Rahasia Rasa : Janji Matahari, Bumi

Jumat, 04 Oktober 2019


"Aku...aku...kenapa aku?!," Sekar tergagap mendengar pengakuan laki-laki dihadapannya.

"Nggak usah panik gitu. Tenang aku nggak sedang bercanda, aku serius. Kamu layak," jawabnya.

"Bumi...kamu yakin? Serius? Ucapanmu tadi...hmm...tapi tunggu dulu! Kenapa aku? Aku nggak secantik Aisya, nggak semodis Aina, nggak secerdas Fahra, nggak sesupel Rahma. Orang bilang aku jutek, aku juga nggak suka dandan, aku ...," belum usai kalimatku Bumi sudah memberi syarat, diam. Ia memotong pembelaanku yang tentu saja, palsu. Mungkin hatiku juga ikut merona, saking bahagianya.

"Memang aku pernah bilang cari yang sempurna? Cari yang kriterianya kayak kamu sebutkan tadi? Sekar, kamu cukup jadi dirimu. Cukup jadi perempuan ceroboh yang peduli apapun disekitarmu. Berusaha menjaga semua yang ada dalam jangkauanmu", Bumi terdiam sejenak. Tampak  sedang menghalau sesuatu dari dalam dirinya.

"Teruslah juga jadi seperti edelweiss, dan kamu tahu itu alasanku kagum sama kamu. Kalau kamu bersedia, ayo kita tukar janji!", suara Bumi terdengar berat terseret desau angin basah dini hari.

"Janji? Janji apa?," sahutku mulai gusar. 

***
Aku memang mengagumi ia sejak lama. Siapa sih di kantor yang nggak mengidolakan Bumi. Kasak-kusuknya ia representasi dari lelaki sejati begitu "cap" yang diberikan teman-teman. 

Cekatan, ramah, meskipun ia termasuk manusia tak banyak bicara. Senyumnya yang indah jarang ia pamerkan. Mungkin ia tahu senyuman menyebabkan adiksi dan serangan sesak napas berkala. Hampir tak ada yang berani mendekat, karena memang ia bukan pria yang mudah basa basi. Nggak butuh, ya nggak akan bicara daripada basi, katanya suatu ketika.

Lalu bagaimana dengan aku? Yang terlanjur nekat sok akrab dengannya. Mungkin kebetulan (benar kah hanya kebetulan? sebenarnya aku tak percaya dengan  kebetulan).

Aku dan Bumi pernah kuliah di universitas yang sama, meski jurusan berbeda. Kami bertemu di unit kegiatan mahasiswa yang sama. Mahasiswa Pencinta Alam. 

Sewaktu tahu bahwa kami sekantor lagi,  perasaanku sudah tak ada istimewanya. Meski...jujur kadang sesekali, ada rasa yang terpaksa aku tahan hingga sebatas kagum saja.

"Hei...!", seru suara Bumi membuyarkan lamunanku. 

"Eh, hei iya...janji apa maksudmu?," tergagap aku menjawab seruannya. 

"Berjanjilah! Kamu terus sederhana dan bersahaja seperti hamparan edelweiss dihadapan kita. Jika kamu bersedia, maka aku akan beri janji matahari buatmu. Saat ini dan sampai nanti, segera aku bersaksi dihadapan orang tuamu atas nama Tuhanku. Sudikah kamu, Sekar Putih Musyakina?", ia ulang perkataannya pagi itu untuk kesekian kalinya. Tertegun  aku mendengar ia menyebutkan nama lengkap, pemberian orang tuaku

Aku tak sanggup berkata-kata, cukup anggukan mewakili segala rasa yang membuncah. Sulit aku terjemahkan sendiri.

Entahlah mengapa hamparan Alun-alun Suryakencana yang terbentang dihadapan, tiba-tiba tampak menjadi sangat megah. 

Dersik bayu mengalir menambah hening dan syahdu. Kami duduk disana, mengulum senyum menunggu sinar mentari. Sembari dibuai belaian dingin kabut pagi Gunung Gede Pangrango. Padang savana dan permadani edelweis mulai berkilauan, sesekali  tersapu kabut basah yang bergerak.

Janji matahari, tak pernah ingkar janji. Terbit esok pagi di ufuk timur, dan kembali pulang terbenam di ufuk barat. Tunduk pada ketetapan-Nya, sampai tiba akhir masa. Tuhan menutup lembaran cerita.

Edelweis, semoga aku bisa tetap mampu berguru padamu. Belajar darimu bunga bersahaja, yang anggun dalam kesederhanaanmu.

4 komentar

  1. indah ceritanya. semoga suatu hari aku bisa bikin cerita seindah ini juga.

    BalasHapus
  2. Edelweis,q juga ingin berguru denganmu.

    BalasHapus
  3. Maaf kalo ga nyambung, tapi aku ingin mengatakan bahwa cerita ini membuatku teringat pada dia yg membuatku kagum ketika bertemu dlm satu kepanitiaan .Hehe

    BalasHapus
  4. rasa cerita ini sweeat..hihi

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkunjung. Tiada kesan tanpa kata dan saran darimu :)



Salam kenal,


Dee.Irum