MAMA, PAYUNG TEDUH PELINDUNGKU

Selasa, 02 Januari 2018

Bismillahirahmanirrahiim

Sejujurnya tulisan ini seharusnya sudah cukup lama dieksekusi, disampaikan dirumah belajar kelas offline blogging IIP Semarang awal bulan desember lalu. Seperti kita ketahui tanggal 22 Desember di negara kita ini diperingati sebagai Hari Ibu.Tema yang populer dan dekat sekali dengan kehidupan kita adalah tentang ibu.
Bercerita tentang mama bagi saya tidak akan pernah ada habisnya, jika ibarat sinetron entah akan menjadi berapa sekuel judul akan terus berlanjut. Mungkin saja bisa bersambung seumur hidup ceritanya, sebab memang tak akan ada selesai belajar dari mama. Tema ibu selalu ingin saya ceritakan, namun ada saja alasan untuk menggoyahkan kesungguhan ini ketika ingin memulainya. Memang dasar orangnya juga kebanyakan bkin alasan sih ehehehe. Bayangan ingin menuangkan semua ide dalam tulisan tentang ibu hilir mudik bergantian, namun pada akhirnya harus rela berujung pada kerangka cerita saja atau lebih mengenaskan paling juga berupa corat coretan saja. Ya begitulah saking kebanyakan berpikir itu benang merah tulisan nggak ketemu, malah benang ruwet yang mampir. Ada kalanya niat itu memang butuh pemaksaan, jika tidak pasti belenggu kemalasan dengan segala macam mantranya akan terus menggagalkan usaha kita. So, let’s get move..!

Sejarah Hari Ibu di Indonesia
Sebelum bercerita tentang mama, baiknya kita menilik kebelakang belajar sejarah bagaimana awalnya ditetapkan tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu. Bagi saya belajar merunut latarbelakang sejarah adalah sebuah kondisi yang senantiasa harus diupayakan sebagai dasar pemikiran. Ya supaya tertib pikir dan nalar saja sih sebenarnya ditengah ‘kesememrawutan’ saya ahahahay...
Peringatan Hari Ibu pada tanggal 22 Desember baru ditetapkan pada Kongres Perempuan Indonesia III pada tahun 1938. Secara resmi tanggal 22 Desember ditetapkan sebagai Hari Ibu oleh Presiden Soekarno melalui melalui Dekrit Presiden No. 316 tahun 1959 menetapkan bahwa tanggal 22 Desember adalah Hari Ibu dan dirayakan secara nasional hingga saat ini.
Awalnya Hari Ibu di Indonesia dirayakan pada ulang tahun hari pembukaan Kongres Perempuan Indonesia yang pertama, 22-25 Desember 1928. Kongres ini diselenggarakan di sebuah gedung bernama Dalem Jayadipuran, yang kini merupakan kantor Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional di Jalan Brigjen Katamso, Yogyakarta. Kongres ini diprakarsai oleh tiga tokoh wanita yakni: R.A. Soekonto dari Organisasi Wanito Utomo, Nyi Hajar Dewantara dari Wanita Taman Siswa dan Sujatin dari Putri Indonesia.
Kongres Perempuan Indonesia I dihadiri sekitar 1.000 perempuan, berasal dari 30 organisasi wanita yang ada di 12 kota se-Jawa dan Sumatra. Pertemuan ini kemudian melahirkan Kongres Perempuan yang kini dikenal sebagai Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Di Indonesia, organisasi wanita telah ada sejak 1912, terinspirasi oleh pahlawan-pahlawan wanita Indonesia pada abad ke-19 seperti Kartini, Christina Martha Tiahahu, Cut Nyak Meutia, Maria Walanda Maramis, Dewi Sartika, Nyai Ahmad Dahlan, dan lainnya. Kongres dimaksudkan untuk meningkatkan hak-hak perempuan di bidang pendidikan dan pernikahan.
Agenda utama Konggres Perempuan Indonesia I adalah persatuan perempuan nusantara, peranan perempuan dalam perjuangan kemerdekaan, peranan perempuan dalam berbagai aspek pembangunan bangsa, perbaikan gizi dan kesehatan bagi ibu dan balita, hingga pernikahan usia dini bagi perempuan, dan lain sebagainya.
Kongres Perempuan Indonesia II kemudian digelar Juli 1935. Dalam konggres ini dibentuk BPBH (Badan Pemberantasan Buta Huruf) dan menentang perlakuan tidak wajar atas buruh wanita perusahaan batik di Lasem, Rembang. 
Jadi pada dasarnya penetapan peringatan Hari Ibu di Indonesia adalah untuk mengenang semangat dan memaknai perjuangan para perempuan dalam upaya perbaikan kualitas bangsa ini. Misi tersebut terangkum menjadi kesatuan semangat kaum perempuan bangsa ini yang berasal dari beragam latar belakang untuk bersatu dan bekerjasama. Luhur sekali, bukan? ibu-ibu bangsa kita kala itu.

