Metamorfosa Rasa (Babak 2) : Bejana Setengah Penuh

Kamis, 22 Maret 2018


Setahun berlalu sejak pertengahan tahun 2002 kita mulai bertegur sapa. Diskusi buku, membahas pertandingan liga sepakbola, situasi politik, sosial, berpetualang mencari HIK (Hidangan Istimewa Kampung) atau lebih dikenal dengan angkringan yang obrolannya pemilik dan pengunjungnya asyik. Sampai menemaniku melakukan tugas social experiment di beberapa lokasi di Solo yang berlabel "kuning". Tidak setiap hari kita bertemu atau bertegur sapa meski kost kita saling berhadapan. Sesuai kesepakatan tidak akan saling mengganggu semua aktifitas dan prioritas kita, 

Source : Google

Hingga satu hari kamu begitu yakin meminta waktu untuk bicara padaku, di ruang tamu rumah kontrakan mbak kostku yang harus pindah dari kost untuk menyewa rumah agar lebih ringan bia yanya. Sebab kakak, adik, dan beberapa saudara dari Lampung juga ikut kuliah di Solo.  Ia sudah dekat layaknya saudara, dan nampaknya kalian berkonspirasi hari itu. Sesampai disana, setelah bercerita kesana kemari dengan alur dan topik campur aduk. Kamu minta waktu sebentar untuk bicara padaku. Kita ke ruang tengah, entah kita sedang merayakan apa hari itu sampai ada masak besar. Di tengah riuh ramai mbak Nik sekeluarga ditambah beberapa teman lain datang, tiba-tiba kamu bilang ada yang ingin kamu bicarakan. Firasatku mengatakan ada sesuatu yang...hmm..aku takutkan dan hindari selama ini. Ternyata betul kamu minta ijin ingin mengutarakan perasaanmu.Kita duduk bersila dan saling berhadapan agak berjauhan. Aku mendengarmu menghela nafas beberapa kali dan hembusan nafas yang berat. Mataku menatap sekeliling ruang itu, ingin mencari celah untuk kabur rasanya.

“Bismillahirrahmanirrahiim...aku mau bilang sesuatu tapi kamu jangan marah”. Nampaknya kamu masih mengingatnya, maka kamu kunci dengan permintaan maafmu dulu.
“Hmm...kenapa?
“Dengarkan sampai selesai aku bicara tolong jangan disela..”
“Oke”
Kamu menghela napas kembali, kali ini lebih panjang, dalam dan berat.

Baiklah dengarkan...Sebagai saudara sesama muslim dan sebagai bentuk ukhuwah islamiyah. Aku ingin silaturahmi sama kamu, berproses untuk lebih mengenalmu. Setelah itu jika semua berjalan baik aku ingin silaturahmi sama keluargamu, lalu jika Allah mengijinkan aku akan mengkhitbahmu. Dan bila Allah meridhoi dan orangtuamu merestui pangkal dari niatku ini adalah aku akan mengucapkan akad didepan orangtuamu“

“Aku sudah selesai..silahkan dijawab tapi sekarang... saat ini juga. Boleh atau tidak?”
“Kenapa?!?”
“Tidak ada kata besok pagi karena jika jawaban itu datang besok artinya kamu mendengarkan suara logika pikiranmu. Aku pengen kamu pertimbangan ini pakai rasa...akal logika perasaanmu. Seperti yang selalu kamu bilang kan akal pikiran dan akal hati tidak bisa selalu beriringan tapi hati memiliki penjaganya bernama nurani..Aku ingin kamu jawab pakai itu. Aku hanya butuh ijinmu untuk melanjutkan niatku

“Tapi...ini seperti intimidasi tahu nggak?!...memberikanmu ijin atau tidak aku masih ragu
“Tetap saja aku tunggu jawabannya sekarang. Baik aku kasih waktu sepuluh detik
“Hah?!? Yang bener aja, Am?” dan keringat dingin mulai terasa merambat dari kaki hingga ke ubun-ubun.

