Metamorfosa Rasa (Babak 1) : Awal Permulaan Kisah

Kamis, 22 Maret 2018


Bukan tentang bingung memilih mau menulis apa, namun kesulitannya kali ini adalah memutuskan siapa lakon cerita yang akan ada ditulisanku kali ini. Serius deh ini beneran butuh tenaga ekstra untuk mengambil keputusan. Tema tantangan gebyar literasi bulan Februari adalah tema merah jambu, bulan yang konon penuh pernak-pernik cinta, penuh ungkapan rasa dan aroma romansa. Sedari dulu aku tidak pernah benar-benar peduli, kecuali ada satu-dua kotak coklat yang mampir bersama bunga segar atau juga yang imitasi. Itu juga nggak pernah aku nikmati sendiri he..he..he..kecuali (lagi) itu dark chocolate berbentuk segitiga kesukaanku. Saat mendapatkan tantangan ini, sebenarnya langsung terbayang kerangka tulisannya. Lalu kenapa ‘mandeg’? Pasalnya ya itu tadi mau ku hadiahkan untuk siapa tulisan ini? Perihal cinta dan kasih mama yang selalu dirangkainya melalui doa-doa disepanjang sajadah yang beliau gelar? Atau untuk papa? Lelaki cinta pertama putrinya ini? Atau...untukmu imam yang aku pilih mendampingi proses belajar sepanjang hayat ini dalam kelas bernama Pernikahan?
Akhirnya setelah meditasi cukup panjang (terlalu panjang kayaknya hi..hi..hi..) keputusan hati bulat jatuh padamu, iya kamu yang sampai saat ini masih sudi belajar di maha luasnya universitas kehidupan bersamaku (semoga kebaperan tak melanda kewarasanku hingga rampung tulisan ini..hehe). Pilihan ini didasarkan pertimbangan bahwa tulisan mama sudah pernah aku tulis sebelumnya, meski masih banyak yang ingin ku ceritakan. Mungkin satu saat nanti aku akan bercerita kembali tentangnya. Lalu, bagaimana cerita tentang papa? Hmm..agak nekat sih ini karena berbarengan dengan tulisan ini juga kenangan tentang beliau sedang berusaha aku ikat menjadi sejarah. Semoga! Dilihat saja nanti, meleset atau tidak.



Kisah Itu Bermula

Bercerita tentang kamu, rasanya tak akan pernah ada habisnya dan memang aku berharap tak akan pernah usai bercerita tentang kita. Kamu hanya tersenyum ketika aku mengutarakan niat keputusanku...Lalu kau berkelakar ”Apa nggak malah jadi novel tuh tulisanmu?atau jadi agenda cerbung”. Ih..sebel tapi ku pikir iya juga sebab suka susah berhenti dari papan seluncur ketika kata-kata sudah mulai terlontar saling berkelindan.

Semula kita hanya lah dua orang asing yang dipertemukan melalui banyak rangkaian peristiwa yang terajut jadi cerita. Kisah itu, kini berusaha selalu kita cari dan hidupkan lagi untuk pahami apakah benar ini takdir, jodoh atau nasib yang senantiasa bergerak berdasarkan doa, asa dan usaha kita ataupun sayap-sayap doa serta harapan orang-orang disekeliling kita. Pun saat petualangan kita mengarungi 11 tahun biduk pernikahan dengan semua roller coaster kehidupan yang ada didalamnya. Babak demi babak, canda, tawa, bahagia serta derai airmata dalam kisah kita mampu terkumpul menjadi tabungan kenangan kita.

Source : google

Aku tak pernah benar-benar mengingat kapan permulaan kita bertemu dan menjadi dekat. Atau rasa seperti apa yang pernah singgah di hati tentang kamu. Mengapa pula hatiku memilihmu? Tidak pernah ada kamus yang mampu membantuku mencari jawabannya. Sebab jujur harus selalu aku akui; tak ada jawaban pasti. Cinta? Love at first sight? Nope..!!. Semuanya mengalir begitu saja tanpa pertanda, harus kuakui ada sih riak-riak kecil harapan sebenarnya. Namun dengan mudah ku tepis atas nama 'kebebasan' ha..ha..ha... Kamu pasti ingat betul tentang makna kebebasan itu; pilihan kesibukanku di kampus dan berbagai prioritasku saat itu.

Ingatan terkuatku hingga kini tentang kamu adalah dinamika psikologisku ketika mengambil keputusan tentang memaknai hubungan kita. Kualifikasi nilaimu hanya 60% dari total kriteria imam impian. Aku memilihmu karena bejana setengah penuh yang kau punya, dan itulah kelebihanmu. Banyak yang datang dan pergi dengan total nilai nyaris sempurna, dan aku tak menampik bahwa beberapa diantaranya rasa kami tak bertepuk sebelah tangan. Tapi kamu pun menjadi saksi bahwa aku tak berdaya membawa perasaan itu lebih jauh lagi. Entahlah..ada hubungannya atau tidak, mungkin karena aku mahasiswi fakultas psikologi, dan  secara naluriah semakin tajam mengetahui potensi diriku seperti apa.  Hingga, membentukku agar belajar tidak gegabah mengambil pilihan. Memperkirakan dan mempertimbangkan dengan akal hati dan pikiran, siapakah yang memiliki frekuensi yang sama untuk mampu berjalan berdampingan bersamaku di masa depan. Setiap pilihan akan selalu ada resiko sebab dan akibat, oleh karena itu tidak boleh ada penyesalan di kemudian hari. Sebab saat sudah ketuk palu keputusan, pantang bagiku untuk menariknya lagi.

