Pepesan Peda Daun Singkong (5)

Senin, 04 November 2019


"Apakah kamu khawatir kita tak bisa masak hari ini?" Aku beranikan diri bertanya memastikan apa yang kurasakan.
Benar saja Rumaisha mengangguk lemah. Wajahnya tak mau menatapku.

"Baiklah kalau begitu aku yang akan menggantikan tugas bapak sampai bapak pulih" ujarku penuh kepercayaan diri instan.

Istriku seketika mengangkat wajahnya, menatapku dengan cara melihat yang sulit sekali aku terjemahkan. Begitu pula bapak dan ibu mertua, saat kusampaikan niat tulus bentuk rasa tanggung jawabku tanpa ragu menunjukkan air muka yang sama. Keheranan.

Aku tahu mereka kaget karena sesungguhnya mereka meragukan kemampuanku, namun sekaligus lega ada sebersit harapan untuk hari ini. Berat hati bapak dan ibu mertuaku mengangguk perlahan.

Keraguan mereka mungkin karena adanya anggapan bahwa aku hanya mampu mengajar mengaji dan sedikit menguasai teknik adzan yang bisa kubagikan bagi anak kampung.

Menggantikan bapak mengurus kebun keluarga Haji Kholidi yang luas bukan perkara mudah. Banyak hal kecil yang harus diperhatikan bukan hanya sekedar bersih-bersih. Tapi melihat pohon-pohon buah mana saja yang siap dipanen.
Siang harinya membuka bengkel sepeda kecil di pinggir jalan hingga lepas sore nanti. Aku sendiri sebenarnya ada ragu apakah aku bisa mengatasi hari ini dengan baik atau justru memalukan.

Benar saja, Haji Kholidi komplain mengayakan aku tak becus membersihkan kebunnya.
" Kamu bisa kerja apa tidak sebenarnya, kebunku masih tak karuan. Sampah daun kering masih berserakan seperti tak diurusi. Nggak ada bedanya dibersihkan atau tidak. Mending bapak mertuamu meski lambat semua pekerjaannya tapi selesai dan memuaskan. Tuntas." Kata Haji Kholidi mengomeliku saat aku pamit pulang sekaligus memberi tahu kalau pekerjaanku yang menggantikan bapak sudah selesai. Pak Haji yang memang sejak semula tak percaya kinerjaku, langsung turun mengecek hasil kerjaku. Rupanya ketidakpercayaannya terbukti. Alhasil Pak Haji hanya mampu memberikan uang ala kadarnya atas jerih payahku hari itu. Dua puluh ribu. Itupun kata beliau sudah ia beri nilai cukup besar karena mengingat jasa-jasa bapak mertuaku, jika tidak mungkin aku hanya akan mendapatkan separuh saja.

Aku tak kembali ke rumah selesai dari pak Haji tadi. Niatku lepas membersihkan diri di langgar, adzan dan salat di sana aku langsung saja membuka bengkel lebih awal. Aku ingin membuktikan bahwa aku mampu.

Malu rasanya aku. Tapi mungkin memang dasar tidak becus. Apapun rasanya tak pernah ada yang benar kulakukan. Di bengkel pun tak berjalan mulus, tiga pelanggan kembali dengan bersungut-sungut. Protes dan ingin meminta ganti rugi karena hasil tambalanku bermasalah semuanya. Kalau saja mereka tak mengingat kemurahhatian bapak mertuaku bisa-bisa mereka benar meminta ongkos ganti rugi. Gusti, mencari nafkah apakah memang seberat ini?

Pantas saja jika memang hanya bapak yang berhak mendapatkan jatah istimewa, menikmati pepesan ikan peda lengkap. Hari ini aku hanya membawa uang dua puluu ribu. Cukupkah untuk membeli beras dan bahan lauk pauknya? Aku berpikir sepanjang perjalanan menuju ke rumah beliau. Aku semakin malu pada diriku sendiri yang pernah terlampau serakah membayangkan berhak mendapat kesempatan makan daging ikan peda.

Sesampainya di rumah, aku ulurkan tanganku pada istriku yang tampak cemas. Ia melihat uang yang aku berikan.

"Maaf hanya segini, Sha. Mudah-mudahan bisa buat masak besok. Aku sudah berusaha. Semoga besok lebih baik" ucapku dengan rasa bersalah.

Tanpa banyak kata, Rumaisha mengangguk dan menerima apa yang aku berikan. Sekilas aku menangkap matanya berkaca-kaca. Ada aliran rasa bangga dalam diriku untuk pertama kalinya memberikan hasil keringat sendiri. Sebuah perasaan yang seharusnya sudah aku rasakan sejak lama. 

Waktu makan malam telah tiba, seperti sebelumnya menu pepesan selalu ada di meja. Seperti biasa juga kami bertiga telah duduk berkumpul di ruang makan. Rumaisha memulainya lebih dulu diambilnya piring dan meletakkan dua centong nasi disana. Lalu ia mengambil piring ibu untuk mengambilkan beliau beberapa sendok nasi putih hangat.

Mataku terus menatap buntelan daun pisang sambil menahan liur nafsu. Rumaisha mengetahui itu, ia masih ingat janjinya. Tapi tidak mungkin! Batinnya berperang seketika. Ia mematung, setelah mengambilkan suaminya bumbu pepes daun singkong.

