Bukan tentang bingung memilih mau menulis apa, namun kesulitannya kali ini
adalah memutuskan siapa lakon cerita yang akan ada ditulisanku kali ini. Serius
deh ini beneran butuh tenaga ekstra untuk mengambil keputusan. Tema tantangan
gebyar literasi bulan Februari adalah tema merah jambu, bulan yang konon penuh
pernak-pernik cinta, penuh ungkapan rasa dan aroma romansa. Sedari dulu aku
tidak pernah benar-benar peduli, kecuali ada satu-dua kotak coklat yang mampir
bersama bunga segar atau juga yang imitasi. Itu juga nggak pernah aku nikmati
sendiri he..he..he..kecuali (lagi) itu dark
chocolate berbentuk segitiga kesukaanku. Saat mendapatkan tantangan ini,
sebenarnya langsung terbayang kerangka tulisannya. Lalu kenapa ‘mandeg’? Pasalnya
ya itu tadi mau ku hadiahkan untuk siapa tulisan ini? Perihal cinta dan kasih
mama yang selalu dirangkainya melalui doa-doa disepanjang sajadah yang beliau
gelar? Atau untuk papa? Lelaki cinta pertama putrinya ini? Atau...untukmu imam
yang aku pilih mendampingi proses belajar sepanjang hayat ini dalam kelas
bernama Pernikahan?
Akhirnya setelah meditasi cukup panjang (terlalu panjang kayaknya
hi..hi..hi..) keputusan hati bulat jatuh padamu, iya kamu yang sampai saat ini masih
sudi belajar di maha luasnya universitas kehidupan bersamaku (semoga kebaperan
tak melanda kewarasanku hingga rampung tulisan ini..hehe). Pilihan ini
didasarkan pertimbangan bahwa tulisan mama sudah pernah aku tulis sebelumnya,
meski masih banyak yang ingin ku ceritakan. Mungkin satu saat nanti aku akan
bercerita kembali tentangnya. Lalu, bagaimana cerita tentang papa? Hmm..agak
nekat sih ini karena berbarengan dengan tulisan ini juga kenangan tentang
beliau sedang berusaha aku ikat menjadi sejarah. Semoga! Dilihat saja nanti, meleset atau tidak.
Kisah Itu Bermula
Bercerita tentang kamu, rasanya tak akan pernah ada habisnya dan memang aku
berharap tak akan pernah usai bercerita tentang kita. Kamu hanya tersenyum
ketika aku mengutarakan niat keputusanku...Lalu kau berkelakar ”Apa nggak malah
jadi novel tuh tulisanmu?atau jadi agenda cerbung”. Ih..sebel tapi ku pikir iya
juga sebab suka susah berhenti dari papan seluncur ketika kata-kata sudah mulai
terlontar saling berkelindan.
Semula kita hanya lah dua orang asing yang dipertemukan melalui banyak rangkaian
peristiwa yang terajut jadi cerita. Kisah itu, kini berusaha selalu kita cari
dan hidupkan lagi untuk pahami apakah benar ini takdir, jodoh atau nasib yang senantiasa
bergerak berdasarkan doa, asa dan usaha kita ataupun sayap-sayap doa serta
harapan orang-orang disekeliling kita. Pun saat petualangan kita mengarungi 11
tahun biduk pernikahan dengan semua roller
coaster kehidupan yang ada didalamnya. Babak demi babak, canda, tawa,
bahagia serta derai airmata dalam kisah kita mampu terkumpul menjadi tabungan
kenangan kita.
Source : google |
Aku
tak pernah benar-benar mengingat kapan permulaan kita bertemu dan menjadi
dekat. Atau rasa seperti apa yang pernah singgah di hati tentang kamu. Mengapa
pula hatiku memilihmu? Tidak pernah ada kamus yang mampu membantuku mencari
jawabannya. Sebab jujur harus selalu aku akui; tak ada jawaban pasti. Cinta? Love
at first sight? Nope..!!. Semuanya mengalir begitu saja tanpa pertanda, harus kuakui ada sih riak-riak kecil harapan sebenarnya. Namun dengan mudah ku tepis
atas nama 'kebebasan' ha..ha..ha... Kamu pasti ingat betul tentang makna kebebasan itu; pilihan kesibukanku di kampus dan berbagai prioritasku
saat itu.
Ingatan
terkuatku hingga kini tentang kamu adalah dinamika psikologisku ketika mengambil
keputusan tentang memaknai hubungan kita. Kualifikasi nilaimu hanya 60% dari
total kriteria imam impian. Aku memilihmu karena “bejana
setengah penuh” yang kau punya, dan itulah kelebihanmu. Banyak
yang datang dan pergi dengan total nilai nyaris sempurna, dan aku tak menampik
bahwa beberapa diantaranya rasa kami tak bertepuk sebelah tangan. Tapi kamu pun menjadi saksi
bahwa aku tak berdaya membawa perasaan itu lebih jauh lagi. Entahlah..ada hubungannya
atau tidak, mungkin
karena aku mahasiswi fakultas psikologi, dan secara naluriah semakin tajam mengetahui potensi diriku seperti
apa. Hingga, membentukku agar belajar tidak gegabah
mengambil pilihan. Memperkirakan dan mempertimbangkan dengan akal hati dan pikiran, siapakah yang memiliki
frekuensi yang sama untuk mampu
berjalan berdampingan bersamaku di masa depan. Setiap pilihan akan selalu ada resiko sebab dan
akibat, oleh karena itu
tidak boleh ada penyesalan di kemudian hari. Sebab saat sudah ketuk palu
keputusan, pantang bagiku untuk menariknya lagi.
