Monolog Luka : Kisah Hati Menolak Diam

Sabtu, 28 September 2019



(1)

Di tepian senja, burung prenjak bersahutan menuju perjalanan pulang. Matahari merangkak pelan menuju peraduan. Berkejaran dengan awan. Dinding-dinding dingin berdendang penuh kesungguhan. Demi menyaksikan jiwa-jiwa yang letih dan beku menekuri jalanan. 
Mereka tampak hanya sepenggal angan yang ingin tinggal. Pandangannya senantiasa terdampar pada lukisan kefanaan. Berkali-kali luka menghujamkan kenangan. Jari jemari tak lagi mampu menghitung waktu yang memupuskan harapan. Tapi, apa dayanya yang tersisa cuma asa. Jiwa bergegas meringkas langkah. Belum mau mengalah. Diujung resah ia berucap, "Aku belum menyerah, apalagi kalah."

(2)

Angin mati tak berarak. Atau dahan-dahan memilih membisu, tak merelakan sentuhan angin. Langit bungkam. Bintang-bintang menghilang. Berharap masih memegang tali warna pelangi rajutan Illahi, yang baru saja pergi. Berganti purnama yang bersiap menggubah nyanyian pagi dan nada-nada indah senja. Jiwaku rebah gelisah. Mencari Titian singgah. Tuhan, sesungguhnya diujung semesta manakah pintu istana-Mu terbelah?

(3)

Gelap terang meredakan kesombongan. Menukar matahari pagi pada senja, yang telah menyiapkan jalan menuju genggaman rembulan. Lewat kedalaman malam, aku telah berkali-kali mengadu. Tapi Tuhan, tidakkah para punggawa langit menyampaikan pesan keluh kesahku? Sebab, aku sudah rindu Engkau datang memeluk tanda tanya resahku. Mengapa kelapangan jalan menuju madani, terus saja dikebiri?

(4)

Aku, manusia yang terus mencoba bertahan di bawah sengatan kesulitan dan aneka aroma kehendak kepentingan. 
Aku, manusia dibentuk dari sekumpulan luka-luka. Seolah nasib telah ditulis pada dedaunan nyaris layu, hingga aku terus mencari pegangan. Entah mengapa bertambah pula rasa takut kehilangannya.

Ia, Cahaya!

Bagian semesta yang ingin tetap kubiarkan menjalar dalam urat nadi. Berpijar menyalakan amunisi berani, agar hati menolak berdiam diri, berlalu pergi dan mati.

Tidak!

Semarang, 28 September 2019

16 komentar

  1. Ini jenis tulisan apa, Mba? Bernomor2 gitu.

    BalasHapus
  2. Prosa liris mbak aslinya...hehe..tapi emang dibuat pendek-pendek karena hatinya lagi monolog

    BalasHapus
  3. "angin mati tak berarak" aku baca ulang-ulang

    BalasHapus
  4. Sukaaaaa bgtttttt prolisnyaaa 😍😍

    BalasHapus
  5. Siap perang sebelum bom nuklir datang. Wkwkwk

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jangan perang lah...apalagi pakai bom nuklir...ngeri atuh neng 😁

      Hapus
  6. Baru tau...ada prosa liris..keren

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkunjung. Tiada kesan tanpa kata dan saran darimu :)



Salam kenal,


Dee.Irum