Kami berdua punya versi sendiri-sendiri terkait kapan kami mulai saling sapa. Masih jadi misteri. Kadang geli sendiri kalau napak tilas kenangan, serumit itu kah benang merah yang Tuhan sediakan untuk kami. Kamu bilang, melihatku pertama kali sepulang jamaah sholat dhuhur di masjid Abu Bakar As Shiddiq. Kamu melihatku bersama beberapa teman kostku dan anak pemilik kost sedang ramai memetik belimbing. Pohon belimbing milik bu kost ini berada didalam pagar namun karena rindang memang beberapa dahannya menjuntai keluar. Nah, cerita memalukan ini pun bermula. Katamu, sekembali dari masjid dan berganti pakaian kamu bersama beberapa anak kost depan yang sudah memasang dan mengunci target masing-masing menghampiri kami. Oh ya, kost kami sering dianggap kost pencari jodoh he..he..he..iya karena kost putri berhadapan langsung dengan kost putra. Sepertinya fakta pun meng-aamiin-kan kabar itu. Ada yang hanya bertahan hingga beberapa lama tapi banyak juga hingga akhirnya menyebar undangan sah menjadi keluarga. Balik ke cerita pohon belimbing tadi, aku dengar memang ada yang datang ke halaman depan kost. Mereka bertanya sedang apa ramai-ramai, dan entah apa lagi yang diobrolkan meski jelas percakapannya namun fokusku sedang tidak berada disana. Arggh...sebenarnya aku ingin sekali loncat dan segera lari dari situ. Loncat??Hi..hi..hi..iya loncat nggak salah baca kok..tadinya sih cuek aja nangkring di dahan pohon belimbing itu sambil terus mencari belimbing yang sudah tua dan sesekali menikmati langsung buahnya. Sensasi makan buah langsung diatas pohonnya itu.. luaaaar biasaa...hi..hi..hi...Belimbing yang sudah dipetik itu lalu kulempar ke teman yang sudah bersiap  dibawah. Yaa..gitu deh karena nggak ada yang berani memanjat dan aku memang suka, akhirnya naiklah ke pohon menemani anak ibu kost yang sudah lebih dulu memposisikan diri. “Tamu” tak terduga kami siang itu langsung menghampiri anak ibu kost dengan modus minta dibagi belimbing yang sudah dipetik. Anak ibu kost yang memang posisinya ada didahan yang lebih dekat ke jalan raya sedang aku memilih dahan sebelah dalam. Aku yang waktu itu masih belajar memantapkan niat tentang jilbab/kerudung, sebab memang awal semester satu itu baru mulai mengenakannya. Itu pun tidak pernah terpikir secepat itu aku akan belajar memakainya. Informasi dan pengetahuan tentang jilbab saat itu belum lah sebanyak sekarang ini. Kampusku juga belum menerapkan wajib busana islami bagi pasa mahasiswinya, hanya ketika masa orientasi kami diwajibkan memakainya. Setelah itu dikembalikan kepada keputusan masing-masing individu. 

Nah, aku menetapkan batas pagar kost sebagai rambu-rambu belajar konsisten mengenakan kerudungku. Jadi kalau masih di dalam area pagar kost dan tidak dalam kondisi menerima tamu atau ada tamu di teras kost maka kerudung itu tidak aku pakai. Celakanya, tamu tak terduga tadi menghampiri dalam kondisi yang membuatku ingin loncat jika mampu terbang sampai ke kamarku diujung lorong belakang bangunan kost yang berbentuk letter L. Gimana tidak panas dingin? Sudah nggak pakai kerudung, pake kaos lengan pendek dan celana ¾ plus nangkring sambil makan belimbing langsung diatas pohon. Entah lah antara aku lupa atau ingin melupakan aib itu yang aku ingat hanya sebelum aku ditanya (sebab sayup kudengar ada yang bertanya siapa yang ada diatas bersama anak ibu kost itu?). Segera aku turun setengah melompat kurasa dan segera pasang seribu kaki untuk lari. Aaaah..lega sekali dan hari berganti hari aku pun lupa apa yang terjadi hari itu. Bagimu hari itu adalah hari yang berkesan dan mengingatnya sebagai perjumpaan kita yang pertama. Lalu bagaimana dengan versiku? Memoriku merekam lokasi perjumpaan awal kita adalah di perpustakaan universitas. Salah satu tempat favorit di kampus Universitas Muhammadiyah Surakarta adalah gedung perpustakaannya. Luar biasa nyaman dan paling bikin betah... setidaknya dari beberapa perpustakaan universitas lain yang pernah aku kunjungi di jaman itu. Apalagi dipertengahan tahun 2002 itu (please..jangan mulai berhitung berapa usia saya sekarang ya...hi..hi..hi), sudah mulai mempersiapkan seminar, tugas-tugas praktikum psikodiagnostik dan semua aktifitas itu butuh banyak suplemen referensi.