"Nak, ikannya buat bapak ya?" Ibu tampaknya juga mengetahui gelagat aneh yang ada padaku. Namun, ibu kalah cepat dengan keegoisanku. Masa bodoh, toh sudah pernah ada perjanjian jika aku mampu membawa hasil keringatnya sendiri maka aku berhak paling tidak sedikit mencicip sedapnya daging ikan pernah yang dipepes itu.

" Mas, berhenti...aku mohon jangan!" Istriku setengah berteriak menahanku dengan air muka sedih dan kecewa. Ia menggelengkan kepala. Aku melihat ibuku tertunduk dan napas yang dihelanya cukup keras terdengar ditelingaku.

Tanggung tanganku terlanjur sudah ada di atas pepesan itu, berusaha memotong isinya menjadi dua bagian. Tentu saja aku masih ingat bagian bapak mertuaku, aku hanya mau melunasi rasa penasaranku. Sempat terdiam sejenak tapi aku lanjutkan saja.

"Tunggu! Ada yang aneh, kenapa daging ikan peda ini terasa lebih keras?Apa ada jenis peda seperti ini?" Kataku sibuk berbincang sendiri dalam batin.

"Hhhgggg...eehhhggg...arghh." 

Aku masih mencoba sekuat tenaga yang kusangka telah habis karena aku bekerja kerasa hari ini.

Akhirnya kutarik semua bungkusannya, saking penasarannya. Aku lihat disisi lain tampak warna yang berbeda mungkin itu dagingnya dan aku pun mencuilnya. Mengangkat sendok dan mendorongnya ke mulut.

"Baah ... baah ... Rasa apa ini? Bu?... Sha? Ii...ini bukan ikan peda?," tanyaku pada ibu yang entah kenapa pipi beliau basah karena linangan air mata. Ibu hanya mampu melihatku. Sinarnya masih hangat penuh kasih sayang, tanpa amarah yang seharusnya pantas aku terima. Beliau melihat ke arah istriku, mengangguk dan sesaat kemudian bangkit dari duduknya. Setelah sebelumnya mengelus pundakku lembut. Aku semakin tak mengerti dengan semua situasi ini.

"Maafkan Ibu ya, Farras", ucap ibu persis sama dengan sinar bulan yang sedang muram.

Sepeninggal ibu, kami saling terdiam di ruang makan. Rumaisha masih belum memulai penjelasan apapun. Hingga, sekitar lima menit berselang ia menggeser kursi. Tangannya meraih pepesan itu, mendekatkan piringnya ke arah kami, dan membongkarnya dihadapanku.

"Mas, sejujurnya tak pernah ada ikan peda dalam pepesan ini. Betul rasanya memang sedikit aneh sebab yang Mas Farras rasakan tadi adalah batang pisang yang sudah diolah ibu dan diikatkan pada batang kayu asem kecil. Inilah yang dimasak ibu berulang-ulang, bertahun-tahun sejak aku masih kecil hingga aku remaja." istriku berusaha menjelaskan dengan gamblang.

"Bapak sengaja selalu makan paling belakangan karena tak ingin makin terluka, menyadari ketidakberdayaannya merawat orang-orang yang dikasihinya. Hingga ibu punya ide untuk menghidupkan kisah ini. Mas masih ingat kisah seorang ibu yang memasak batu pada jaman Khalifah Umar bin Khattab, bukan? Begitulah awalnya." Rumaisha melanjutkan penuturannya. Ia juga mengaku mengetahui kebenaran ini serupa dengan kejadian hari ini, ketika kayu itu sudah lelah terus berpura-pura menjadi ikan peda.

Aku mendengar samar bapak terbatuk-batuk. Pikiranku kosong. Suara istriku yang masih terus bercerita semakin lama makin kabur. Jiwaku menjauh pergi karena tak sanggup merasakan pedihnya dadaku sekarang.

Andai bisa kini aku ingin menangis sesuka hati, tapi tradisi terlanjur mengajarkanku tentang lelaki sejati tak boleh sembarang mengeluarkan air mata. Sesak. Nyeri.

Bayangan almarhum ibu, bapakku bergantian dengan wajah bapak dan ibu mertuaku muncul dihadapanku. Aku bersyukur Tuhan menamparku hari ini. Sebab aku jadi mampu memahami kasih sayang mereka. 

Hikmahnya lagi aku makin berusaha mendorong diriku lebih keras lagi untuk menghidupkan kisah bahagia lain dikeluarga ini.

Pepesan oh pepesan nyatanya kau tak sekedar pepesan, hadirmu sarat pesan.

Tamat

2 komentar

  1. Kereeen.. bikin penasaran sampai akhir. Dan pesannya jleb. Kau bisa saja... Kunanti buku solomu kak. 2020 yaks...😘😘😘

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mendadak merinding aku...semedi sik yaa hehee oh ya harus DP dulu...Aamiin... afirmasi positif 😇

      Ada pesan sponsor katanya suruh buat buku duet sama kembaranku lho...aku nggak nyangka 😘😚👌

      Hapus

Terima kasih sudah berkunjung. Tiada kesan tanpa kata dan saran darimu :)



Salam kenal,


Dee.Irum