Kami berdua punya versi sendiri-sendiri terkait kapan kami mulai saling sapa.
Masih jadi
misteri. Kadang geli sendiri kalau napak tilas kenangan, serumit itu kah benang merah yang Tuhan
sediakan untuk kami. Kamu bilang, melihatku pertama kali sepulang jamaah sholat
dhuhur di masjid Abu Bakar As Shiddiq. Kamu melihatku bersama beberapa teman kostku dan anak
pemilik kost sedang ramai memetik belimbing. Pohon belimbing milik bu kost ini
berada didalam pagar namun karena rindang memang beberapa dahannya menjuntai
keluar. Nah, cerita memalukan ini pun bermula. Katamu, sekembali dari masjid
dan berganti pakaian kamu bersama beberapa anak kost depan yang sudah memasang
dan mengunci target masing-masing menghampiri kami. Oh ya, kost kami sering
dianggap kost pencari jodoh he..he..he..iya karena kost putri berhadapan
langsung dengan kost putra. Sepertinya fakta pun meng-aamiin-kan kabar itu. Ada
yang hanya bertahan hingga beberapa lama tapi banyak juga hingga akhirnya
menyebar undangan sah menjadi keluarga. Balik ke cerita pohon belimbing tadi,
aku dengar memang ada yang datang ke halaman depan kost. Mereka bertanya sedang
apa ramai-ramai, dan entah apa lagi yang diobrolkan meski jelas percakapannya
namun fokusku sedang tidak berada disana. Arggh...sebenarnya aku ingin sekali
loncat dan segera lari dari situ. Loncat??Hi..hi..hi..iya loncat nggak salah
baca kok..tadinya sih cuek aja nangkring di dahan pohon belimbing itu sambil
terus mencari belimbing yang sudah tua dan sesekali menikmati langsung buahnya.
Sensasi makan buah langsung diatas pohonnya itu.. luaaaar
biasaa...hi..hi..hi...Belimbing yang sudah dipetik itu lalu kulempar ke teman
yang sudah bersiap dibawah. Yaa..gitu
deh karena nggak ada yang berani memanjat dan aku memang suka, akhirnya naiklah
ke pohon menemani anak ibu kost yang sudah lebih dulu memposisikan diri. “Tamu”
tak terduga kami siang itu langsung menghampiri anak ibu kost dengan modus
minta dibagi belimbing yang sudah dipetik. Anak ibu kost yang memang posisinya
ada didahan yang lebih dekat ke jalan raya sedang aku memilih dahan sebelah
dalam. Aku yang waktu itu masih belajar memantapkan niat tentang
jilbab/kerudung, sebab memang awal semester satu itu baru mulai mengenakannya.
Itu pun tidak pernah terpikir secepat itu aku akan belajar memakainya.
Informasi dan pengetahuan tentang jilbab saat itu belum lah sebanyak sekarang
ini. Kampusku juga belum menerapkan wajib busana islami bagi pasa mahasiswinya,
hanya ketika masa orientasi kami diwajibkan memakainya. Setelah itu
dikembalikan kepada keputusan masing-masing individu.
Nah, aku menetapkan batas
pagar kost sebagai rambu-rambu belajar konsisten mengenakan kerudungku. Jadi
kalau masih di dalam area pagar kost dan tidak dalam kondisi menerima tamu atau
ada tamu di teras kost maka kerudung itu tidak aku pakai. Celakanya, tamu tak
terduga tadi menghampiri dalam kondisi yang membuatku ingin loncat jika mampu
terbang sampai ke kamarku diujung lorong belakang bangunan kost yang berbentuk
letter L. Gimana tidak panas dingin? Sudah nggak pakai kerudung, pake kaos
lengan pendek dan celana ¾ plus nangkring sambil makan belimbing langsung
diatas pohon. Entah lah antara aku lupa atau ingin melupakan aib itu yang aku
ingat hanya sebelum aku ditanya (sebab sayup kudengar ada yang bertanya siapa
yang ada diatas bersama anak ibu kost itu?). Segera aku turun setengah melompat
kurasa dan segera pasang seribu kaki untuk lari. Aaaah..lega sekali dan hari
berganti hari aku pun lupa apa yang terjadi hari itu. Bagimu hari itu adalah
hari yang berkesan dan mengingatnya sebagai perjumpaan kita yang pertama. Lalu bagaimana dengan
versiku? Memoriku merekam lokasi perjumpaan awal kita adalah di perpustakaan
universitas. Salah satu tempat favorit di kampus Universitas Muhammadiyah
Surakarta adalah gedung perpustakaannya. Luar biasa nyaman dan paling bikin
betah... setidaknya dari beberapa perpustakaan universitas lain yang pernah aku
kunjungi di
jaman itu. Apalagi dipertengahan tahun 2002 itu (please..jangan mulai berhitung
berapa usia saya sekarang ya...hi..hi..hi), sudah mulai mempersiapkan seminar,
tugas-tugas praktikum psikodiagnostik dan semua aktifitas itu butuh banyak
suplemen referensi.
