RUMAH UNTUK LARAS

Jumat, 12 April 2019

"Berbagi lah bebanmu. Ibu tahu bukan hal mudah untuk percaya pada orang lain".
"Tapi saya nggak ingin berbagi penderitaan ini Bu. Saya nggak mau jadi beban, Bu".
"Ras, berbagi penderitaan mungkin akan membuatmu sedih. Mengungkapkan kebenaran luka-luka kita. Tapi kamu tahu nak, keberanian mengeluarkan kesedihan itu membuat kita menemukan rute baru. Jalan keluar yang mampat sebelumnya".
Laras memandangi gurunya lekat. Berusaha menangkap semua kebenaran kata-kata dari balik sorotan mata wanita dihadapannya. Wanda paham apa yang sedang Laras cari. Ia sengaja hadirkan bahasa yang hanya mampu diterjemahkan mereka berdua. Ia genggam lembut tangan gadis tomboi itu dan ditutup dengan senyuman.
"Baik, ibu tidak akan memaksa. Pesan ibu cuma jika kamu butuh sandaran ada banyak yang peduli padamu. Kamu tidak sendiri. Bongkar bebanmu. Ok! Sekarang kembali ke kelas ya. Kapanpun kamu bisa hubungi ibu", ucap Wanda menyudahi percakapan siang itu.

***
"Kamu bilang kepala rumah tangga?!! Apanya?! Urus ini itu saja nggak becus!"
Lalu kata-kata tak pantas menggema seantero rumah mewah ini.
"Mah, aku sudah bersabar demi keluarga ini. Demi anak kita. Waktu kamu minta aku dukung karirmu dan terpaksa setuju anak kita diasuh oleh famili kita hingga kamu mapan. Aku setujui demi utuhnya keluarga ini. Tapi, kutanya sekarang kenyataannya apa?APA?!!!".
Teriakan, umpatan dan suara benda pecah, berbenturan, jatuh mengiringi perang kalimat demi kalimat panas malam itu.
Aku hanya mampu melihat mereka dari lantai dua rumah ini. Lantai marmer bernilai ratusan juta yang konon dingin bagai lantai surga, tak mampu menepis panas neraka rumah ini..
Aku terisak, " Lantas, kenapa aku dilahirkan? Jika..".
***
"Bu, durhaka kah saya? Jika saya menolak nafkah mereka? Saya sudah bisa cari uang sendiri. Satu lagi, masih pantas kah saya diterima dan berteman?", ucapan Laras mengagetkan Wanda tepat saat ia hendak beranjak dari kursi. Sejenak tertegun, meski ia sudah memegang informasi penting hasil observasinya sebelum sesi konseling pagi itu.
"Laras? Kamu sudah memutuskan?!",  tanyanya memastikan.
"Tiba-tiba mereka meng-kaim mereka orang tuaku. Mengambilku dari orang yang mengasuhku. 6 tahun sejak aku dilahirkan. Kini aku sudah bersama mereka. Tapi aku seperti di hutan belantara. Sekarang KPK pun sudah jemput mereka. Aku anak koruptor, Bu. ", deras air mata Laras tak bisa dibendung lagi semakin lama suaranya makin parau.
Wanda hanya diam, memberi ruang untuk Laras membongkar bebannya. Saat ini yang dibutuhkannya bukan nasihat namun sandaran jiwanya yang merapuh. Ia remas tangannya sendiri yang mulai berpeluh. Terus ia pandangi punggung yang berguncang hebat didepannya. Tuhan, jadikan aku perantara-Mu. Kuatkan aku. Jika sudah begini, aku hanya punya hati. Tangisannya makin keras. Napasnya sudah tak beraturan lagi.
"Tak apa-apa, Nak. Keluarkan saja semua beban itu. Jangan dibendung lagi. Ibu nggak kemana-mana", akhirnya Sekar mengeluarkan kata-katanya.
"Bu, berdosa kah? Aku benci mereka, bagaimana mereka bisa bilang ingin aku ini anak mereka. Sedang dari kecil mereka nggak pernah ada dan ngajarin aku. Setelah besar tiba-tiba datang dan bilang mereka orang tuaku. Lebih berdosa mana, Bu?!!!, tanya Laras setengah berteriak.
"Ibu, paham kamu marah. Tapi tak ada yang bisa memilih dari rahim siapa kita akan hadir di dunia kan, Nak? Betul ibu sepakat tindakan beliau tidak benar, tapi membenci mereka pada akhirnya akan menyakitimu juga. Bagaimanapun mama kandungmu melahirkan Laras ke dunia ini dengan bertaruh nyawa. Papamu, bersikap begitu mungkin maksudnya untuk melindungi keluarganya. Meski itu tidak bisa dibenarkan. Setiap orang berhak melakukan kesalahan, seperti mereka berhak kembali untuk memperbaiki dirinya", Wanda berusaha menata kalimatnya agar Laras tenang kembali. Ia usap-usap punggung anak istimewa ini. 


Laras kembali menengadah menatap tajam, lebih dalam dari sebelumnya. Wanda berusaha tenang, mengendalikan emosinya yang nyaris larut dengan senyum tipis.
"Hmm...bu..ibu tahu, tapi maafkan saya sebelumnya. Saya bersyukur Tuhan memberikan takdir ibu belum berkeluarga, belum punya anak. Ibu tahu kenapa? Supaya ada rumah-rumah yang nyaman bagi anak semacam saya untuk pulang. Dilihat, dianggap. Bukan dijemput, alih-alih dibesarkan malah dipaksa menuruti ego mereka. Anak juga manusia kan, Bu?, Laras menjelaskan dengan kalimat yang awalnya terdengar ragu.
Wanda hanya tergugu-gugu, gagu dan kaku. Hanya mengangguk entah untuk kalimat Laras yang mana.

#RUMBELLMIPS
#TANTANGANTEMA2
#CERPENALUMAJUMUNDUR
#IBUPROFESIONALSEMARANG

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Tiada kesan tanpa kata dan saran darimu :)



Salam kenal,


Dee.Irum