Rasanya masih terlalu jelas dalam ingatan. Fragmen demi fragmen di pagi selepas subuh yang seharusnya masih sejuk dan menentramkan. Seketika suasana hening itu berubah, saat televisi dinyalakan semua menyiarkan berita yang sama. Petaka Kanjuruhan. Tragedi kemanusiaan yang semua orang tidak pernah menyana.
Entah bagaimana menggambarkan perasaan ini melihat begitu banyak manusia berlarian. Suara sirine mengaum di antero stadion. Teriakan demi teriakan terdengar, lengkingan tangisan dan permintaan pertolongan. Begitu pula caci maki, kemarahan. Semua kepanikan tumpang tindih pada malam kejadian itu. Tragis. Miris.
Berulang kali berusaha untuk berpindah kanal televisi. Namun, nihil karena seluruh negeri tampaknya pun terhenyak atas kabar ironi ini. Bagaimana bisa di tengah upaya untuk memperbaiki prestasi tim nasional sepak bola kita, malah bukan prestasi yang terukir justru krisis menyayat hati yang terjadi.
Salah Siapa?
Keriuhan masih terjadi hingga kini. Saling tuduh, lempar telunjuk, tuding sana dan sini. Berkilah ini juga itu. Nyaris tidak ada yang dengan penuh kesadaran untuk menyegerakan meminta maaf pada semua pihak yang kehilangan. Memang benar terucap kata turut berduka cita, tetapi entah mengapa kalimat itu terasa formalitas belaka. Ah, mungkin saya saja yang terlalu perasa ya?
Tidak sedikit pula yang kemudian mengutus kata seandainya, jika saja, apabila. Padahal kata-kata itu tidak lagi berguna. Bahkan tidak akan mengembalikan semua yang telah terjadi. Apapun yang direnggut oleh peristiwa berdarah itu.
Tidak pernah ada sepak bola seharga nyawa! Sebab satu jiwa melayang saja sudah terasa menyakitkan. Apalagi jika ratusan nyawa meregang di gelanggang. Mereka yang telah pergi tidak akan pernah kembali. Namun, duka dan trauma yang ditinggalkan mungkin saja abadi.
Kembali kepada pertanyaan siapa yang salah? Tentu saja semua pihak berinvestasi pada tragedi ini. Diakui atau tidak opini ini, berbagai pihak ikut berkontribusi pada kejadian memilukan ini. Sebut saja operator liga yang kurang cakap mengatur sistem manajemen pertandingan yang seharusnya menitikberatkan keselamatan dan keamanan penonton yang hadir di stadion. Panitia pelaksana yang lalai. Mentalitas suporter yang belum dewasa.
Belum lagi para pemuja rating yang akhirnya demi mengejarnya, lalu memaksakan laga dilaksanakan malam hari. Lalu, bagaimana dengan aparat keamanan? Gas air mata? Meski sejak lama sudah jelas larangan penggunaanya oleh FIFA.
Pada akhirnya semua pihak turut andil menanam saham dalam tragedi ini. Tidak akan ada asap jika tidak ada api. Tidak akan ada nyala api jika tidak ada yang memantiknya.
Saat ini yang dibutuhkan publik Indonesia dan juga dunia adalah kedewasaan untuk mengakui kebobrokan berjamaah ini. Lebih baik menjadi kesatria yang jujur mengakui, daripada sibuk mencari kambing hitam siapa yang lebih patut disalahkan.
Walaupun seyogianya siapa saja pemegang regulasi di negeri ini harus lebih menggunakan nuraninya, untuk mempertanggungjawabkan karut marut yang terjadi. Segerakan berbenah!
Pemulihan Pasca Trauma
Setiap kejadian luar biasa tragis seperti ini, selain ada korban jiwa pasti di sisi lain ada korban trauma. Bagi orang-orang yang masih terselamatkan, mereka nantinya harus melewati fase kehidupan yang berbeda setelah kejadian. Perasaan trauma pasti ada dan bisa berdampak buruk pada kualitas hidupnya.
Sejumlah 455 orang yang menjadi korban di malam kerusuhan itu. 131 korban tewas dan sisa merupakan korban luka-luka baik ringan hingga berat. Korban yang terluka ini sangat berpotensi mengalami trauma, terutama wanita dan anak-anak.
Pasca kejadian luar biasa tersebut pasti ada perpisahan yang tidak bisa terelakkan. Baik yang berada di lokasi kejadian maupun pihak yang tidak berada di sana, tetapi harus kehilangan ayah, ibu atau sanak saudaranya. Oleh karena itu korban yang masih hidup atau pihak-pihak yang terdampak harus diberikan layanan pendampingan psikologis.
Puji syukur. Alhamdulillah. Melansir dari situs resmi Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia vdan Kebudayaan (KemenKoPMK). Bapak Muhadjir Effendi menyampaikan bahwa beliau mengapresiasi bahwa telah ada berbagai pihak yang bergerak cepat memfasilitasi gerakan pendampingan pasca trauma tersebut. Gerakan trauma healing ini diinisiasi oleh fakultas psikologi UMM bersama Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Malang.
Dukungan untuk para korban juga datang dari Save The Children, BTS Army, HIMPSI cabang Malang, Maharesigana, Dinkes, MDMC Malang dan Komunitas Arema Menggugat.
Jika kita mau menurunkan ego sejenak, pasti ada sebuah hikmah yang mampu kita petik dari setiap peristiwa. Ikut berefleksi sesungguhnya hal sederhana apa, yang dapat kita lakukan agar Tragedi Kanjuruhan tidak akan pernah terulang lagi. Di sana dan atau di mana saja. Cukup sudah sepak bola kita tercatat dalam sejarah dengan tinta berdarah.
Mari setidaknya kita selalu menyuarakan kebenaran dengan cara-cata yang tetap menawan.
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung. Tiada kesan tanpa kata dan saran darimu :)
Salam kenal,
Dee.Irum