Hari Ibu ‘Jaman Now’
Saat ini Hari Ibu mungkin telah bergeser maknanya, atau mungkin bahkan telah dilupakan semangat awal ditetapkannya secara nasional peringatan Hari Ibu pada tanggal 22 Desember. Sebab terkadang Peringatan Hari Ibu memang se­olah hanya menyatakan rasa cinta ter­hadap kaum ibu, saling ber­tukar hadiah, dibeberapa tempat menyelenggarakan ber­bagai acara dan kompetisi, seperti lom­ba memasak dan memakai kebaya. Peringatan ini kadang terkesan sekedar perayaan agar tetap dianggap kekinian, ikut mengucapkan ‘Selamat Hari Ibu’ dengan membawa sekotak romantisme berbentuk seikat bunga, coklat ataupun kado-kado lain tak lupa cekrek..cekrek dan unggah ke media sosial dengan ‘caption’ sebagus mungkin.
Tak ada yang salah sih, karena hadiah-hadiah serta perayaan itu tujuannya untuk menyenangkan hati ibu dan tidak ada yang pernah tahu bisa saja unggahan foto-foto kita itu akan mampu menginspirasi orang lain untuk berbuat kebaikan yang sama kepada ibunya.
Namun janganlah perayaan ini hanyalah untuk menjaga gengsi yang isinya mencari sensasi dan penuh imitasi. Menjauh dari esensi untuk mengenang ibu kita dan para ibu bangsa yang begitu luar biasa menjadi salah satu garda utama menjaga kualitas prima generasi bangsa kita. Intinya jangan sampai melupakan sejarah, bahwa nilai utama memperingati Hari Ibu di Indonesia ini ada­lah mengenang para pahlawan-pah­lawan perempuan Indonesia. Momentum refleksi atas perjuangan para pahlawan pe­rempuan bangsa ini, sekali­gus dampak perubahannya kepada gene­rasi sekarang.