Jauh didalam hatiku aku berdoa bertubi-tubi supaya aku diberi kekuatan menjawab yang tepat. Sebab orang dihadapanku ini orang baik, jangan sampai ada penyesalan di kemudian hari.
Aku tarik napas dalam-dalam dan merasakannya hembusannya keluar perlahan-lahan, sambil memejamkan mata ku coba setenang mungkin.

“Bismillahirrahmanirrahiim , Baik aku jawab...aku..ti..dak bi..sa...mmh...” aku pandangi kedua belah mata orang yang duduk dihadapanku ini. Anak matanya nyaris membulat hitam hampir penuh. Oh...Tuhan..dia berharap! Seketika aku menangkap perasaan kecewa pula disana ketika ia mendengar kalimatku yang menggantung, pupil matanya yang membulat mulai beranjak mengecil. Ia tertunduk. 

Entah aku terilhami oleh apa...seperti tanpa sadar lidah refleks melanjutkan ucapan yang menggantung tadi...ti..dak bi..sa... bilang..TIDAK”. Aku tersentak sendiri mendengar penyelesaikan kalimatku tadi. Ini betul-betul terjadi..aku seperti diluar kuasaku. Terlambat...nggak mungkin aku tarik kalimatku tadi...tak mungkin...aaah aku harus gimana..penyesalan sudah tidak ada guna. 

Seketika air mukanya berubah riang, dan aku...bisa lah dibayangkan raut wajah masih terhenyak heran dengan jawabanku sendiri. Aneh!! Ada dua suara dalam hatiku, sisi lain lega dengan pilihan jawaban itu tapi disisi lainnya takut ini bukan keputusan yang tepat. Takut kalau saja ini akan melukai hubungan baik kami berdua nantinya. Kamu meraih tanganku, membawanya ke dahimu dan mengucapkan dengan intonasi penuh sukacita dan kelegaan, “Terima Kasih...”, ucapmu sambil menegakkan kepalamu lagi. Kulihat ada genangan tipis dikedua sudut mata yang berbinar itu.

“Tapi ingat ini berproses, bukan pacaran atau apapun seperti yang dipahami orang-orang. Kamu masih ingat tho? Apa arti pacaran buatku?” aku segera melanjutkan kalimatku sebagai konfirmasi agar tidak ambigu maknanya nanti.
“Ya..ya..paham..pacaran menurutmu adalah sesuai arti bahasa Kawi-nya; perjalanan menuju pernikahan. Tidak ada kewajiban makan bareng, wajib lapor, kemana-mana harus bareng dan seterusnya. Begitu kan maksudmu...?
“Baguslah kamu ingat. Aku nggak mau kalau harus ada acara lapor melapor, kamu dimana? sedang apa? atau harus sama-sama tiap waktu, makan bersama, pergi kemana-mana harus bersama. Kamu tahu aktifitas dan dunia kampusku. Sekali lagi ini proses, kita harus tetap membebaskan satu sama lainnya. Sampai memang suatu saat Allah menunjukkan definisi lain dari apa yang kita sepakati hari ini”
Satu lagi, aku ingin dimengerti dengan semua kemanusiawianku. Aku cuma perempuan biasa yang punya cita-cita dengan segala kesempurnaan kekurangannya. Aku banyak kekurangannya sebagai perempuan. Kamu harus siap dengan segala kemungkinan kemanusiawianku itu.”
“Iya aku ngerti aku juga bukan orang baik...sekali lagi terima kasih ya”

Begitulah tahapan baru kisah perjalanan awal proses kami, aku memang bimbang tapi seperti katamu aku harus membiarkan akal hatiku berperan. Setelah mampu menimbangnya, akal pikiranku pun mengingatnya bahwa belum pernah ada lelaki yang proposalnya seperti ini. Jelas, pasti dan memiliki visi. Lalu apalagi? Maka akal hatiku menuntun lidah ini memberikan sentuhan terakhir pada kalimatku dengan kata, TIDAK”   