Hari itu aku berniat mencari referensi buku untuk bahas proposal seminarku. Berangkat ke kampus pagi dan langsung ke lokasi karena jika tidak salah aku tak ada kelas hari itu jadi memang alokasi waktuku sepenuhnya ada disana. Setelah menemukan buku referensi itu, aku menuju ke rak buku lain. Hari itu aku ingin meminjam buku dibagian sastra. Berkeliling lah aku mengelilingi rak-rak  itu, tadaaaa...ada satu buku yang menyita perhatianku. Mungkin terpengaruh dengan novel yang baru saja selesai aku baca ‘Perempuan Berkalung Sorban’. Judul buku dirak itu langsung menyita perhatianku, kalau tidak salah ingat itu adalah buku baru yang ditulis Remy Sylado berjudul ‘Kerudung Merah Kirmizi’. Sama-sama ada kata kerudungnya, aku baca sekilas sinopsisnya. Bagus juga! Tapi entah kenapa aku jajarkan lagi ditempat semula dan beranjak berkeliling lagi. 


Tidak menemukan lagi judul buku yang cocok untuk “rekreasi”, aku pun kembali ke rak tadi. Du..du...du disana lah kisah dalam ingatan ini bermula...seseorang berdiri didepan rak dan mengambil buku itu. Mau tidak mau aku harus menyapanya, bertanya apakah buku itu akan ia pinjam? Dia jawab ya, kenapa? Aku jawab, tadi aku mau pinjam tapi belum jadi karena mau berkeliling dulu. Perbincangan berlanjut beberapa saat, aku tidak ingat apa saja inti pembicaraannya dan aku pun tidak tahu jika ternyata kamu sudah mengidentifikasiku sebagai tetangga kost yang suka panjat dan makan hasil petikannya langsung diatas pohon. Tanpa malu aku bertanya dimana kostmu, kamu jawab di Tuwak Wetan, Gonilan. Naifnya aku membalas, wah kebetulan kostku juga disana. Kamu dimana? Kamu sebut Kost Jaka Lelana. Aku sama sekali nggak pernah dengar eh atau memang nggak peduli sih tepatnya karena memang bukan hal begitu penting untuk diingat. Mungkin dalam pikirannya menahan geli saat aku tanyakan kost itu sebelah mana? Tapi kamu segera ambil alih mungkin ingin menyelamatkan aku dari kekonyolanku berikutnya, “Ya udah kamu dulu aja yang bawa bukunya nanti aku ke kostmu”. Entah lah waktu itu kamu tulus atau ada modus hanya kamu dan Tuhan yang tahu. Aku setuju dan kemudian menyebut  nama kostku. Berpisahlah hari itu, aku langsung menuju bagian administrasi peminjaman. Perjalanan pulang dijalan aku bertemu denganmu berjalan kaki, ku pelankan laju sepeda motor untuk menyapanya...suka tidak suka harus kulakukan karena dia sudah rela buku itu untukku lebih dulu. Kemudian sejak hari itu cerita – cerita lain mengikutinya, tak ada gejolak “rasa” lain terlintas selain aku nyaman memposisikanmu sebagai teman yang bisa diajak berdiskusi apa saja. Analisa sudut pandangmu yang unik, kadang jahil namun berbobot, ditambah wawasanmu cukup luas dibandingkan lawan bicara yang sering aku temui, karena itu semua kita bisa berlama-lama adu argumen saat sedang membahas sesuatu.   Termasuk ketika duduk di teras petang itu selepas maghrib, kita bedah buku karya Remi Sylado ‘Kerudung Merah Kirmizi’. Ingatkah kau kata-kata yang menari sepanjang diskusi? Mungkin saat itu sebenarnya aku sudah mulai menggali dan menaruh hati pada sudut pandang pribadimu; dirimu. Akankah engkau akan jadi lelaki itu? Penyempurna iman menuju keabadian tanpa ada sekat fana bernama waktu. Seperti penggalan sajak yang pernah kubaca, Yang Fana adalah Waktu – Kita Abadi. Sampai detik itu aku tak tahu dan belum ingin mencari tahu.

Yang Fana adalah Waktu; Kita abadi
Pic by Me

Lalu, bagaimana dengan bejana setengah penuh itu? Tunggu dulu....


*)Terpaksa bersambung ya saudara-saudara..jangan bosan cerita saya yang biasa saja ini. 
Salam sayang


#GebyarLiterasiMediaFebruari
#CintakuTakSebatasValentine
#RumbelLiterasiMediaIPS

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Tiada kesan tanpa kata dan saran darimu :)



Salam kenal,


Dee.Irum