Aku dan Makna Peringatan Hari Ibu
Hari Ibu bagi saya adalah setiap hari, berusaha tidak hanya ditanggal 22 Desember saja memperingati Hari Ibu, sebab rasanya tidak adil jika hanya dihari itu kita buat ibu kita spesial. Sebab setua apapun kita nanti akan tetap diperingati oleh ibu kita sebagai Hari Anak. Meski nggak selalu mulus buat Mama happy karena saya banyak khilaf lupa dan lalainya...haddeh..namun setidaknya saya sudah berupaya (ngeles aja...). Alangkah indahnya jika tiap hari kita rayakan kebaikan ibu kita dengan membuatnya selalu bahagia, seperti anjuran agama dalam banyak ayat di Al Qur’an juga hadist yang menuturkan tentang keutamaan ibu. Salah satunya dalam surat Al-Ahqaaf ayat 15,
“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdo’a: “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri ni’mat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai. berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.”(Qs. Al-Ahqaaf : 15)
Ayat tersebut menjelaskan mengenai hak ibu terhadap anaknya. Lama ibu mengandung hingga melahirkan pada umumnya paling cepat adalah adalah 6 bulan dan alamiah normalnya 9 bulan 10 hari, ditambah 2 tahun menyusui anak, hingga didapatkan genap 30 bulan.
Bahkan dalam sebuah hadist dikatakan bahwa kebaikan kepada ibu tiga kali lebih besar daripada kepada ayah. Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, beliau berkata, “Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi,’ Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Kemudian ayahmu.'” (HR. Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 2548).
Maka memaknai Hari Ibu bagi saya adalah semacam perayaan malam puncak dari seluruh hari pada kehidupan ini untuk mensyukuri kasih sayang yang telah diberikan Mama kepada kami. Doa-doa panjang dan tulus yang selalu digelar bersama sajadah panjang keridhoannya, perasaan cinta dan kasih sayang yang tak pernah habis dibagi dan tak pernah henti meski sudah setua ini. Pernah suatu kali, saya bertanya “Mama mau dibelikan apa? Atau “Mama mau makan dimana? Atau “Mama pengen pergi jalan-jalan kemana?” . Jawaban beliau akan selalu senada “Halah..nggak usah beli apa-apa uangmu ditabung saja, mau makan ya makan apa enak masakan Mama. Kalian pulang kumpul rame-rame dirumah malah enak terus bisa makan sepuasmu..”. Ya, begitulah Mama bagi mama momentum kebahagiaan adalah ketika kita saling ada, “hadir” dan peduli satu sama lain dalam kondisi apapun. Ujar mama lagi, “Orang tua dimana-mana ditelpon apa di SMS ditanya kabar aja sudah senang nggak usah sing neko-neko...”. Jawaban ini mak jleb rasanya tepat dihati..hiks...merasa disentil karena kadang masih suka lalai terlewat untuk sekedar berkabar dengan beliau. Akhirnya memang kami; saya dan adik-adik selalu bergantian untuk pulang ke rumah, selain karena beliau saat ini hanya tinggal berdua dengan kondisi kesehatan tidak seprima kala muda. Saya mendapatkan jatah sebulan sekali pulang, adik bungsu saya karena tinggal di Pati yang jaraknya lebih dekat dibanding saya ia mengagendakan dua minggu sekali pulang. Sedangkan adik laki-laki saya; si anak tengah yang tinggal di Kudus tentu ia mendapatkan jatah lebih sering berkunjung. Sebisa mungkin kami menjaga agar beliau tidak merasa diabaikan, telpon dan SMS meski tidak rutin setiap hari paling tidak seminggu sekali kami saling bertukar kabar.
Mama; idola, mentor, sahabat dan musuh debat
Bagi saya mama adalah paket komplit yang mampu menyandang banyak predikat, beliau adalah idola, salah satu panutan yang tidak mungkin tergantikan. Jika ada ungkapan bahwa ibu adalah malaikat tanpa sayap yang diturunkan Tuhan ke bumi, tanpa syarat saya dengan bulat sepakat dengan ungkapan tersebut. Sosok lembut sekaligus tangguh, tak banyak keluhan keluar dari diri beliau sesulit apapun keadaan yang dihadapinya. Sebagai anak sulung saya mengingat beberapa episode dalam perjalan kehidupan rumah tangga orang tua saya. Papa yang pegawai negeri sipil dan memulai karir dari bawah, belum lagi resiko pekerjaan papa harus sering berpindah tugas membuat mama siaga setiap saat untuk beradaptasi dengan segala situasi. Beliau rela melepaskan karir yang akan dimulainya di dunia perbankan untuk totalitas untuk keluarganya. Membesarkan dan menjadi madrasah kami. Pernah saya iseng bertanya dulu, "Mama nggak sayang nggak jadi kerja di Bank *** (saya menyebutkan salah satu merek bank pemerintah) kan kering, Ma?" Jawaban mama, "Kebanggaannya apa? Kalau mama kerja di Jepara papamu ditugaskan di Semarang terus anak-anak mama dititipkan orang, terus sibuk sendiri ketemu nggak leluasa, nggak tahu anaknya udah bisa apa? Mama bukan orangnya lagian papa juga sudah suruh bikin pilihan mama pilih keluarga apa pilih pekerjaan. Penjelasan itu akhirnya berkembang menjadi pelajaran sejarah awal keluarga, jadi mampir ke tema-tema nostalgia yang lain hehehe...Demi melihat mama yang berkobar semangatnya saya hanya tersenyum manggut-manggut plus diberikan irama berbunyi.."Oooo..." supaya lebih hidup suasananya. 