Memang memberikan kesempatan untuk berproses sama saja membuka peluang untuk menyakitinya karena sejak awal aku tidak terlalu suka dengan konsep pacaran. Terlepas dari halal dan haramnya, secara pribadi aku nggak cocok dengan konsep itu. Yang mendahului menuntut hak yang bukan miliknya karena seolah-olah pacaran adalah label kepemilikan sah.   Padahal sama sekali tidak. Masa itu masih banyak hal yang ingin ku perbuat, selalu muda, selagi masih jadi mahasiswa yang dipercaya idealisme dan gagasannya otentik untuk melakukan banyak perubahan. Aku nggak ingin terbebani, dengan terjebak dalam perasaan yang belum semestinya. Masalah psikis akan selalu memiliki ranah tak teridentifikasi potensi arusnya tak selalu mudah dipahami.

Sejak proposalmu kamu sampaikan di awal tahun 2003, semua masih berjalan seperti biasa, tak ada yang berubah. Perlahan bejana setengah penuh mulai kita isi seiring proses yang kita jalani. Mulai meletakkan asa dijejak-jejak percakapan kita. Diam-diam aku sadar perlu memaknai ulang proses kita ini. Ada biduk-biduk kecil yang mempertanyakan akan menjadi siapakah engkau nanti? Kemana segala rasa yang belum punya nama ini akan berlabuh?
Maafkan saya bapak/ibu dosen...

Ada beberapa hal kecil perubahan, seperti kita mulai rileks membicarakan orang-orang dekat kita; orang tua, adik-adik, saudara sepupu. Ya, aku memang tidak memilih bejana yang telah sempurna terisi, sebab aku takut terjebak, terbuai lalu lalai. Alasan lain manusiawinya kepribadianku yang mudah bosan jika zona itu terlalu “nyaman”...flat.. Kamu? meski tak selalu berhasil ada saja canda yang kamu bawa, membuatku ingin menertawakan apa saja. 

Intensitas pertemuan kita jadi lebih sering karena kamu minta tolong aku menemani mengolah data penelitian skripsimu. Pertengahan tahun kamu sudah merampungkan studimu. Tiba saat kamu diwisuda, tatap muka pertama dengan kedua orang tuamu. Namun aku harus pamit karena tepat dihari wisudamu itu aku harus ke Jakarta menggantikan mama yang belum pulih pasca operasi. Selepas wisuda itu juga kamu langsung boyongan pulang ke kampung halaman. Kemudian kita mulai mengakrabi jarak sebagai penguat proses kita. Awal tahun 2004, kamu memberi kabar diterima di perusahaan ekspor impor di Semarang. Posisiku masih di Solo mengurus olah data penelitian skripsiku, ya karena pilihanku menggunakan penelitian kualitatif maka mengolah sumber datanya jauh lebih lama. Kurang lebih satu tahun aku berjuang menyelesaikan skripsi idamanku itu.


Kupersingkat saja ya...seperti awamnya orang yang sedang berproses dari tahun ke tahun pasti ada pasang surutnya. Namun, selalu saja kami kembali dengan segala bentuk peninjauan ulang hingga di tahun 2005; bulan agustus kamu berhasil sampai pada prosesmu untuk bicara kepada papa tentang niatmu meng-khitbahku. Kamu bilang umur 26 adalah usia yang ia tetapkan untuk menikah. Ia percaya jikapun bukan denganku bisa dengan siapa saja yang Allah perkenankan. Alhamdulillah, akhir tahun 2006 di bulan syawal kamu pun melunasi proposalmu, menggenapi separuh agama kita. Kamu pun ucapkan akad didepan orang tuaku. Lelaki itu (ternyata) memang kamu .... telah mengetuk pintu (hati)ku.
Berkat Bakat INPUT, masih terselamatkan :)





#GebyarLiterasiMediaFebruari
#CintakuTakSebatasValentinePart2
#RumbelLiterasiMediaIPS

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Tiada kesan tanpa kata dan saran darimu :)



Salam kenal,


Dee.Irum