Hari itu aku berniat mencari referensi buku untuk bahas proposal seminarku.
Berangkat ke kampus pagi dan langsung ke lokasi karena jika tidak salah aku tak
ada kelas hari itu jadi memang alokasi waktuku sepenuhnya ada disana. Setelah
menemukan buku referensi itu, aku menuju ke rak buku lain. Hari itu aku ingin
meminjam buku dibagian sastra. Berkeliling lah aku mengelilingi rak-rak itu, tadaaaa...ada satu buku yang menyita perhatianku.
Mungkin terpengaruh dengan novel yang baru saja selesai aku baca ‘Perempuan
Berkalung Sorban’. Judul buku dirak itu langsung menyita perhatianku, kalau
tidak salah ingat itu adalah buku baru yang ditulis Remy Sylado berjudul
‘Kerudung Merah Kirmizi’. Sama-sama ada kata kerudungnya, aku baca sekilas
sinopsisnya. Bagus juga! Tapi entah kenapa aku jajarkan lagi ditempat semula
dan beranjak berkeliling lagi.
Tidak menemukan lagi judul buku yang cocok untuk
“rekreasi”, aku pun kembali ke rak tadi. Du..du...du disana lah kisah dalam
ingatan ini bermula...seseorang berdiri didepan rak dan mengambil buku itu. Mau
tidak mau aku harus menyapanya, bertanya apakah buku itu akan ia pinjam? Dia
jawab ya, kenapa? Aku jawab, tadi aku mau pinjam tapi belum jadi karena mau
berkeliling dulu. Perbincangan berlanjut beberapa saat, aku tidak ingat apa
saja inti pembicaraannya dan aku pun tidak tahu jika ternyata kamu sudah
mengidentifikasiku sebagai tetangga kost yang suka panjat dan makan hasil
petikannya langsung diatas pohon. Tanpa malu aku bertanya dimana kostmu, kamu
jawab di Tuwak Wetan, Gonilan. Naifnya aku membalas, wah kebetulan kostku juga
disana. Kamu dimana? Kamu sebut Kost Jaka Lelana. Aku sama sekali nggak pernah
dengar eh atau memang nggak peduli sih tepatnya karena memang bukan hal begitu
penting untuk diingat. Mungkin dalam pikirannya menahan geli saat aku tanyakan
kost itu sebelah mana? Tapi kamu segera ambil alih mungkin ingin menyelamatkan
aku dari kekonyolanku berikutnya, “Ya udah kamu dulu aja yang bawa bukunya
nanti aku ke kostmu”. Entah lah waktu itu kamu tulus atau ada modus hanya kamu
dan Tuhan yang tahu. Aku setuju dan kemudian menyebut nama kostku. Berpisahlah hari itu, aku
langsung menuju bagian administrasi peminjaman. Perjalanan pulang dijalan aku
bertemu denganmu berjalan kaki, ku pelankan laju sepeda motor untuk
menyapanya...suka tidak suka harus kulakukan karena dia sudah rela buku itu
untukku lebih dulu. Kemudian sejak hari itu cerita – cerita lain mengikutinya,
tak ada gejolak “rasa” lain terlintas selain aku nyaman memposisikanmu sebagai teman
yang bisa diajak berdiskusi apa saja. Analisa sudut pandangmu yang unik, kadang
jahil namun berbobot, ditambah wawasanmu cukup luas dibandingkan lawan bicara
yang sering aku temui, karena itu semua kita bisa berlama-lama adu argumen saat
sedang membahas sesuatu. Termasuk
ketika duduk di teras petang itu selepas maghrib, kita bedah buku karya Remi
Sylado ‘Kerudung Merah Kirmizi’. Ingatkah kau kata-kata yang menari sepanjang
diskusi? Mungkin saat itu sebenarnya aku sudah mulai menggali dan menaruh hati
pada sudut pandang pribadimu; dirimu. Akankah engkau akan jadi lelaki itu? Penyempurna iman
menuju keabadian tanpa ada sekat fana bernama waktu. Seperti penggalan
sajak yang pernah kubaca, Yang Fana adalah Waktu – Kita Abadi. Sampai detik itu
aku tak tahu dan belum ingin mencari tahu.
Yang Fana adalah Waktu; Kita abadi Pic by Me |
Lalu,
bagaimana dengan bejana setengah penuh itu? Tunggu dulu....
*)Terpaksa bersambung ya saudara-saudara..jangan bosan cerita saya yang biasa saja ini.
Salam sayang
#GebyarLiterasiMediaFebruari
#CintakuTakSebatasValentine
#RumbelLiterasiMediaIPS
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung. Tiada kesan tanpa kata dan saran darimu :)
Salam kenal,
Dee.Irum