Mungkin mama bukanlah mama terbaik didunia bagi setiap orang, tapi bagi saya mama adalah hal terbaik dalam hidup saya yang telah Allah berikan. Konsep dasar mama mengasuh saya dan adik-adik selalu dihubungkan dengan nilai-nilai agama dan iman. Sejak dulu mama meyakini jika modal menjalani hidup ini adalah selalu melibatkan segala urusan kita dengan Allah, tidak akan pernah kita sesat susah dijalan. Ada kalimat mama yang nggak pernah saya lupakan, suatu saat saya sudah lulus  SMA waktu itu dan berencana belajar hidup bertanggung jawab jauh dari kota Kudus; Solo. Iseng saya bertanya, "Mama nggak takut kalau nanti kita berbuat apa gitu..nakal atau gimana?" Beliau langsung menjawab tegas, "Kenapa harus takut Mama punya Allah! Allah punya cara untuk kasih tahu Mama sama Papa. Mendidik anak itu kayak main layangan?"

"Maksudnya, Ma?" Sahutku. "Supaya layang-layang terbang tinggi ke langit perlu ditarik dan diulur butuh strategi. Harus menyesuaikan dan memperhatikan semua kondisi sekitar juga. Nggak asal paksa ditarik gitu, sudah nggak bisa terbang talinya juga putus. Mama nggak mau kayak gitu..." kalimat terakhir saya rasakan sebagai penegasan. "Jadi kamu mau bohong sama Mama, mungkin awalnya nggak tahu tapi suatu saat entah gimana caranya Allah pasti kasih tahu papa mama" Lanjut beliau kembali memberikan garis besar pembicaraan.
Kata-kata mama itu masih jelas saya ingat dan terus saya jadikan jimat ketika menghadapi anak-anak ideologis saya yang kadang luar biasa polah tingkahnya.

Mama, my sister and I
Mama adalah sahabat dan musuh (baca : lawan) yang "hebat". Bukan bermaksud sarkastik hehehe.. tapi memang demikian jika menggambarkan hubungan saya dengan mama. Jalinan kasih sayang kami terbilang unik, nggak selalu manis tapi juga nggak sampai pahit getir juga ceritanya. Dua orang yang keras kepala saling menyayangi tapi kesandung gengsi. Kata Papa, menurut penanggalan Jawa kami berdua punya neptu atau weton yang sama karenanya sifat dan karakter kami nyaris sama persis. Makanya sampai ada ritual "dibuang" terus nanti diketemukan orang lain untuk diasuh. Konon kabarnya biar nggak ada masalah dikemudian hari, tapi entahlah sampai saat ini saya juga tidak pernah mencari tahu filosofi yang sebenarnya dari ritual itu. Sedikit saya menduga mungkin karena sifat dan karakter maka gaya kami pun sama saat merespon sesuatu, maka adu kuat pendapat sering tak terelakkan saat kami sedang berdiskusi. Kalau sudah begitu seisi rumah hanya senyum-senyum melihat bagaimana kami saling menguasai diri. Namun, tetaplah Mama tetaplah Mama yang kuat pendiriannya saya pun tetap memeluk erat pendapat saya...dalam diam.
Banyak hal lagi yang bisa saya ceritakan tentang mama dan warisan nilai-nilainya, tak akan pernah habis saya menyerap semua ajaran luhur beliau. Mulai dari mengatur rumah tangga, manajemen keuangannya, bagaimana menjalani gaya hidup yang sehat, hemat, berhati-hati pada rejeki yang Allah titipkan dan banyak hal lagi. Salah satu yang ingin saya bagi adalah Mama selalu bilang sejak dulu, jangan minta kaya, rejeki yang banyak dan melimpah namun mintalah yang cukup, manfaat dan berkah. Ketika saya dengan naifnya bertanya apa bedanya, Mama menjawab kalau hanya kaya tapi dicabut berkahnya maka kekayaan itu nggak akan pernah cukup, merasa tidak tenang, mungkin dia kaya tapi dia sakit-sakitan, dan seterusnya. Berbeda jika minta dicukupkan dan berkah, Allah akan beri kecukupan sesuai dengan kebutuhanmu. Apapun keadaanmu Allah akan selalu isi dengan keberkahan, dan kenapa manfaat karena mungkin saja Allah beri kamu nikmat ada rejeki orang lain yang dititipkan lewat kamu.  Nggak semua bisa dibeli dengan uang, bahagia, rasa tenang karena Allah menjamin setiap makhluk-Nya itu dimiliki orang-orang yang bersyukur.



