Berusaha Introspeksi Diri dari Film Children of Heaven

Sabtu, 12 November 2022


Sejak diumumkan tema tentang film favorit agak bingung juga memilih film favorit. Pasalnya tiap film memiliki kesan dan pesannya masing-masing. Akhirnya memori diputar kembali jauh ke masa silam. Sempat ingin memilih film Tae Guk Gi yang saya tonton sekitar tahun 2004. Film jadul Korea sebelum jaman Drakor dan K-pop tiba, tetapi saya memilih mengendapkan terlebih dulu. 

Memori justru menemukan film paling berkesan yang sejak pertama kali menonton di masa kuliah dulu, hingga sekarang diputar ulang. Tetap saja air mata tidak bisa dibendung seketika. Film festival yang sangat dalam kesannya itu adalah Children of Heaven atau Bacheha-Ye aseman. Film ini merupakan film untuk anak digarap dengan apik oleh sang sutradara asal Iran, bernama Majid Majidi. 

Film yang diproduksi di tahun 1997 ini kalau tidak salah saya mengingat setelah ada kuliah umum yang membahas psikologi film. Entah bagaimana mulanya saya kemudian berburu film-film festival dunia. Children of Heaven merupakan salah satu yang sangat populer kala itu. Film ini memenangkan banyak penghargaan internasional. Apalah jika bukan karena cerita yang sangat menyentuh  hati para penontonnya. Kisah yang diceritakan juga terbilang cukup sederhana dan tidak rumit. 

Masih tersimpan keping VCD film yang dibintangi oleh Mohammad Amir Naji, Amir Farrokh Hashemian, dan Bahare Seddiqi. Film berdurasi 89 menit ini mengambil latar belakang kawasan pinggiran kota negara Iran. Walau keping CD tersebut tidak pernah lagi disentuh karena film ini sudah seringkali diputar ulang di televisi terutama saat lebaran. 

The Children of Heaven menceritakan tentang kakak beradik yang masih bersekolah. Konflik cerita bermula saat Ali-sang kakak laki-laki tidak sengaja meletakkan sepatu Zahra-adik perempuannya, di sebuah tempat hingga akhir hilang. Akibatnya mereka yang tidak punya sepatu lagi, akhirnya harus mau berbagi sepatu demi bisa berangkat ke sekolah. Jujur saya pun ikut gemas, tegang, resah saat melihat Zahra harus segera berlari untuk menemui Ali selepas sekolah hanya untuk bisa bergantian memakai sepatu.

Interaksi yang dibangun pemeran kakak beradik ini sangat bagus, ditambah penjiwaan karakter yang luar biasa dari kedua aktor cilik tersebut. Bagi saya patut diberikan apresiasi sebab ekspresi, bahasa tubuh mereka terlihat sangat natural. Seperti selayaknya kakak yang sedang memarahi adiknya atau saat adiknya bertingkah merajuk kepada kakaknya.

Sisi emosional karakter di film ini sangat ditonjolkan hingga menjadi kekuatan ceritanya. Kakak beradik ini begitu mudah membuat para penonton menitikkan air mata. Jalan cerita dikemas sangat apik sehingga membuat penonton berulang kali tersentuh oleh keduanya. Belum lagi konflik-konflik lain yang disajikan di film tersebut sarat dengan pesan moral. 

Meskipun ada babak yang ceritanya tidak sesuai dengan ekspektasi pribadi atau penonton lainnya juga merasakan hal yang sama. Misal ketika Ali tidak bisa mendapatkan juara ketiga yang jika dia jadi pemenangnya akan mendapatkan hadiah sepatu. Sehingga secara tersirat tertangkap pesan bahwa inti dari jalan cerita sejak awal hingga tamat, film ini bukan hanya melulu berkisah tentang bagaimana mereka akhirnya mendapatkan sepatu. Namun tentang bagaimana mereka berbagi kasih sayang kepada saudaranya. Saling mendukung untuk menghadapi dan menyelesaikan masalah bersama. Merasakan kesedihan bersama, bahagia ataupun susah payah bersama. Bagaimana belajar bangkit bersama dan mampu saling menguatkan. Pelajaran dan hikmah yang diajarkan melalui sepasang sepatu.

Alur cerita yang sederhana tetapi penuh kompleksitas dan sarat makna. Begitulah film ini saya simpulkan sehingga sangat layak untuk ditonton bagi segala usia apalagi dinikmati bersama keluarga. Banyak hikmah yang dapat dipetik antara lain kegigihan, kerja keras dan ketulusan. The Children of Heaven seolah memberikan ilustrasi agar kita paham bagaimana menjaga hubungan persaudaraan, bagaimana cara untuk memeluk saudaramu, mendukung kakakmu, serta bersama-sama membantu orang tuanya.

Konsep kesederhanaan sangat ditonjolkan dalam film ini. Ali yang menolak diajak bermain bola dan memilih untuk membantu ibunya bekerja selepas sekolah. Seperti menggambarkan betapa sulit  jika terlahir dari keluarga yang kurang mampu, tetapi semua harus dihadapi, mencoba untuk selalu bersyukur dan ikhlas. Sebuah konsep sederhana sebuah film yang membuat penonton merefleksikan diri dan harapannya mampu instropeksi. 

Buat kalian yang belum pernah tahu film ini, silakan dicoba untuk menontonnya. Lalu, apakah kesannya serupa dengan saya? Atau ada yang berbeda boleh deh berbagi di kolom komentar. 

Tabik! Salam baik. Salam bahagia.



Sumber Foto : IMDb

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Tiada kesan tanpa kata dan saran darimu :)



Salam kenal,


Dee.Irum