku lagi.

"Kriing....kriing...kriing"

Telepon seluler dihadapan kami nyaris mengeluarkan bunyi bersamaan. Sontak kami saling berpandangan seolah merasakan sebuah pertanda. Dering telepon berbunyi sekali lagi. Kami bertatapan lagi, saling mempersilahkan untuk merespon panggilan itu.

"Ya, Hallo?...".

Kujawab panggilan itu sambil menatap Bagas yang juga melihat lekat ke arahku. Aku menunduk tak sanggup menjawab tatapannya. Tak lama kami selesai dengan percakapan telepon itu. Bagas tersenyum. Entah apa maksudnya kubalas saja.

"Aku rasa, mereka terasa dengan pertemuan kita ini, Sekar".

"Lalu? Kamu jawab apa? Bukannya kita sudah sepakat u nggak ada rahasia ? Bilang apa adanya? Hmm..kalau aku memang nggak ada kewajiban menjelaskan sih he he he..", selorohku mencoba santai.

"Aku juga cerita jujur, tapi kayaknya mereka dapat 'alert'. Merasa mungkin pertemuan kita nggak biasa. Bukannya juga yang telepon kamu tadi dia?".

Aku tertunduk. Mengangguk.

**

"Kenapa sih hubungan kita dari dulu nggak bisa jadi serius? Padahal kita masing-masing tahu jelas perasaan kita ini bagaimana. Sejauh apa kita pergi selalu saja jalan hati pulang ya ke kamu, aku", nada Bagas bicara tandas terbaca jelas kembali ia gusar.

"Sampai kapan pun kita bahas, aku nggak bakal ganti jawabannya, Gas. Aku nggak mengerti kenapa bisa begitu. Aku nggak berani. Sungguh! Perasaanku ke kamu sudah "terlalu" buat aku. Sebaliknya, perasaanmu ke aku juga begitu. Bahkan aku takut Dia cemburu", kujawab dengan cepat tanpa berani menatap ke arahnya. Kudengar ia menghela napas, dalam dan berat.

"Sekar, angkat kepalamu. Jangan sembunyikan wajahmu. Sudahlah, aku nggak marah. Perasaan dan keyakinanku masih sama seperti 10 tahun lalu. Kamu ingat?", pertanyaannya yang tiba-tiba membuatku bergegas mendongakkan kepala. Bagas terkekeh melihat reaksiku. Aku melotot ke arahnya menutupi rasa malu. Hidung dan pipiku menghangat.

"Sekar, aku selalu hargai keputusanmu. Tapi, maaf jika aku pun masih yakin kepada siapapun perasaanmu berlabuh kini. Muaranya tetap akan kembali kepadaku. Aku nggak tahu keyakinan ini datang darimana. Masih sekuat itu. Maafkan aku jika hatiku masih menunggu, sampai seseorang benar-benar telah menghalalkanmu. Saat itu baru aku putuskan, haram bagiku memikirkan kamu.", lagi-lagi ia tutup kalimatnya dengan senyuman yang selalu menawan.

Aku mencoba berani menatapnya kali ini, sorot matanya tampak ia bersungguh-sungguh dengan kalimatnya. 

Kubalas senyuman Bagas, tanda kesepakatan.

***

Andai kamu tahu, Gas. Apa yang berkecamuk dalam batinku saat ini. Aku senang sekaligus takut.

Kenapa kita harus meletakkan perasaan kita pada kasta tertinggi di antara para manusia. Seperti guci keramik antik yang teramat kita cintai, kagumi dan takut sekali jika ia tergores atau rusak. Hingga, akhirnya kita justru takut menyentuhnya. Kita bingkai ia dengan kotak kaca dan hanya bisa merayakan sukacita dengan melihatnya. 

Apakah benar takdir kita hanya sebatas rasa? Perasaan yang terus dikirim Tuhan yang nanti akan jadi penawar luka-luka kita?

Sudahlah, kita serahkan saja pada buku-buku waktu kemana cerita ini sesungguhnya berlabuh.

Rahasia rasa, akankah ia bermetamorfosa?


16 komentar

  1. Hmhmhmhm senang sekaligus takut, suka ceritanya.. lanjutkan kak yay

    BalasHapus
  2. Nice Kaka, rahasia rasa yang keduanya belum mampu untuk mengungkapkan.

    BalasHapus
  3. Greget aku, hihi
    Initeh udah punya pasangan masing2.?

    BalasHapus
  4. Andai di blog bisa comment per paragraf, aaa aku greget banget sama ceritanya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tulis teh..tulis disini...biar gregetannya tambah, Makaciiih ya ^_^

      Hapus
  5. rahasia rasa. aku suka judulnya kak.

    BalasHapus
  6. Judul dan kalimat penutupnya matching kak

    BalasHapus
  7. Rasa memang sulit dipahami ☹️☹️

    BalasHapus
    Balasan
    1. Huhu ..bener banget.. sesulit menebak kapan hujan turun belakangan ini he-he-he

      Hapus

Terima kasih sudah berkunjung. Tiada kesan tanpa kata dan saran darimu :)



Salam kenal,


Dee.Irum