Mama; Payung Teduh Kehidupan dan Rahim-ku sepanjang hayat

Rahim menurut KBBI adalah sebuah kata benda berupa kantong selaput dalam perut, tempat janin (bayi); peranakan; kandungan. Definisi menurut kata sifat sifatnya adalah bersifat belas kasihan; bersifat penyayang: Allah yang bersifat rahim. 
Mama akan selalu menjadi rahim bagi saya dalam kedua arti itu. Saat saya sedang mengalami masa-masa sulit yang harus saya lewati Mama selalu bisa menjadi semangat untuk kembali tegar. Melalui nasihat-nasihatnya, pelukannya ataupun ketika hanya diam namun saya tahu mama sedang ramai merapal doa-doa panjang dalam hatinya. Sering pada kondisi itu saya membayangkan meringkuk lagi dalam rahim mama, mengisap jempol dan hanya mendengar detak jantung mama sebagai melodi terindah. 
Salah satu kekuatan terbesar mama adalah doa. Untaian harapan yang dirangkai dalam doa-doa beliau saat menggelar sajadah panjangnya sepanjang masa itulah yang menjadi payung teduh kami sepanjang hayat. Modal kami adalah restu dan ridho beliau, disamping ridho suami yang utama. 

Mama adalah manifestasi sifat Allah disemesta ini, rahim adalah kodrat Illahi yang dititipkan Allah melalui perempuan dan tak tergantikan. Bahkan ketika saat ini marak wacana sewa rahim...upss...helooowww...proses mengandung hingga melahirkan memang dikira cuma macam titipan sepeda motor? Titipan kendaraan saja perlu dipastikan keamanannya tidak asal taruh dan ditinggal. Rahim  dan kehamilan adalah proses kehidupan yang menakjubkan dan harus dijaga dengan kasih sayang paripurna, bukan sekedar penitipan ketika sel telur dan sperma telah bertemu.

Rahim memiliki kesempurnaan yang membuktikan kekuasaan Allah SWT. Rahim mampu berkembang secara elastis mengikuti ukuran jabang bayi yang kian lama membesar. Masa awal kehamilan rahim hanya menampung satu buah embrio yang berukuran sangat kecil, dalam waktu kurang lebih sembilan bulan rahim berkembang secara elastis. Ia mampu menopang perkembangan janin yang berbobot hinga 2,5 kilogram dan lebih besar lagi. Bahkan yang lebih mengagumkan lagi bisa menopang perkembangan janin kembar. Kita bayangkan jika rahim tidak memiliki elastisitas yang sempurna, tentu perkembangan janin  akan menjadi masalah dan menjadi penderitaan bagi wanita. Elastisitas yang sudah sedemikian sempurna ini saja masih menimbulkan kepayahan yang bertambah-tambah ditiap waktunya hingga janin ini dilahirkan. Selesai kah disana? Belum, proses melahirkan apakah itu normal ataupun operasi caesar sekalipun tetap melewati proses sakit yang luar biasa. Bisa kan dibayangkan betapa luar biasanya pejuang kita diambang pertaruhan hidup dan mati?

Mama...Ibu..Ammah...sampaikan kapanpun engkau luar biasa melebihi kata-kata yang mampu kami rangkai..hanya terima kasih yang tak pernah lunas membayar kasih sayangmu.  


Angel on earth


#RumbelLiterasiMedia
#IIPSemarang
#IbukuInspirasiku
#HariIbu2017
#MiladIIP



Sumber referensi :

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Tiada kesan tanpa kata dan saran darimu :)



Salam kenal,


Dee.Irum